Ruang Interpretasi ”I La Galigo”
Keheningan panggung terbelah alunan musik dan lalu-lalang orang berkepanjangan hingga muncul di antaranya penampil seperti ulat menggeliat dengan juntaian kain biru memanjang di belakangnya. Di sampingnya, seseorang berjalan membawa dayung. Ini segera memantik imajinasi latar kehidupan masyarakat pesisir bagi pemirsa.
Itulah adegan awal pementasan teater musikal ”I La Galigo”, epos klasik peradaban masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan, pada abad ke-14. Teater garapan sutradara Robert Wilson (78), asal Texas, Amerika Serikat, ini dipentaskan di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Pementasan digelar pada 3, 5, 6, dan 7 Juli 2019.
Wilson dikenal sebagai seniman teater eksperimental kawakan. Ia digandeng Yayasan Bali Purnati yang dipimpin Restu Imansari Kusumaningrum untuk menggarap pementasan teater musikal ”I La Galigo” sejak 2001. Pementasan perdana ketika itu digelar di Esplanade, Singapura, dan dilanjutkan ke berbagai negara.
Saat ini karya itu sudah dipanggungkan di 12 kota yang tersebar di 12 negara. Di antaranya New York (Amerika Serikat), Amsterdam (Belanda), Barcelona (Spanyol), Rhone (Perancis), Milan (Italia), Taipei (Taiwan), dan Melbourne (Australia).
Dalam perjalanan pementasan ”I La Galigo” selama 19 tahun ini, beberapa pemain teater sudah silih berganti, kecuali pemeran I La Galigo, yaitu M Gentille Andilolo.
Salah satu sisi menarik dari sutradara Wilson, ia tidak pernah tahu kisah teaternya. ”Orang-orang sering bertanya tentang kisah dari teater saya. Saya pun biasa menjawab, tidak tahu,” ungkap Robert Wilson seperti dituangkan dalam buku pengantar pementasan.
Wilson menerangkan, ketika ia mengisahkan, teater akan menjadi sebuah interpretasi. Interpretasi bukan tanggung jawab sutradara, direktur, penulis naskah, atau pemain pentas. ”Interpretasi itu milik publik,” ujar Wilson.
Dunia tengah
Di antara lalu lalang orang pada adegan awal tadi, muncul seorang pemuda berkain kuning. Dalam bahasa Bugis yang kemudian diterjemahkan ke dalam teks berbahasa Indonesia, pemuda itu berujar bahwa dialah I La Galigo yang ingin mengisahkan riwayat kehidupannya.
Panggung sejenak kosong dan dikuasai cahaya putih dengan hamparan layar yang bersinar putih terang. Perlahan kemudian panggung terkuak dengan datangnya seseorang yang diderek dari sisi atas.
Itulah tokoh Patotoqe, sang dewa penguasa dunia atas. Narator mengisahkan, ketika itu hanya ada dua dunia, yaitu dunia atas untuk para dewa dan dunia bawah yang diisi semua makhluk hidup, termasuk manusia, tetapi tidak mengenal dan tidak menyembah para dewa.
”Apakah kamu seorang dewa apabila tidak ada seorang manusia pun menyembahmu,” kata narator tertuju kepada Patotoqe.
Sejak itulah, Patotoqe menciptakan dunia tengah dan menurunkan Batara Guru ke dunia itu sebagai manusia yang bakal beranak pinak dan menyembah para dewa. Batara Guru mengawini We Nyiliq Timoq dari dunia bawah hingga suatu ketika mengandung bayi kembar laki-laki dan perempuan.
Batara Guru tahu, kelak di kemudian hari, keduanya akan saling jatuh cinta. Jika terjadi perkawinan sedarah di antara keduanya, itu akan membinasakan kerajaan.
Bayi kembar setelah lahir segera dipisahkan satu sama lain agar kelak tidak bisa saling jatuh cinta. Bayi laki-laki diberi nama Sawerigading, dan yang perempuan diberi nama We Tenriabeng.
