Idiom sampah seseorang adalah harta karun bagi orang lain terwujud di tangan para ibu dari kalangan tak mampu di Denpasar, Bali. Berbekal kemauan besar, tangan-tangan kreatif mereka berhasil menyulap limbah kain tak terpakai menjadi aneka produk kerajinan bernilai. Hasilnya menjadi berkah penopang ekonomi keluarga.
Sejumlah ibu binaan Yayasan Bukit Harapan di kawasan Monang Maning, Denpasar, Bali, Jumat (22/3/2019), tampak sibuk dengan beragam aktivitas. Sebagian asyik di depan mesin jahit, menjahit kain-kain linen bekas seprai hotel sesuai pola yang sudah dibuat di atasnya. Sebagian lainnya sibuk menggambar berbagai motif bunga di atas lembaran-lembaran kain berukuran kecil, juga di atas lembaran mika bening.
Semua terlihat bersemangat di antara hiruk-pikuk suara anak-anak yang juga tengah belajar bersama di rumah yang jadi ”markas” yayasan itu. Yayasan Bukit Harapan, nama lain dari Bali Life Foundation di Indonesia, selain menampung para ibu dari kalangan tak mampu termasuk para ibu yang bekerja sebagai pengemis, juga menampung anak-anak jalanan.
Di sana, para ibu belajar berkegiatan kreatif, mengolah limbah menjadi produk kerajinan bermanfaat. Siang itu, mereka mendapat arahan para pengajar dari Lembaga Pengajaran Tata Busana (LPTB) Susan Budihardjo. Di antara para pengajar, turut hadir desainer Susan Budihardjo.
Selama satu tahun penuh, LPTB Susan Budihardjo akan mendampingi para ibu di Yayasan Bukit Harapan mengolah limbah-limbah linen bekas seprai hotel dari jaringan Accor Bali dan Lombok, menjadi berbagai macam produk. Sebagai permulaan, dibuat apron atau celemek dan tote bag. ”Pilihan ini disesuaikan dengan kemampuan ibu-ibu di sini,” kata Susan.
Sebelumnya, para ibu di Yayasan Bukit Harapan sudah membuat apron dan tote bag dari bahan yang sama. Namun, hasil akhirnya masih terbilang sederhana. Dengan pendampingan dari LPTB Susan Budihardjo, diharapkan produk-produk yang dihasilkan memiliki lebih banyak nilai tambah, misalnya dari sisi pengolahan material, kerapian, juga tampilan yang artistik.
Lebih artistik
Tim Susan antara lain mengajarkan agar sebelum diolah jadi apron dan tote bag, linen-linen bekas itu dicelup lebih dahulu dengan warna hitam dan biru tua agar tampilannya berbeda. Selain itu, ada alternatif tampilan yang lebih artistik melalui teknik lukis pada kain, juga penggunaan mika.
Sebelumnya, para ibu mengolah linen bekas seprai dengan warna putih apa adanya. Hiasan pada apron pun hanya tempelan perca kain sisa.
Selain limbah linen bekas seprai hotel, para ibu juga memanfaatkan kain sisa kebaya (brokat dan kain tenun Bali) untuk diolah jadi boneka. Bentuknya beraneka rupa, seperti boneka putri duyung, boneka berbentuk perempuan Bali, Batak, Belanda, hingga Norwegia. Sebagian juga boneka berbentuk hewan.
Boneka-boneka yang berbentuk manusia, terbuat dari dakron yang kemudian dilapisi limbah kain brokat untuk kebaya dan kain tenun Bali. Seluruh prosesnya dilakukan menggunakan tangan.
”Terutama setelah body-nya jadi. Rambutnya dijahit satu per satu menggunakan benang wol,” kata Koordinator Street Cantre & Women Workshop Yayasan Bukit Harapan Netty Sitanggang.
Boneka-boneka itu bisa dibeli dengan cara grosir ataupun ritel. Untuk pembelian grosir, minimum enam buah, harganya Rp 60.000. Sementara untuk penjualan ritel, harganya Rp 150.000 per buah.
Selain berperan sebagai koordinator, Netty juga mengajarkan berbagai keterampilan pada ibu-ibu. Sumbernya dia peroleh dari kanal Youtube.
”Pada dasarnya, saya mengajari keterampilan-keterampilan itu berdasar bahan yang kami punya. Seperti linen itu, kan, dari hotel. Kain sisa kebaya dan kain tenunnya kami minta dari penjahit, perca-perca saja. Daripada dibuang. Lainnya dari bahan-bahan yang bisa didaur ulang, seperti kertas dari koran bekas dan majalah bekas,” ujarnya.
Koran dan majalah bekas diolah jadi gelang dan kalung sederhana. Rangkaian gelang dan kalung dari koran dan majalah bekas yang sudah digulung dengan bentuk tertentu dicelup ke dalam cairan pelitur bening. ”Kena air atau hujan misalnya, tetap tahan lama bentuknya,” kata Netty.
Para ibu ini juga membuat gelang dan kalung dari benang, batu-batuan, gantungan kunci, kantong wadah ponsel, apron, serta tas dari beragam bahan. Ada juga dream catcher dari anyaman benang dan bulu ayam warna-warni. ”Pokoknya bagaimana dari bahan yang ada, bisa jadi sesuatu,” kata Netty.
Hasil penjualan tersebut, menurut Netty, dikembalikan kepada para ibu untuk membantu keuangan keluarga. ”Kalau lagi ada orderan lumayan. Tapi kalau lagi enggak ada, bikin contoh boneka aja ya jadi berkurang. Untuk satu boneka, mereka dapat Rp 40.000, bersih,” tambah Netty.
Menurut Netty, selain para ibu yang bekerja sebagai pengemis, banyak pula para ibu di yayasan ini yang suaminya tidak bekerja sehingga mereka yang harus bekerja. ”Semuanya berjumlah 12 orang. Yang lima dari jalanan,” katanya.
Sugiyanti (36), sudah empat tahun ini bergabung di Yayasan Bukit Harapan. Apabila orderan sedang banyak, dalam seminggu, Yanti bisa membawa uang hingga Rp 600.000. Jika sedang sepi, ia membawa pulang Rp 300.000-Rp 400.000 seminggu.
”Lumayan. Selain menambah keterampilan baru, juga menambah pendapatan,” kata Yanti yang pintar menjahit ini.