Sintesis Keresahan
Dunia yang sedang berubah memunculkan rasa takut dan kecemasan perihal kepastian dan ketakpastian. Orang-orang merasakannya. Teater Garasi mewadahi keresahan itu dan mewujudkannya ke dalam pertunjukan. Lakon ini belum selesai, sejalan dengan kecemasan yang tak berujung.
Iringan musik terdengar konstan dan lirih ketika Venuri Perera jadi titik sentral di panggung. Dia berdiri di tengah. Di sampingnya ada seonggok batu besar. Penari dari Colombo, Sri Lanka, itu menyunggi batu seukuran mangkok. Badan, terlebih lagi kepala dan lehernya, menahan beban berat.
Beban itu tersorot dari matanya. Tatapannya nanar. Bola matanya bergerak-gerak seperti orang cemas. Bibirnya komat-kamit mengucapkan rangkaian kalimat dalam bahasa Sinhala dengan suara samar-samar. Kecamuk pikiran kuat terasa. Lantas ia mengangkat kaki kanannya, menekuknya. Susah payah badannya menjaga keseimbangan. Kesusahan itu begitu beruntun.
Kepayahan itu seolah menggambarkan situasi kalut yang ia—dan warga Sri Lanka—alami baru-baru saja. Narator di tepi jauh panggung menjadi penerjemah adegan itu. Ada kata-kata ”perang saudara”, ”tiga puluh tahun”, ”diktator”, ”teror paskah”, ”penembakan”, ”kematian anak kecil”, dan serentetan kengerian lain.
Penonton termangu. Anak-anak, remaja, orang dewasa, pejabat daerah, juga jelata tak bersuara. Saat itu, Larantuka, kota tempat pertunjukan itu dipentaskan, terasa berbeda dengan malam lainnya yang riuh dengan musik. Sesaat suasana jadi hening, ikut menghayati kegundahan adegan itu.
Venuri adalah salah satu seniman yang terlibat dalam pementasan teater bertajuk Peer Gynts di Larantuka (Kisah Para Pengelana dari Asia) yang berlangsung pada Sabtu (6/7/2019) di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Pertunjukan itu diproduksi Teater Garasi, kelompok seni pertunjukan dari Yogyakarta, dengan sokongan Badan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta Shizuoka Performing Arts Center (SPAC). Sesuai judulnya, Venuri bukan satu-satunya ”pengelana dari Asia” di pentas tanpa karcis itu.
Ada Takao Kawaguchi, Micari, dan Yasuhiro Morinaga dari Jepang. Ada MN Qomaruddin, Arsita Iswardhani, dan Ignatius Sugiarto dari Teater Garasi. Berikutnya ada sejumlah seniman Flores Timur, yaitu Silvester Petara Hurit, Inno Koten, Dominikus Dei, Lidvina Lito Kellen, Aloysius Wadan Gawang, Veronika Ratumakin, Stanley Tukan, Philipus Tukan, Magdalena Oa Eda Tukan, Rusmin Kopong Hoda, dan Beatrix Tukan. Satu seniman lain, Nguyen Manh Hung dari Vietnam, tak bisa hadir.
Kerangka cerita pertunjukan itu adalah naskah drama lima babak Peer Gynt karya dramawan Norwegia, Henrik Ibsen, dari tahun 1867. Alkisah, Peer Gynt terpaksa melanglang buana karena sikapnya yang cenderung sembrono menentang moral dan nilai kaku masyarakatnya.
Di tangan dramaturg Ugoran Prasad dan Yudi Ahmad Tajudin—juga bertindak sebagai sutradara—Peer Gynt (diperankan Takao) singgah di beberapa tempat di Asia. Dia menemukan dan menguliti hal-hal baru dalam perjalanannya, melupakan Aase ibunya, juga mengabaikan cinta kekasihnya, Solveig.
Pelayaran Peer Gynt memberinya kemakmuran, salah satunya dari hasil perdagangan budak. Dalam perjalanan pulang, kapalnya karam. Peer terdampar di lingkaran suku yang dipimpin Anitra (diperankan Venuri). Peer terpesona, yang justru berujung pada kehancuran.
