Meretas Jalan Konvergensi
Di balik geber putih itu mereka menari dengan siraman cahaya yang membentuk siluet tubuh seperti pementasan wayang kulit. Sutradara Roseanna Anderson dan Josh Ben-Tovim asal Inggris mengakui sepotong adegan bagian pungkas teater tari mereka dengan judul naskah Baal karya Bertolt Brecht tahun 1918 itu memang terinspirasi dari wayang kulit Indonesia.
”Adegan penutup dengan bayangan itu memang mengambil dari pentas wayang kulit di sini. Ini pertama kali kami hadirkan,” ujar Josh Ben dari Impermanence, sebuah perusahaan seni pertunjukan yang berbasis di Inggris, seusai pementasan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (11/7/2019).
Baik Roseanna maupun Josh Ben belum pernah menyaksikan langsung pentas wayang kulit. Tetapi, mereka berkali-kali menyaksikannya di kanal Youtube dan tertarik dengan seni tradisi ini. ”Pesannya, melalui tampilan siluet itu ingin menegaskan kembali sepanjang perjalanan hidup tokoh Baal,” ujar Josh Ben.
Penulis naskah Bertolt Brecht menempatkan perangai sosok utama Baal dalam kalimat kedua, ”Kehidupan makhluk ini adalah kehidupan amoral sensasional.”
Empat pemain teater tari menyuguhkan gerakan-gerakan tubuh seperti balet, menceritakan perjalanan hidup Baal yang amoral sensasional itu. Penonton terbantu mengikuti alur kisah dengan teks berjalan di layar. Di babak awal dikisahkan proses kelahiran Baal dan disebutkan, ”Dia muncul sebagai penyair di antara makhluk beradab di tahun 1904.”
Baal larut dalam kehidupan malam yang dipenuhi minuman memabukkan. Dikisahkan suatu ketika Baal mabuk bersama gelandangan dan para pengemis. Ia pun akrab menggauli perempuan. Hingga induk semang rumah yang ditempati Baal mengatakan, ”Lotengku bukan rumah bordil!”
Di babak akhir, Baal membunuh kawan terdekatnya, Ekaart. Brecht tidak lantas bertutur tentang apa yang terjadi kemudian. Namun, Brecht kemudian mengakhiri kisah Baal pada dini hari di tengah hutan. Baal demam, kemudian menemui ajal.
”Saya bertanya kepadanya, ketika kematian berdering di tenggorokannya, apa yang kau pikirkan?” tulis Brecht. Ia menutup naskahnya, ”Dan keinginan umat manusia untuk kebahagiaan tidak pernah bisa sepenuhnya dibunuh.”
Kekuasaan dan Ketakutan
Pentas teater tari Baal ini menjadi salah satu rangkaian kegiatan Djakarta Teater Platform yang diselenggarakan Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 8-20 Juli 2019. Tema besar rangkaian kegiatan tersebut ”Kekuasaan dan Ketakutan”.
Menurut Koordinator Komite Teater DKJ Afrizal Malna, pilihan tema itu bermula dari rasa ketakutan insan seni teater tentang meruaknya perubahan zaman, antara lain di bidang teknologi. Perubahan itu menciptakan kekuasaan, sekaligus memberikan rasa takut atau kekhawatiran bagi insan seni bidang apa pun.
Bersama anggota Komite Teater lainnya, Adinda Luthvianti dan Rita Matu Mona, kemudian dirumuskan kuratorial dengan tema Kekuasaan dan Ketakutan. Salah satunya diungkapkan bahwa kekuasaan dapat dilihat sebagai kematian. Kematian dilihat sebagai kekuasaan.
Hal itu disampaikan dari berbagai kisah klasik dunia, seperti Oedipus, Dionysus, King Lear, Hamlet, Machbet, Faust, Baal, Danton, Monserat, dan Caligula. Kisah-kisah itu memperlihatkan kompleksitas kekuasaan dari banyak kematian yang menopangnya.
Disebut pula kisah dari Tanah Air. Wandiu-diu sebagai nyanyian dari tradisi lisan di Wakatobi, Buton, Sulawesi Tenggara. Ada seorang istri yang kena marah suaminya karena ketika suaminya pulang dari menangkap ikan tidak mendapatkan lauk untuk makan. Lauk itu telah diberikan sang ibu kepada anak bungsu yang terus menangis.
Alat tenun yang digunakan sang istri direbut suami dan ingin dipukulkan kepadanya. Sang istri kabur ke laut dan dikisahkan ia menjadi seekor ikan duyung. Sang anak bungsu ketika hendak menemui ibunya untuk menyusu haruslah menyanyikan lagu ”Wandiu-diu”.
Di situ, perempuan menjadi korban penyingkiran atas kekuasaan laki-laki. Kisah serupa lainnya adalah Ina Lewo dari Lamaholot, Flores Timur.
Para kurator dari Komite Teater DKJ merumuskan, di balik kekuasaan, perempuan, dan kematian, ada bandul yang terus bergerak, yaitu ketakutan. Kurasi ini direspons dengan beragam aktivitas seperti beberapa diskusi bertema antara lain William Shakespeare, Ranaisans, dan Masa Kini.
Ada tema lainnya, Biografi Penciptaan. Digelar pula lokakarya dengan berbagai tema meliputi tema Tubuh dan Teks, Disabilitas dan Kerja Kesenian.
Dalam rangkaian kegiatan ini, dibuat pula pameran naskah drama dari Tanah Air yang bertema Ruang Riuh. Kurator pameran ini, Rebecca Kezia, menampilkan beberapa naskah drama, termasuk naskah drama karya Soekarno (di masa Hindia Belanda) yang berjudul Koetkoetbi. Juga karya WS Rendra berjudul Orang-orang di Tikungan Jalan. Seni performans lainnya ditampilkan Teater Sae, Lab Teater Ciputat, Gema Swaratyagita, Laring Project Teater Alamat, dan Kala Teater.
Banyaknya aktivitas di dalam Djakarta Teater Platform ini bisa dipandang sebagai upaya meretas jalan konvergensi. Hal ini merespons perubahan zaman. ”Kita mencoba melihat beberapa masalah yang dihadapi berbagai disiplin seni,” ungkap Pelaksana Tugas Ketua DKJ Danton Sihombing.
Praktik seni melalui berbagai pameran atau diskusi sekarang ini menyatukan seniman dari berbagai disiplin. Budaya konvergensi menerobos batas spesialisasi dan bidang-bidang studi. Basis penciptaan karya seni adalah respons publik dan pasar. Di sinilah tercipta ruang jelajah yang hampir tanpa batas.
Melalui pementasan naskah drama Baal karya Brecht pada tahun 1918, kelompok Impermanence asal Inggris berhasil memasuki ruang jelajah konvergensi dan mengajak kita menengok seni apa saja yang kita miliki. (NAWA TUNGGAL)