Film, Binatang, dan Antropomorfisme
Bailey si anjing gembala Australia kembali berinkarnasi. Kali ini, ia menjadi Molly, anjing ras beagle, dalam film A Dog’s Journey. Siklus reinkarnasi Molly—sekaligus Bailey—terus berlanjut, sama seperti cerita binatang yang terus berinkarnasi di pasar film.
Bailey (pengisi suara oleh Josh Gad) menjalani sejumlah kehidupan saat dipelihara tuannya, Ethan (Dennis Quaid). Rohnya terus kembali kepada Ethan dalam fisik yang berbeda-beda, mulai dari anjing ras golden retriever, gembala jerman, hingga corgi. Tujuan hidupnya adalah mendampingi dan memberi afeksi sebanyak-banyaknya kepada Ethan hingga tuannya tua.
Hal itu dipenuhi Bailey pada film A Dog’s Purpose (2017). Di film sekuelnya, A Dog’s Journey (Juli 2019), Bailey diberi tugas untuk menjaga CJ, cucu perempuan Ethan. Tugas itu tidak mudah karena CJ dan ibunya pindah ke luar kota dan Bailey tutup usia.
Roh anjing itu kembali lagi dalam wujud Molly. Bermodalkan keberuntungan, Molly menemukan CJ kecil (Abby Ryder Fortson). Molly menjalani janjinya untuk menjaga dan menemani CJ hingga beranjak remaja. Namun, tugas tersebut tidak tuntas. Molly mati dan memulai lagi kehidupannya.
Molly kembali dalam raga anjing ras boxer. Ia dipanggil Big Dog oleh tuannya kala itu, Joe. Janji untuk menjaga CJ tak bisa dipenuhi saat Molly saat menjadi Big Dog. Namun, setidaknya ia berhasil bertemu CJ sebelum mangkat dan berinkarnasi menjadi Max, si anjing yorkshire terrier.
Tekad Max—sekaligus Bailey, Molly, dan Big Dog—sudah bulat untuk kembali bersama CJ. Ia akhirnya menemukan tuannya di New York City, Amerika Serikat. Max kemudian menjadi teman CJ yang setia hingga akhir hayatnya.
Tepat sasaran
Film A Dog’s Journey punya aspek yang lebih kurang sama dengan film lainnya tentang anjing. Emosi penonton dibolak-balik selama ditayangkan selama 1 jam 48 menit. Perasaan senang, haru, sedih, dan rasa cinta disampaikan dengan sederhana, tetapi tepat sasaran.
Kisah Bailey diadaptasi dari novel karya W Bruce Cameron berjudul A Dog’s Purpose. Gail Mancuso dipercaya menggarap film kedua Bailey.
Dalam sebuah wawancara, Mancuso mengatakan, nyaris semua orang yang terlibat dalam film memiliki anjing. Ia sendiri memelihara lima anjing. Kedekatannya dengan anjing membuat Mancuso mengerti sifat anjing berikut caranya bekerja dengan mereka.
”Menyayangi anjing itu penting. Kita hanya harus bekerja sedikit lebih keras (dalam pembuatan film). Sebab, kita tahu perilaku mereka dan ada keinginan untuk mengabadikannya dalam film,” kata Mancuso.
Buat sejumlah penonton, film yang bercerita tentang binatang (khususnya anjing) diasosiasikan sebagai film emosional. Selain itu, anjing juga dinanti sebagai pemeran film karena dinilai menggemaskan. Tingkahnya pun lucu. Anjing juga diasosiasikan sebagai salah satu binatang yang mudah menarik simpati manusia.
Salah satu film yang bisa membangun narasi hubungan kuat antara manusia dan anjing adalah Hachiko: A Dog’s Story (2009). Film ini kerap mengundang tangis dengan kisah Hachiko, anjing ras shiba inu, yang setia menunggu tuannya di stasiun kereta setiap hari. Atas kesuksesannya, film besutan sutradara Lasse Hallström ini berhasil mengantongi keuntungan kotor sebesar 46,7 juta dollar Amerika Serikat.
