Seni Kreasi Ampas Kopi
Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, dikenal dengan julukan Bumi Cethe. Di wilayah yang dulu bernama Kadipaten Ngrowo ini hidup budaya nyethe atau berkreasi dengan ampas kopi (cethe). Tradisi itu tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan warga bercengkerama dengan mengopi dan merokok.
Jumat (17/5/2019) petang, dua lelaki, Andi Winarko (43) dan Sulistiono (33), datang ke kios BG Cell yang juga tempat mengopi di Jalan Agus Salim, Tulungagung. Andi memesan secangkir kopi hitam dan sebungkus rokok. Sulis meminta secangkir kopi ijo dan sebungkus rokok. Kepada pemilik warung kopi, Andi dan Sulis meminta segepok tisu dan sesendok susu kental manis.
Sambil mengobrol, mereka mulai ”membatik”. Andi dan Sulis menuangkan sedikit kopi ke piring cangkir dan dikeringkan serta dibersihkan dengan tisu. Begitu dilakukan sampai tuangan ketiga. Di penuangan dan pengeringan ketiga, ampas kopi yang tertinggal di tatakan tidak dibersihkan. Itulah cethe atau ampas terhalus kopi yang akan menjadi bahan melukis. Kemudian, ampas itu dicampur susu kental manis sehingga menjadi semacam pasta.
Sebagai kuas, Andi dan Sulis memakai batang korek api yang diruncingkan karena di kedai kebetulan tidak ada tusuk gigi atau lidi. Selain itu, silet yang dipatahkan menjadi dua bagian serta benang. ”Alat-alat ini akan menghasilkan goresan yang berbeda tebal tipisnya,” kata Andi, pegawai swasta dan lulusan 1995 SMA Katolik Santo Thomas Aquino, Tulungagung.
Kurang dari satu jam, Andi menyelesaikan lukisan pada lima batang rokok filternya. Ada yang bergambar motif batik parang, tribal atau ukiran, kembang kipas, serta kombinasi daun dan bunga. Sulis yang akrab dengan panggilan Cuplis, nama karakter dalam serial boneka Si Unyil, menyelesaikan gambar pada enam batang rokok. Ada yang bergambar bebek, burung-burung terbang di rawa, ukiran, motif batik, kembang, dan pancaran surya.
”Saya dulu belajar nyethe batik dari Mas Andi, melihat dan coba-coba terus sampai bisa,” ujar Sulis, wirausaha dan lulusan 2004 SMP Negeri 6 Tulungagung.
Secara umum, rona lukisan keduanya berbeda karena jenis kopi yang digunakan. Kopi hitam menghasilkan warna gulita dan gradasi keabuan gelap seperti gambar kreasi Andi. Kopi ijo dari campuran biji kopi dan kacang hijau berona kecoklatan seperti lukisan ciptaan Sulis. ”Rokok yang kertasnya bagus dan tebal akan bikin gambar awet, bisa setahun lebih warna belum pudar,” ujar Andi yang mengaku membatik dengan cethe sejak masih SMP di warung kopi belakang Terminal Gayatri Tulungagung.
Keterampilan membuat lukisan cethe membuat mereka mendapat kontrak profesional dari perusahaan rokok. Mereka dibayar untuk memamerkan kehebatannya di beberapa kota di Indonesia. Mereka juga beberapa kali memenangi Lomba Cethe yang digelar Pemerintah Kabupaten Tulungagung atau swasta. Selain itu, menjadi ”duta budaya” daerah untuk mengenalkan tradisi nyethe Tulungagung ke dunia luar.
Di sela kesibukan bekerja, Andi dan Sulis juga menerima pesanan pembuatan rokok cethe dari publik. Pesanan datang melalui aplikasi media sosial, antara lain dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. ”Dalam pandangan kami, nyethe itu dibuat di rokok sehingga belum ada pikiran membuatnya di media lain,” ujar Andi.
Pewarnaan
Pandangan dan sikap berbeda diambil oleh Aditya Kresna, pelukis muda Tulungagung. Sejak kembali dari perantauan di Bali pada 2013, lelaki ini mencoba dan akhirnya berkembang dengan lukisan cethe. Ampas terhalus kopi dijadikan bahan lukis pada kanvas, sebuah teknik yang sudah dikenal secara global sejak pertengahan abad XX.
