Kamilah Festivalnya!
Festival musik We The Fest kembali berlangsung selama tiga hari mulai Jumat (19/7/2019), di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Para penampilnya—sebagian besar bintang masa kini—menyedot animo kawula muda. Inilah wajah industri musik hari ini.
Arena Jakarta International Expo, yang baru saja jadi tuan rumah Jakarta Fair, terlihat amat semarak pada Jumat. Ada banyak kios dadakan yang menjual makanan dan minuman, juga aksesori pakaian. Ada juga kios untuk berfoto-foto sampai salon untuk memilin rambut.
Kios-kios itu beruntaian lampu-lampu aneka warna. Warna neon menyemburat. Di dekat panggung utama bahkan ada bianglala besar yang tengahnya bertuliskan nama festival ini. Bianglala itu bertakhtakan lampu-lampu warna mencolok, turquoise dan magenta mendominasi.
Pengunjungnya juga tak kalah heboh. Mereka sepertinya mengenakan pakaian terbaik. Terbaik belum tentu terlengkap. Banyak yang pakai celana pendek, gaun terusan, kemeja pantai, hot pants, sampai tanktop. Wajah mereka juga dirias aneka rupa. Beberapa dari mereka memulas wajah di dalam mobil di area parkir.
Penonton dan artis samasama beraksi untuk dilihat. Sebab, merekalah festivalnya.
Selepas petang pada hari pertama, band Dewa 19 tampil di panggung utama, panggung yang namanya diambil dari nama festival ini. Bisa dibilang panggung itu adalah representasi festival. Nah, Dewa 19, band yang aktif sejak 1986, ada di situ. Mereka main disaksikan penonton yang umumnya belum lahir ketika Dewa mengeluarkan album debut pada 1992.
Band yang terbentuk di Surabaya itu membuka set mereka dengan tembang ”Restoe Boemi”, lagu yang dipetik dari album Terbaik Terbaik tahun 1995. Usia albumnya sudah 24 tahun. Spontan ribuan pengunjung berumur belasan tahun hingga dua dekade menyambut lagu itu dengan bernyanyi bersama.
Suasana semakin panas. Aksi Ari yang juga diiringi Abdul Qodir Jaelani berlanjut. Pemain kibor yang akrab disapa Dul itu menggantikan posisi ayahnya, pendiri Dewa 19, Ahmad Dhani. Giliran lagu kedua, ”Cukup Siti Nurbaya”, mengentak, masih diikuti kor penonton.
Ari sekilas mendelik sambil tersenyum seusai menyajikan lagu-lagu yang dirilis hampir tiga dasawarsa itu. Agaknya solois itu tak tahan untuk berkomentar. ”Semua hafal, ya. Memang waktu album itu keluar kalian sudah lahir?” ujarnya disambut riuh rendah penonton.
”Cukup Siti Nurbaya” juga ada di album Terbaik-Terbaik. Walaupun lawas, mereka seperti tak peduli dengan usia audiens malam itu. Dewa kembali memainkan lagu dari album yang sama, ”Satu Hati”. Cabikan gitaris Andra Ramadhan dengan setelan sepenuhnya hitam masih prima.
Sementara, pemain bas Yuke Sampurna, yang dibalut kemeja dengan lengan digulung dan bandana merah khasnya, juga tak kalah lincah. ”Semoga enggak ada yang berantem. Semua satu hati,” kata Ari yang meneruskan performanya dengan lagu ”Pupus”.
Antargenerasi
Kecuali Dul, wajah-wajah menua tampak kontras dengan penggemar-penggemar muda mereka yang menyemut di depan panggung. Di panggung, komunikasi antargenerasi juga terjadi. Dul tak banyak bicara dan tampak kurang rileks. Ari mencoba mencairkan ketegangan itu.
Ia memperkenalkan setiap personel Dewa 19. Giliran lengan Ari mengarah ke Dul, sorak dan tepuk tangan penonton semakin nyaring.
”Lebih nge-top Dul daripada kita kayaknya. Dul, enggak usah main lu,” gurau Ari. Dul mengumpat kepada Ari dalam logat suroboyoan. Penonton tergelak.