Seperti manusia
Apabila ditelaah, film A Dog’s Purpose, A Dog’s Journey, dan Hachiko: A Dog’s Story sama-sama berlandaskan pada antropomorfisme. Sebuah cerita disebut bernilai antropomorfisme apabila karakter hewan diberi kemampuan atau perilaku layaknya manusia. Karakter itu dikisahkan antara lain mampu berbicara, berpikir, bertingkah, dan berjalan seperti manusia hingga mengenakan pakaian. Sebut saja karakter-karakter kartun Winnie the Pooh, Lion King, dan Babe: Pig in the City.
Menjadikan binatang sebagai karakter kuat dalam sebuah kisah sudah dimulai sejak lama. Hal ini sudah dimulai sejak zaman prasejarah. Manusia menggambarkan binatang dalam beberapa kisah, baik sebagai ancaman maupun kawanan. Gambar tersebut ditorehkan di dinding goa tempat manusia bernaung kala itu.
Seiring berjalannya waktu, antropomorfisme berevolusi. Binatang tidak hanya bisa berlaku atau memiliki kemampuan manusiawi. Binatang juga dijadikan representasi sifat manusia.
Dalam kartun Winnie the Pooh, misalnya, karakter Pooh mewakili sifat polos dan naif. Eeyore si kedelai bersifat pesimistis, Piglet si babi merah jambu bersifat penakut tetapi setia, Rabbit sedikit culas, serta Tigger tidak peka.
Penulis dan dosen Robin Allan dalam esai berjudul The European Influences on the Animated Feature Films of Walt Disney menyatakan, antropomorfisme sudah lama ada di dunia. Seorang Yunani bernama Aesop disebut sebagai orang yang memopulerkan fabel. Ia disebut lahir ratusan tahun sebelum Masehi. Allan mengatakan, Aesop menggunakan antropomorfisme untuk beragam tujuan, baik pada aspek sosial maupun politik.
Pengajar teori ideologi dan politik di universitas di Beijing, Sun Ping, dalam artikel 2015 menyatakan, binatang merupakan representasi keunikan emosi manusia. Selain itu, binatang sebagai karakter juga menunjukkan kompleksitas hubungan antarmanusia.
”Dengan membaca cerita tentang binatang, kita menjadi lebih dekat dengan kehidupan alam sehingga kita bisa melihat jauh ke dalam diri manusia,” kata Sun Ping.
Kisah tentang hewan juga diterapkan dalam 12 siklus tahunan pada budaya Tionghoa. Ada 12 hewan yang melambangkan siklus ini. Masyarakat kerap menyebutnya shio. Hewan-hewan tersebut adalah tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan babi.
Ada banyak versi yang menceritakan legenda ini. Menurut salah satu legenda, kucing merupakan hewan di urutan ke-13. Namun, kucing dikisahkan tidak bangun dari tidurnya saat sang pencipta membuat lomba adu cepat buat para hewan. Akibatnya, kucing gagal masuk dalam siklus.
Ada pula legenda yang mengisahkan tikus sebagai hewan licik. Ia sengaja tidak membangunkan kucing dan menumpang di punggung kerbau agar bisa tiba ke hadapan sang pencipta sebagai hewan paling pertama. Ada pula kisah yang menggambarkan babi sebagai hewan pemalas sehingga ia datang paling terakhir.
Terlepas dari asal-usul ide sang pengarang, fabel dan antropomorfisme telah menghibur manusia dalam jangka waktu yang panjang. Anak-anak juga banyak belajar dari karakter hewan di buku-buku cerita. Melihat antusiasme manusia terhadap binatang sepertinya film tentang binatang masih akan digandrungi di masa depan. Siapa yang tahu?