Gara-gara isu soal celeng dua kampung bertetangga terbelah. Warga saling tuding, bahkan nyaris terjadi tawuran massal. Konflik itu dipertajam perebutan seorang lelaki oleh dua perempuan, yang kebetulan juga berbeda kampung. Apakah celeng benar-benar ada atau isu kekisruhan sengaja ditiupkan oleh sekelompok pencoleng?
Dalam pentas Indonesia Kita, cerita bisa berkembang tanpa kendali, terutama improvisasi para komedian yang acapkali kebablasan. Pada produksi ke-32, kelompok ini memainkan lakon Celeng Oleng, yang seperti biasa ditulis dan disutradarai Agus Noor.
Seperti biasa pula, Auditorium Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, pada pentas, Jumat (5/7/2019), nyaris tak menyisakan kursi kosong. Para tukang ”catut” tiket bahkan ingin membeli tiket kalau-kalau ada yang urung menonton.
Pembentukan iklim mengonsumsi kesenian dalam waktu singkat itulah yang menjadi keberhasilan paling penting sejak proyek kebudayaan Indonesia Kita digagas tahun 2011. Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan Djaduk Ferianto lahir menjadi contoh seniman-seniman tangguh dan ”administrator” yang mengerti mengurus kesenian secara baik.
Teater Koma membutuhkan waktu puluhan tahun sejak 1971 untuk kemudian disayang penonton. Kini pentas-pentasnya yang berdurasi panjang dan berlangsung lebih dari dua pekan hampir selalu dipadati penonton.
Teater apa pun jenisnya selalu membutuhkan penonton. Bukan untuk sekadar didengarkan dan tertawa-tawa mengingat ”kekritisan” Cak Lontong mengobrak-abrik logika bahasa, tetapi juga menyampaikan mission sacre. Indonesia Kita sejak awal digagas sebagai ibadah kebudayaan yang mengemban misi suci terus-menerus berproses menjadi Indonesia. Kehadiran jumlah penonton yang dari waktu ke waktu terus bertambah tentu saja menjadi elemen penting dalam pementasan sebuah teater yang mengemban misi suci itu.
Dongeng
Pentas teater dengan misi kebangsaan seperti ini senantiasa akan mengutamakan penampil, hiburan, dan jumlah penonton. Dongeng-dongeng yang digelar Agus Noor di panggung ”harus” disampaikan sejumlah penampil yang dikenal baik penonton sehingga memudahkan terjadinya komunikasi verbal.
Selanjutnya para penampil sebut saja Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Sruti Respati, dan Boris Bokir Manullang, misalnya, dituntut mampu menghibur penonton. Sebab pada prinsipnya, hiburan menjadi bahasa paling meriah dan renyah untuk menyampaikan pesan kepada penonton.
Boleh jadi inilah yang terjadi pada pentas Celeng Oleng. Dramaturgi sengaja dibangun secara longgar untuk memberikan kesempatan kepada para aktor berimprovisasi di atas panggung. Respons penonton yang setiap saat meledak sangat disukai Cak Lontong. Dari atas pentas ia bahkan bilang, ”Inilah yang aku sukai di Indonesia Kita, soal bayaran nomor dua….”
Improvisasi memang kemudian menjadi ciri utama lakon-lakon Indonesia Kita. Sayang, improvisasi yang dibangun dalam tatanan dramaturgi yang longgar membuat para aktor sering kebablasan. Beberapa adegan cenderung menjadi duplikasi dari adegan sebelumnya, dan terutama membuat pentas terseok-seok ke dalam kubangan lumpur yang seolah tanpa penyelesaian. Tugas utama aktor sebagai komunikator gagasan diam-diam kemudian terabaikan.
Gagasan dan sinopsis cerita Celeng Oleng tak berjalan mulus di panggung. Konflik antar-tetangga kampung tak benar-benar tajam sehingga melemahkan alasan pemanfaatan kesempatan dalam kekalutan oleh tokoh Pak RT yang dimainkan Marwoto.
Membangun kisah dengan latar kampung bertetangga berbeda suku, satu sisi memang menjadi cara paling mudah mengembangkan konflik. Perilaku, kebiasaan, dan cara berpikir yang kasatmata seharusnya menjadi materi empuk yang bisa diolah menjadi sumber konflik yang rumit.
Celeng Oleng berhasrat memunculkan kekisruhan yang terjadi pada masyarakat Indonesia kontemporer dengan intrik-intrik politik dan tebaran fitnah lewat media sosial. Pada kondisi kisruh itulah, sering kali orang-orang mengambil keuntungan sendiri atau kelompok masing-masing. Mereka mengabaikan kebersamaan dalam keberagaman yang menjadi ciri masyarakat majemuk bernama: Indonesia!
Sayangnya, celeng yang diharapkan menjadi sosok simbolis atas perilaku rakus dan sradak-sruduk berakhir dengan kisah (agak) klise pencarian harta karun di rumah seorang warga bernama Tivi Tambunan, yang sengaja diusir ke luar kampung. Dengan begitu, kesia-siaan penggalian harta karun, yang ternyata berwujud (maaf) fosil ”tahi” itu tidak menjadi ledakan peristiwa yang mengunci akhir cerita.
Lepas dari semua itu, sebagai sebuah proyek kebudayaan, gerakan Indonesia Kita dari waktu ke waktu telah membangun kesadaran tentang pentingnya ibadah bersama untuk mempercepat proses menjadi Indonesia. Apalagi pada era sekarang, celeng tetangga sebelah akan selalu lebih ganas daripada babi-babi rumahan yang jinak dan lucu.