Bagi sejumlah penulis dan penikmat buku, patriarki telah menubuh pada sastra. Dominasi lelaki dan bias jender nyata walau jarang disadari.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
Bagi sejumlah penulis dan penikmat buku, patriarki telah menubuh pada sastra. Dominasi lelaki dan bias jender nyata walau jarang disadari. Pada era kesetaraan jender yang progresif, hal ini dianggap sebagai kemunduran.
Dominasi tersebut paling mudah dilihat dari daftar peraih penghargaan Nobel di bidang kesusastraan. Dari 100 lebih pemenang, hanya belasan yang perempuan. Padahal, penghargaan sudah diberikan sejak lebih dari seabad lalu.
Ada pula pandangan yang mengotakkan gaya menulis antara perempuan dan laki-laki berikut pilihan temanya. Beberapa menganggap penulis perempuan cenderung memilih tema yang domestik. Istilahnya tema kecil. Tema ini mikro dan dekat dengan sang penulis (bisa jadi dekat secara emosional).
Sementara itu, penulis lelaki dinilai lebih sering bermain dengan tema yang lebih luas. Contohnya peperangan dan politik. Laki-laki juga disebut lebih sering mengeksplorasi teknik menulis.
Tidak ada penjelasan ilmiah soal stigma penulis berbasis jender barusan. Tidak ada pula yang bisa mengonfirmasi kebenarannya. Namun, stigma tersebut tak ubahnya pemikiran populer soal perempuan dan laki-laki, ”perempuan itu makhluk emosional, laki-laki logis”.
Nilai patriarki yang diwarisi sejak zaman adam dinilai semakin mengukuhkan dominasi laki-laki. Beberapa zaman kemudian, feminisme hadir sebagai negasi. Tujuannya agar ada kesetaraan dan aksi afirmasi bagi perempuan, khususnya yang terbiasa berdiam pasif di bawah bayangan. Sastra tidak luput dari dua fenomena ini.
Lebih kurang topik itulah yang dibahas di pra-diskusi Jakarta International Literary Festival (JILF) di Pasar Santa, Jakarta, Sabtu (22/6/2019). Diskusi itu berjudul ”Many Faces of the South: Kuasa dan Nuansa Jender dalam Sastra”. Penulis Amanatia Junda dan Sabda Armandio didapuk sebagai pembicaranya.
Sabda dalam esainya di diskusi menjelaskan soal kepercayaan feminisme akan adanya hierarki dalam konstruksi sosial, yakni patriarki. Laki-laki memanifestasikan diri melalui kekuasaan dan status. Perempuan memanifestasikan diri dalam kepatuhan dan sikap pasif. Menurut dia, feminisme merupakan penolakan atas hierarki itu karena tidak adil dan tidak perlu.
”Pertama-tama, maskulinitas dan feminitas itu harus diakui keberadaannya. Kalau enggak diakui, maka enggak ada masalah buat diselesaikan,” kata Sabda.
Bisa berubah
Amanatia mengakui patriarki sebagai produk konstruksi sosial. Oleh sebab itu, menurut dia, paham itu bisa diperbarui di suatu tempat pada waktu tertentu. Sementara itu, dalam kaitannya dengan sastra, ia menilai kekuatan feminisme bergantung pada kesadaran setiap penulis.
Terkait stigma berbasis jender, Amanatia berpendapat, definisi tema tulisan besar dan kecil harus ditelaah secara obyektif. Walaupun begitu, menurut dia, memilih tema besar maupun kecil bukan masalah.
”Dengan kesadaran feminisme dan pengembangan teknik (menulis), tema yang dianggap sederhana bisa jadi serius,” kata Amanatia.
Penulis kumpulan cerpen Waktu untuk Tidak Menikah ini optimistis sastra bisa lebih progresif. Kesempatan bagi penulis perempuan pun bisa lebih terbuka lebar. Hal ini berakar dari semangat feminisme yang ia nilai tumbuh semakin subur di kalangan akar rumput.
”Sekarang kita menghadapi beberapa hal, seperti konservatisme agama dan pelecehan seksual. Isu ini sudah mulai berani digugat dan dilawan secara terang-terangan. Itu artinya, kita mulai beranjak dari ketakutan,” katanya.
Kritik sastra
Sabda menilai, patriarki tidak bisa dikalahkan hanya dengan membaca lebih banyak karya sastra penulis perempuan. Hanya mendengarkan kemauan para penulis perempuan pun tidak cukup.
”Buatku, itu bisa ditengahi melalui kritik sastra dengan perspektif feminisme. Ini memberi pembaca dan penulis kesempatan untuk menganalisis dominasi laki-laki,” kata Sabda. Ia menambahkan, kebiasaan menolak kritik membuat penulis akan selalu mengalihkan pembicaraan. Padahal, feminisme itu substansial.
Eksplorasi teknik menulis juga ia anggap bisa menjembatani stigma berbasis jender soal penulis laki-laki dan perempuan. Keduanya bisa sama-sama hebat dan sama-sama diperhitungkan dunia.
Patriarki yang dipelihara—walaupun secara subtil melalui sastra—akan berdampak negatif. Menurut Sabda, paham patriarki telah dan akan menempel di pikiran masyarakat generasi demi generasi. Partriarki akan melanggengkan kuasa dan dominasi lelaki. Itu akan jadi masalah di semua aspek, seperti sastra, politik, juga olahraga.
”Praktik dominasi itulah masalahnya. Perlu keinginan untuk membuat standar (soal kesetaraan). Hierarki dari paham partriarki itu bikin enggak asyik,” kata Sabda. (SEKAR GANDHAWANGI)