Suara piano yang kembali mengalun lantas menjernihkan suara Ari dengan ”Roman Picisan”. Lagu ”Kangen” lagi-lagi menjadi penembus lintas angkatan. Hit pertama Dewa 19 itu dinyanyikan penonton dengan fasih. Grup tersebut menutup penampilannya dengan ”Separuh Nafasku”.
Selepas Dewa, panggung utama itu rehat sejenak. Penonton bergeser ke tiga area panggung lainnya. Salah satu yang banyak jadi tujuan adalah panggung bernama panjang This Stage is Bananas, di dalam ruang. Di tempat itu tampil band The Adams yang juga enggak muda-muda amat.
Band itu terbentuk pada 2002 ketika para anggotanya masih kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Album debut mereka keluar tahun 2005 atau sudah berumur 14 tahun sekarang, sama seperti usia sebagian penonton. Oh iya, festival ini untuk segala umur. Pembatasan usia hanya berlaku di bar yang menyediakan minuman beralkohol.
The Adams membawakan lagu-lagu dari albumlama hingga yang baru. Album terakhir mereka, Agterplaas, keluar pada Maret tahun ini. Album baru itu direspons amat baik. Jadwal manggung mereka banyak lagi, sebagian main di acara kampus dan sekolah. Dengan begitu, Ario Hendarwan dan kawan-kawan bisa meraup pendengar baru tanpa kehilangan pendengar lama.
Setelah The Adams, giliran band Alvvays (dibaca Always) asal Toronto, Kanada, yang main di panggung itu. Band ini tergolong baru. Album penuh perdananya saja baru keluar 2014. Meski begitu, popularitas mereka cepat meroket. Salah satu pendorongnya adalah platform musik streaming.
Kepopuleran mereka terasa malam itu. Arena dalam ruang yang biasanya dingin tiba-tiba menghangat karena penonton semakin padat. Para penonton bahkan berdiri menunggu, mengabaikan penampilan di panggung lain demi menonton Alvvays.
Mereka tampil sesuai jadwal, pukul 20.45. Sorak-sorai sontak terdengar, tetapi tak sampai jejeritan melengking. Banyak dari mereka hafal luar kepala lagu-lagu yang dibawakan Molly Rankin dan kawan-kawan itu. Paduan suara terlantang, tentu saja, terdengar ketika mereka mengusung lagu terkenal ”Adult Diversion”.
Warna musik Alvvays selintas tak berbeda jauh dengan yang disuguhkan The Adams sebelumnya. Corak musik indie rock yang tumbuh mekar di dekade 90-an amat kuat terasa. Banyak orang yang mengidentikkan musik mereka dengan band penting aliran ini, Teenage Fan Club.
”Oke, kami akan membawakan lagu dari The Breeders. Ada yang tahu The Breeders?” tanya Molly. Beberapa orang di barisan depan menyahut tahu. ”Kalian tahu dari mana? Oh, Youtube,” kata Molly sebelum lagu berjudul ”Divine Hammer” dari tahun 1993 itu mengalun.
Suguhan musik beraroma rock harus usai di hari pertama. Namun, malam masih panjang. Panggung-panggung lainnya masih hidup dengan musik bernuansa elektronik. Di panggung utama ada Bazzi dan ditutup oleh San Holo yang menyuguhkan disko sampai pukul 02.00.
Pada hari kedua, festival itu diisi Eva Celia, Sabrina Claudio, Anne-Marie, Daniel Caesar, Travis, Dream Coterie, Barasuara, Ran, Jess Connelly, Baynk, Nina Las Vegas, Anna Lunde, Grrrl Gang, Nadin Amizah, Matter Halo, Endah N Rhesa, Pamungkas, Petra Sihombing dan Enrico Octaviano, Fun On A Weekend dan Soul Menace Crew, Ify Alyssa, Hindia, dan Ardhito Pramono.
We The Fest menjadi muara penikmat musik antargenerasi. Tak peduli betapa pun lawas lagu-lagu yang disuguhkan, pengunjung belia tetap fasih melantunkannya. Akan tetapi, giliran lagu-lagu segar, pengunjung ”senior” belum tentu tahu.