Komik Indonesia ada sejak tahun 1950-an. Kala itu, komikus RA Kosasih dan Ardisoma membuat komik tentang wayang yang digandrungi masyarakat (Kompas, 26/5/1976).
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Komik Indonesia ada sejak tahun 1950-an. Kala itu, komikus RA Kosasih dan Ardisoma membuat komik tentang wayang yang digandrungi masyarakat (Kompas, 26/5/1976). Komikus Jan Mintaraga, Teguh Santosa, dan Ganes TH juga tercatat sebagai sejumlah komikus yang karyanya mewarnai dunia komik beberapa dekade silam. Perlahan, komik Indonesia menduduki masa jayanya.
Setelah tahun 1965, industri komik Indonesia berkibar dan berjaya. Komik lokal dicetak minimal 15.000 kopi per judul. Cetakan untuk komik laris bisa dua kali lipat lebih banyak hingga 30.000 kopi, contohnya Tuan Tanah Kedawung oleh Ganes TH. Pada 1992, cetakan komik lokal berkurang drastis. Paling banyak 1.000 kopi. Sebab, tidak ada lagi yang mencetak komik lokal (Kompas, 7/11/1993).
Perlahan, kejayaan komik Indonesia redup dan tergantikan oleh komik buatan luar negeri. Jepang dan Amerika Serikat contohnya. Popularitas komik buatan kedua negara itu tidak main-main. Sebut saja komik Doraemon, Kung Fu Boy, Dragon Ball, Candy Candy, Marvel, hingga Donald Bebek.
Mengutip dari laman Indonesia Kreatif oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), sejarah komik Indonesia berlangsung sejak masa kolonial. Indonesia masih disebut Hindia Belanda. Sekitar tahun 1930, karakter Put On pada komik karya Kho Wang Gie sangat populer. Komik tersebut dimuat di surat kabar Sin Po setiap Jumat dan Sabtu.
Seiring berjalannya waktu, wajah komik berubah. Perubahan zaman membuat komik berevolusi. Komik, yang dulu helaian kertasnya bisa kita sentuh hingga jari menghitam karena tinta, kini berubah format menjadi komik digital. Persebarannya pun luas.
Komik kini bisa dibaca di laman internet dan sejumlah akun di media sosial, seperti Instagram dan Twitter. Ada pula komik yang bisa dibaca melalui aplikasi di ponsel pintar, Webtoon misalnya. Jika dulu satu buku komik berisi satu episode cerita, kini satu gawai bisa memuat ratusan episode. Dengan kemajuan teknologi, akses ke ratusan komik hanya sejauh sentuhan jari (dan koneksi internet).
Komik berevolusi
Pergeseran zaman tidak hanya berimbas ke media membaca komik. Kontennya pun turut berubah. Dahulu komik Indonesia menampilkan figur heroik melalui wayang. Sejumlah komik juga berkisah tentang petualangan dan pendekar dengan latar kondisi puluhan tahun lalu, misalnya komik Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH.
Pada tahun 2000-an, tema cerita pada komik lebih variatif. Banyak ditemui komik Jepang bertema cinta, petualangan, misteri, kisah kehidupan sehari-hari, dan sebagainya. Para pembeli komik di masa itu pasti pernah nongkrong di toko buku. Komik-komik yang sampul plastiknya sudah terbuka dibaca sambil berdiri atau jongkok di pojok rak buku.
Harga satu buku komik pun masih tergolong murah, sekitar Rp 10.000. Perlahan harganya merangkak naik, mulai dari Rp 12.500, Rp 15.000, hingga Rp 20.000. Pada Senin (15/7/2019), harga satu buku komik di toko buku Gramedia ialah Rp 25.000.
Pada era digital seperti sekarang, buku komik mulai ditinggalkan. Para pembaca beralih ke platform digital karena dinilai lebih praktis.
Pembaca komik dari Yogyakarta, Lanang Tegar (23), merupakan salah satu pembaca yang hijrah dari buku komik ke komik digital. ”Lebih ringkas dengan komik digital. Tapi, jika kuota internet habis, ya, bingung (melanjutkan membaca komiknya),” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin.
Konten komik juga sekarang bukan melulu soal imajinasi si pengarang. Komik juga digunakan sebagai sarana kritik dan edukasi sejak lama. Namun, melalui media sosial, kritik melalui komik jadi lebih luas persebarannya. Komikus juga jadi lebih tanggap dan peka terhadap isu-isu terkini, baik di bidang sosial, lingkungan, HAM, politik, feminisme, hingga soal krisis identitas pemuda usia 20-an (middle-age crisis).
Komik juga tidak melulu serius. Di media sosial, komik digambar untuk bercanda dan menghibur. Jenis kelakarnya juga berbeda-beda pada tiap komikus. Akun komik Tahilalats, misalnya, terkenal dengan candaan yang harus dicerna baik-baik sebelum masuk ke momen ”aha!”. Untuk menyiasati candaan yang belum tentu dipahami itu, warga net kerap mencari penjelasannya di kolom komentar.
Sastrawan Rahmat Djoko Pradopo melihat komik sebagai karya sastra yang berubah dari waktu ke waktu. Perubahan itu terjadi karena beberapa hal, seperti perubahan persepsi, selera masyarakat, dan horizon harapan. Ada juga faktor perubahan konsep estetik seniman (Kompas, 16/12/1993).
Sementara itu, sastrawan Sapardi Djoko Darmono berpendapat, komik bisa dijadikan bahan pengajaran bagi siswa SD hingga SMA. Ini bisa dilakukan dengan catatan bahwa komik tersebut dirancang berdasarkan hasil studi.
”Menurut saya, anak-anak itu bisa menangkap lebih cepat pesan yang ada dalam komik jika isi komik sesuai dengan gambaran masyarakat. Syukur dari komik anak-anak bisa diarahkan ke karya sastra. Saya tidak percaya kalau anak terlalu banyak melihat gambar lalu kemampuan membacanya kurang,” katanya (Kompas, 16/12/1993).