Alkisah, meski dipisah berjauhan, akhirnya Sawerigading bertemu pula dengan We Tenriabeng. Sawerigading tidak mengetahui We Tenriabeng itu saudara kembarnya. Ia terpesona dan ingin mengawininya.
We Tenriabeng mengetahui siapa Sawerigading. Ia mengetahui pula nasib naas bakal menimpa kerajaan jika ia kawin dengan saudara kembarnya itu. We kemudian menunjukkan wajah seorang perempuan cantik dari kerajaan China yang tergambar di kuku ibu jarinya. Dialah We Cudaiq, kelak Sawerigading berhasil menikahi perempuan ini dengan lika-liku kisah asmara.
We Cudaiq ketika akan dipinang menerima informasi Sawerigading bertampang barbar yang buruk. Ia pun menolaknya. Sawerigading pun kemudian memerangi kerajaan yang dipimpin ayah We Cudaiq. Peperangan dimenangkan Sawerigading dan ia kembali meminang We Cudaiq.
We Cudaiq menerima dengan persyaratan, antara lain, ia tidak mau menerima Sawerigading pada saat cahaya terang atau siang hari. Meski bersedia diperistri, ia tidak mau menatap wajah Sawerigading.
Mereka menikah. Tetapi, We Cudaiq tinggal di bilik terpisah dan dijaga para prajurit yang diperintahkan melarang siapa pun, termasuk Sawerigading, menemuinya.
Ini bagian dari pengelanaan Sawerigading memburu cinta sejati. Perjalanan inilah yang menjadi kisah pementasan teater berdurasi 150 menit tersebut.
Bayi lahir
Dikisahkan, Sawerigading memperoleh bantuan yang dikirim We Tenriabeng, saudari kembarnya yang telah menjadi biksu atau pendeta dan tinggal di dunia atas. Dengan bantuan itu, ia berhasil mengalahkan para prajurit penjaga dan berhasil mengantar Sawerigading pada malam hari ke bilik We Cudaiq.
Dari geguritan berbahasa Bugis itu dikisahkan lewat teks, di antaranya berbunyi, subuh demi subuh We Cudaiq mengusir Sawerigading dari biliknya. Ia memenuhi janjinya hanya bersedia menemui Sawerigading dalam kegelapan malam supaya ia tidak melihat wajah Sawerigading yang dibayangkan menyeramkan.
Suatu ketika, We mengandung dan melahirkan bayi. Itulah bayi yang kemudian tumbuh sebagai I La Galigo. We tidak mau menerima bayi I La Galigo. Ia meminta bayi itu dibuang. Sawerigading mengetahui hal itu, kemudian membawa bayi I La Galigo menyingkir dari kerajaan We Cudaiq.
Di kemudian hari, Galigo tumbuh menjadi pemuda bengal dan tampan yang suka adu ayam. Suatu ketika, ditemani ayahnya, ia pergi ke kerajaan We Cudaiq untuk mengikuti sayembara sabung ayam dan menang.
We Cudaiq menyaksikan pemuda Galigo dan bertanya kepada pengawalnya tentang laki-laki yang mendampingi Galigo. Diberitahukan, dialah Sawerigading, suami We Cudaiq. We Cudaiq terkesiap melihat ketampanan wajah Sawerigading, tidak seperti yang pernah dibayangkan menyeramkan. Sejak itulah, We Cudaiq menerima Sawerigading sepenuhnya sebagai suami.
Di akhir pentas, seperti kata Wilson, penonton akhirnya menerima dan memiliki ruang interpretasi masing-masing terhadap pementasan kisah teater musikal ”I La Galigo”
ini.
Barangkali, ruang interpretasi itu dipenuhi imajinasi liar tentang kelahiran I La Galigo dari hasil percintaan We Cudaiq yang tidak mau menatap wajah suaminya, Sawerigading.
Era post-truth atau pascakebenaran yang berkembang sekarang seperti ditunjukkan We Cudaiq. Keyakinan terhadap suatu kebenaran di era ini lebih dikendalikan emosi daripada kebenaran fakta. Ruang interpretasi I La Galigo menyuguhkan cermin kehidupan.