Kecantikan—sekaligus kesederhanaan—kain tenun asal Sulawesi Tenggara bakal dibawa ke Moskwa, Rusia, lewat sentuhan desainer Ferry Sunarto. Dalam penampilan modern, jejak tradisi tetap lekat pada kain tenun Masalili, buah ketekunan tangan para ibu dari pelosok Desa Masalili, Kabupaten Muna, itu.
Sebanyak 30 koleksi pret-a-porter atau siap pakai dan adibusana musim semi/panas 2020 bertajuk De’Posuo karya Ferry akan disuguhkan pada pergelaran tunggal di Festival Indonesia Moscow 2019 di Krasnaya Presnya Park, Moskwa, 4 Agustus mendatang. Separuh dari koleksi itu bisa diintip pada pergelaran busana dalam ajang Karya Kreatif Indonesia yang digelar Bank Indonesia di Jakarta Convention Centre, 12-14 Juli lalu.
Di Jakarta, ditampilkan 15 koleksi siap pakai dari De’Posuo yang kental nuansa kebaya. Sebanyak 15 koleksi lainnya berupa couture atau adibusana akan perdana tampil di Moskwa. Seluruh tenun yang diolah ini adalah karya UMKM Kelompok Tenun Muna yang merupakan perajin binaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Tenggara. Hampir setiap rumah di Desa Masalili memang memproduksi kain tenun.
Koleksi busana siap pakai untuk musim semi/panas 2020 ini memiliki garis rancangan yang terinspirasi kebaya. Kebaya memang menjadi garis dasar desain yang ingin selalu ditonjolkan Ferry.
Kebaya juga kebanggaan yang disebutnya sebagai busana nasional pemersatu bangsa. Kebanggaan sebagai Indonesia dalam wujud kebaya itulah yang lalu dipresentasikan di kancah dunia.
Kain tenun diolah menjadi gaun terusan mini, blus kebaya, rok pendek, rok panjang, hingga celana panjang. Tak melulu hanya menggunakan materi tenun Masalili, Ferry memberi kesegaran lewat padu padan dengan beragam jenis material kain, termasuk brokat renda atau lace. Kehadiran lace ini memperkuat kesan feminin sekaligus memberi nuansa modern.
Agar bisa diterima pasar Eropa, potongan busana tidak terlalu banyak dihiasi detail, namun tetap berkelas. ”Kain Indonesia bisa mereka suka. Mereka suka sesuatu yang filosofis dan sejarah. Suka etnik, tapi yang tidak terlalu berlebihan. Supaya Indonesia bisa diterima di pasar Eropa,” ujar Ferry yang sudah empat kali membawa keindahan wastra khas Indonesia di Moskwa.
Warna belia
Pada peragaan busana, kekentalan tradisi antara lain juga dihadirkan dengan tata rambut yang menampilkan sanggul menjulang ke atas. Sekilas, penataan sanggul ini mirip dengan sanggul khas Bugis yang dikenal dengan istilah simpolong tattong. Berdandan cantik dengan sanggul menjulang dan kebaya modern, sentuhan ala gadis muda muncul lewat aksesori seperti kaus kaki dan sepatu hak tinggi berwarna senada dengan kebayanya.
Karya desain ini membuktikan bahwa wastra Nusantara bisa dikombinasikan dengan gaya, warna, dan siluet yang sangat modern khas anak muda. ”Benturan” ini sengaja dihadirkan sehingga muncul nuansa eklektik berupa percampuran budaya. Seluruh koleksi De’Posuo dipercantik aksesori etnik rancangan Rinaldy A Yunardi.
Untuk tampilan warna, pilihan Ferry jatuh pada warna-warna anak muda yang terang. Warna-warna riang seperti butter yellow, ice blue, mint green, dusty pink,dan lavender hadir sebagai simbol kepolosan dan keceriaan para gadis Sulawesi Tenggara.
Nuansa pastel memunculkan kesan warna yang belum matang, di mata Ferry seperti gambaran remaja yang baru beranjak dewasa. Koleksi Ferry memang terinspirasi dari kecantikan gadis belia Sulawesi Tenggara, terutama ketika menjalani tradisi pingitan.
Ketika remaja perempuan mulai beranjak dewasa, ia harus menjalani tradisi pingitan selama delapan hari delapan malam demi menjaga kesucian diri. Pada malam kedelapan, pesta besar digelar dengan tari-tarian yang diiringi tabuhan gendang. Pesta ini juga dihadiri pemuka adat.
Tradisi inilah yang dikenal dengan nama posuo. Canda dan tawa pada proses posuo itu menjadi sumber inspirasi lahirnya koleksi De Posuo. Ferry menambahkan ”de” di depan posuo sebagai pengingat akan Paris sebagai kota mode dunia.
”Tradisi harus dikembangkan ke kekinian. Meski ciri khasnya tetap tradisional, bisa jadi inspirasi dunia seperti Perancis,” kata Ferry.
Pasar Eropa
Keterlibatan Ferry di Festival Indonesia Moscow (FIM) 2019 merupakan yang keempat kalinya. Sebelumnya, ia juga mempertontonkan keindahan wastra Nusantara lewat pergelaran bertema wastra tenun Gringsing Bali pada 2016, lalu kain batik pesisir pada 2017, dan batik Solo pada 2018 di Moskwa.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Moskwa ini, Ferry juga berperan sebagai koordinator bidang fashion yang bertugas mengkurasi dan membina para pelaku mode Indonesia yang terlibat pada acara tersebut. Para pelaku mode ini antara lain terdiri dari pelaku usaha kecil menengah maupun desainer muda yang karya-karyanya turut ditampilkan dalam gelaran peragaan busana di Moskwa.
Telah berkiprah di dunia mode selama lebih dari 20 tahun, Ferry memiliki desain yang selalu identik dengan kebaya. Ia mampu mengembangkan unsur modern kebaya, tanpa meninggalkan pakem dari kebaya itu sendiri. Desainer asal Bandung ini juga sempat menampilkan kebaya modifikasi rancangannya di Landpartie Schloss Bückeburg, pesta tahunan kebudayaan para bangsawan Eropa di Jerman.
Kali ini, sentuhan Ferry lahir dalam wujud koleksi pret-a-porter yang lebih ringan dan ceria khas anak muda lalu ditutup dengan koleksi couture yang chic dan sophisticated. Seluruh koleksi tersebut mengusung tiga konsep, yaitu tribal, romantik, dan chic.
Koleksi yang diharapkan mampu mendunia, namun tetap membawa keanggunan akar tradisi.