Namun, warga Tulungagung, termasuk Aditya, mengambil cara yang berbeda. Mereka mengambil ampas yang terhalus. Untuk melukis pada kanvas, Aditya mencampurkan dengan garam dan air. Garam akan mencegah lukisan berjamur.
Secara umum kopi robusta berkarakter warna hitam kemerahan, sementara arabika hitam keemasan. Untuk nuansa gulita pekat didapat dari kopi gayo. Untuk warna kecoklatan memakai kopi sendang wilis. Rona kehijauan tentu dari kopi ijo yang kebetulan khas Tulungagung. Alat melukis bukan sekadar kuas, melainkan tangan, palet, sendok, tusuk gigi, benang, silet, pensil, rumput, atau benda apa pun yang diperlukan guna menghasilkan efek beragam.
Saat ditemui, Aditya sedang menyelesaikan lukisan ”suasana stasiun” pesanan pengusaha restoran terkemuka di Tulungagung. Sejak mendalami seni lukis cethe, Aditya sudah menghasilkan lebih dari 300 karya dan pernah berpameran ke AS pada 2017 mewakili Komunitas Perupa Jawa Timur (Koper Jati). Tahun depan, dia pameran di Eropa.
”Kebanyakan karya saya itu dibeli, jadi yang ada di galeri belum banyak,” kata Aditya yang tengah mendorong diri untuk lebih produktif melukis.
Ayah dua anak ini ingin bisa pameran tunggal atau berdua. Aditya harus punya banyak karya lagi untuk memenuhi impiannya. ”Harus ada minimal seratus lukisan di galeri, baru pas untuk portofolio mengajukan pameran,” ujar lulusan Seni Rupa Universitas Negeri Malang itu.
Bagaimana tradisi nyethe ini lahir, belum ada bukti pasti. Namun, budidaya kopi sudah berlangsung pada era tanam paksa Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda sejak 1830. Industri rokok mulai hidup selepas 1930.
Dilihat dari sana, patut diduga mengoleskan cethe atau ampas kopi pada rokok klobot lalu rokok sigaret yang konon untuk menambah kenikmatan merokok itu setidaknya dikenal selepas industrialisasi rokok.
Kemudian, selepas 1970, ada saja perokok yang iseng berkreasi dengan cethe. Ampas kopi bukan sekadar dioleskan pada rokok, melainkan menjadi ”cat” untuk melukis. Sigaret adalah kanvas, sedangkan kuas bahkan canting adalah sendok, benang, tusuk gigi, korek api, atau silet.
Media baru
Perkembangan tradisi nyethe terus merangsek ke dalam kehidupan kreativitas warga. Sudah mulai ada kelompok masyarakat hingga produsen cendera mata yang coba-coba dengan metode pewarnaan cethe pada gelas, celengan, patung bubur kertas, tas, batik, hingga produk kulit.
Di sela pelaksanaan Festival Permainan Tradisional di Omah Gajah, Tulungagung, Minggu (24/2), anggota Karang Taruna Desa Simo memamerkan beberapa produk suvenir, yakni asbak, celengan, dan patung dari bubur kertas dengan pewarnaan cethe. Namun, produk itu belum dijual untuk umum karena keterbatasan dana atau modal untuk membeli bahan baku dan berproduksi rutin secara massal.
Pewarnaan cethe pada model asbak, celengan, atau patung dari bubur kertas itu juga menghasilkan perbedaan warna bergantung pada jenis kopi yang dipakai. Dengan beberapa penyempurnaan dalam membuat produk dan eksperimen teknik pewarnaan, mungkin dalam setahun ke depan di Tulungagung sudah akan banyak hadir suvenir cethe.
Apa yang telah dilakukan warga Tulungagung membuktikan perjalanan tradisi nyethe bergerak maju. Budaya itu sempat menuai pandangan negatif karena dianggap membuang-buang waktu, memicu anak-anak bolos sekolah demi mengopi dan nyethe.
Dari perspektif lain, nyethe tidak bisa dianggap sesuatu yang sepele karena ternyata mengalir kreasi seni budaya di sana.