Dia akhirnya tiba di kampung halamannya dalam kondisi miskin dan tua. Solveig ternyata masih menunggunya hingga renta dan buta. Walau begitu, Peer sudah merasa pulang ke rumah. Ia diyakinkan dengan narasi yang dibacakan Silvester, ”Di sinilah rumahku, tidak salah lagi… ada pencari mutiara, pemburu gading, mete, kopi, kopra, dan nabi palsu.”
Narasi tersebut seolah menggambarkan Larantuka. Ya, petualangan Peer Gynt berakhir di Larantuka, sebuah tempat berangin kering dan bermatahari terik, tempat di mana simbol keagamaan lebih mudah ditemukan daripada warung makan.
Ugoran mengadopsi tiga dari lima babak naskah aslinya. Alur ceritanya dibuat searah demi menyesuaikan ragam penonton di arena terbuka tepat di pinggir pantai itu.
Penonton, sebagian duduk di kursi bambu panjang dan lebih banyak lagi yang berdiri, tak beringsut sepanjang durasi sekitar satu jam. Beberapa warga bilang, biasanya, penonton pementasan teater di Larantuka berkurang di tengah pertunjukan. Kali itu kondisinya lain.
Penonton tidak cuma diam menyimak pentas itu, tetapi jadi bagian pertunjukan. Ada adegan ketika Venuri berkeliling arena penonton berswafoto. Mereka ikutan bergaya. Demikian juga ketika Micari berjalan membungkuk tertatih-tatih memunguti sampah plastik di sela kaki-kaki penonton. Mereka ikutan mencari sampah.
Ragam bahasa
Pementasan itu memadukan narasi, sastra kuno tradisional, dan koreografi. Bahasa yang dituturkan bercampur. Micari, ketika berperan sebagai Aase berdendang dalam bahasa Jepang. Venuri bercerita dalam bahasa Sinhala. Sementara pemain dari Flores Timur bertutur dalam bahasa setempat, Lamaholot. Bahasa Indonesia terdengar satu kali oleh narator yang mengiringi Venuri.
Sementara Takao, yang kebagian adegan paling banyak ”berbicara” melalui gerak tubuh dan mimiknya, tanpa kalimat verbal. Pun demikian dengan dingin, dia bisa menunjukkan Peer Gynt yang berwibawa. Di adegan lain, dia berlarian, berlompatan, bergelantungan di batang pohon, hingga menyurukkan wajahnya ke pasir.
”Tak adil kalau kami hanya pakai bahasa Indonesia atau Inggris, sementara publik di Larantuka mungkin tak terbiasa dengan pertunjukan semacam ini. Di sisi lain, saya ingin menampilkan perihal kontak di atas panggung. Bagaimana perbedaan-perbedaan itu berdialog, dan mungkin juga ada ketegangan antara satu dan yang lain. Jika pakai bahasa persatuan, hal-hal tersebut hilang,” kata Yudi sebelum pentas.
Kontak yang dia maksud adalah pertemuan-pertemuan baru; perjumpaan seniman dari berbagai tempat, pertemuan ekspresi kegelisahan dari setiap individu. Interaksi itu dibangun dan dijaga sejak dua pekan sebelum pentas.
Interaksi dengan seniman luar adalah hal berharga bagi pegiat pertunjukan di Flores Timur. ”Pertemuan ini menarik. Kami jadi mengetahui persoalan yang dialami komunitas dan negara masing-masing. Kami bisa berbagi kegelisahan yang selama ini belum terekspos kepada pihak luar. Ada perasaan bahwa kami mengalami persoalan yang sama,” kata Silvester, seniman kelahiran Larantuka.
Rombongan seniman luar negeri dan Teater Garasi tiba di Larantuka sejak 23 Juni. Mereka berkenalan dan berdialog dengan seniman setempat. Mereka menggali isu budaya, sosial, dan politik saban hari. Mereka menyeberang ke Desa Woka di Pulau Adonara dan ke Desa Kalike di Pulau Solor. Naskah pementasan adalah sintesis dari interaksi itu.
Pola seperti itu yang akan diusung Teater Garasi ke tempat lain. Mereka menjadwalkan tampil di Tokyo dan Shizuoka, Jepang, tahun ini, dengan penyesuaian naskah. Ada pula keinginan mementaskannya di Kolombo, Hanoi, dan Jakarta. Jika terjadi, Peer Gynts—ditulis dalam bentuk jamak—akan semakin banyak bermunculan.