Melengkapi Cerpen
Ada citra visual ibu-ibu mengacungkan terong, mentimun, pisang, atau jagung, di film ”Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” besutan sutradara John de Rantau, yang tidak pernah muncul pada kisah cerpen yang menjadi sumber inspirasi skenario film tersebut. Penulis cerpennya, Seno Gumira Ajidarma, mengatakan, transformasi kisah ke dalam film ini terasa kuat melengkapi cerpennya.
Itu simbolisasi phallus (lambang alat kelamin laki-laki). Sutradaranya pintar mengambil situasi simbolik yang tidak ada di naskah sumbernya,” ujar Mudji Sutrisno, rohaniwan sekaligus budayawan yang turut menyaksikan pemutaran perdana film Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi,Jumat (12/7/2019) di Epicentrum XXI, Jakarta.
Simbolisasi yang digenggam para ibu di berbagai adegan itu seolah menyiratkan kerinduan mereka terhadap hubungan suami-istri yang harmonis. Para ibu merasa ditinggalkan suami mereka, yang dibahasakan Seno Gumira dalam cerpennya, sebagai suami-suami yang dingin terhadap istri di ranjang.
Dinginnya para suami terhadap istri disebabkan para suami mulai terbiasa berimajinasi bergumul dengan perempuan lain yang indekos di salah satu rumah di ujung gang kampung mereka. Di sinilah muncul peran sentral dari tokoh film perempuan bernama Sophie (diperankan Elvira Devinamira).
Konflik dibangun antara Sophie dan para ibu. Di situlah muncul lagi peran penengah, yaitu Pak RT (diperankan Mathias Muchus). ”Ini film karikatural. Ini bukan film realis atau naturalis,” ujar Mathias Muchus pada suatu kesempatan wawancara setelah pemutaran perdana film itu yang mulai tayang di bioskop 18 Juli 2019 itu.
Menanggapi pertanyaan awak media terkait perbandingan alur tekstual yang ada di film dan cerpennya, Seno Gumira dalam konferensi pers berkomentar, ”Film dan cerpen itu dua media yang berbeda. Film ini melengkapi cerpen yang saya tulis.”
Di balik kisah
Alur cerita yang ada di film ini dapat dikatakan setia dengan naskah yang bersumber pada cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, yang selesai ditulis Seno Gumira pada 29 Desember 1990. Kisah di balik penulisan cerpen ini sebenarnya tidak kalah menarik.
Seno menuliskan kisah itu untuk menunjang promo film ini. Di era 1980-an ia menemukan ide tulisan yang ingin diberi judul Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Tetapi, isi ceritanya belum terbayang seperti apa.
Di tahun 1990 terjadi peristiwa pemerintah Orde Baru menghentikan pementasan Teater Koma di Jakarta dengan lakon Suksesi. Pementasan sedianya selama 14 hari, tetapi setelah pementasan hari ke-11, Suksesi dilarang untuk dipentaskan.
Suksesi memiliki makna proses pergantian atau regenerasi kepemimpinan. Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto rupanya sensitif terhadap isu ini.
”Dari surat kabar, saya melihat foto N Riantiarno (pimpinan Teater Koma) berurai air mata menyampaikan pelarangan dramanya itu kepada pers,” kenang Seno. Ketika itu juga sudah ada preseden pelarangan penyair WS Rendra untuk main teater ataupun baca puisi.
Bagi Seno, pemerintah Orde Baru mempertontonkan oposisi biner yang tidak seimbang antara pekerjaan seni lewat drama atau sastra puisi dan negara. ”Berkesenian saja, kok, dimusuhi seperti itu,” ujar Seno.
Seketika itu terlintas pula di benaknya, ”Nyanyi di kamar mandi saja, kok dilarang!”
Selanjutnya, Seno merangkai kisah dengan tema penindasan itu ke dalam sebuah cerpen. Ia mengakui, ”Kisah itu hanyalah naluri untuk mengejek saja.”
Setelah selesai ditulis, pertama kali Seno mengirimkan naskahnya untuk suatu perlombaan penulisan cerpen. Naskah itu tidak dimenangkan, tetapi masuk buku publikasi lomba cerpen tersebut.
Seno menyebut, ada keajaiban di situ. Judul Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi dipangkas menjadi Kamar Mandi. Penggunaan istilah ”dilarang menyanyi” mungkin dianggap sensitif bagi perkembangan politik yang berlangsung saat itu.
Pemangkasan judul dilakukan tanpa konsultasi pihak penerbit buku dengan Seno. Ia menyebutkan, ini bagian dari penindasan pula pada waktu itu.
Seno menganggap naskah cerpennya cukup komersial sehingga layak untuk diterbitkan sebagai bagian dari buku komersial kumpulan cerpennya. Pada tahun 1995 hal itu terwujud.
Anehnya, cetakan buku itu di pasaran habis sangat cepat. Dua tahun berselang, Seno mengetahui, buku itu mengendap di percetakan karena penerbit belum melunasi biaya pencetakannya. ”Tentu saya lebih rela buku ini tidak laku di pasar ketimbang mati kutu di dalam gudang,” kata Seno.
Seno pun menawarkan diri untuk membeli buku-buku yang menumpuk di gudang percetakan itu, sejauh bukunya tak dimakan rayap.
Pada 1997 Seno mendapat kabar dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Karya Seno melalui buku tersebut mendapat penghargaan South East Asia (SEA) Write Award.
Pada tahun 2000, Seno mendapatkan tawaran dari seorang produser film televisi untuk menulis skenario berdasarkan kisah cerpen tadi. Tulisan skenario selesai dibikin tahun 2001, tetapi hingga 2005 tidak kunjung difilmkan oleh produsernya.
Kesetiaan naskah
Setelah mengalami pengalihan wahana dari cerpen menjadi skenario film, skenario itu kemudian diubah lagi oleh Seno menjadi prosa (2005 dan 2017). Seno mengakui, kesetiaan terhadap naskah awal bukanlah faktor yang terjamin.
”Dalam beberapa hal, kesetiaan justru menjadi masalah. Skenario memberi petunjuk visual, bukan berekspresi dengan bahasa,” ujar Seno.
Pada tahun 2018, John-De Rantau mengolah kembali prosa yang dibikin Seno pada 2017 itu untuk keperluan visualisasi ke layar lebar. Inilah yang sekarang mewujud menjadi film Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi.
Seno memberi konteks sosial politik dari prosa yang kemudian dialihwahanakan ke layar lebar tersebut. Ia memberi catatan bahwa demokrasi mengandalkan keberdayaannya pada suara terbanyak yang sah. ”Bagaimana kalau suara terbanyak itu salah?” ujar Seno.
Ini persoalan yang setua dengan gagasan demokrasi tersebut. Sepanjang dua milenium persoalan ini belum terpecahkan secara memuaskan.
Film Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi relevan dengan masalah itu. Di film itu, mayoritas tersahihkan dalam menindas minoritas. Itu karena suaranya yang lebih banyak.
Hal ini berbeda ketika pertama kali naskah cerpen itu dituliskan di tahun 1990. Ketika itu bukan mayoritas yang menindas minoritas, melainkan kelas dominan yang diwakili pemerintah Orde Baru menindas Teater Koma, yang bisa diandaikan mewakili suara banyak orang.
”Justru yang sedikit menindas banyak orang,” ungkap Seno.
Sampai di sini catatan ini mungkin cukup untuk bekal menikmati film ini. Meski berpijak awal dari bobot politik yang berat, film Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi digarap menjadi film komedi satire yang menghadirkan canda tawa.