Meraup Hidup Detak Jam
Tak beda dengan pencinta benda seni lain seperti lukisan, pencinta jam otomatis berpenggerak pegas meyakini, di situ ada nilai seni karena jam tanpa listrik dari baterai itu juga ”hidup”. Mereka meraup nilai seni yang hidup dari detak jam yang seperti degup jantung.
”Bicara soal jam tangan otomatis ini sekarang sudah bukan lagi bicara soal waktu. Kita bisa melihat waktu kapan saja, misalnya dari telepon genggam yang kita pakai setiap waktu,” ujar Hannes A Pantli yang duduk di jajaran direksi perusahaan jam otomatis IWC Pilot dari Swiss, Selasa (2/7/2019), di Kuala Lumpur, Malaysia.
Kompas beserta beberapa awak media lain diundang ke Kuala Lumpur untuk menghadiri pameran koleksi jam IWC Pilot dan peluncuran produk IWC Pilot terbaru 2019 yang diberi nama Bronze Pilot Perpetual Calendar Spitfire. Perusahaan itu hanya memproduksi 250 buah jam terbaru tersebut untuk didistribusikan ke negara-negara di dunia.
Produk IWC Pilot termasuk deretan merek jam tangan mewah nan mahal. Harga jam tangan terbaru ini dibanderol 120.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 400 juta.
Hannes berusaha meyakinkan, jam tangan itu bukan lagi bermanfaat fungsional sebagai penunjuk waktu. Dia optimistis jam itu dapat diterima publik sebagai benda seni.
”Jam otomatis ini mengandalkan putaran mainspring (per atau pegas) dalam hitungan beberapa kali yang membuat jam mampu hidup sampai tujuh hari. Ketika kita putar lagi, jam akan terus hidup,” ujar Hannes. Suara tik-tak, tik-tak jam itu, kata Hannes, seperti degup jantung. Itulah sebabnya, jam itu dikatakan ”hidup”.
Seperti alasan para pencinta lukisan, tidak sedikit di antara mereka menyatakan, lukisan yang dipilihnya itu ”hidup”. Ketika ditanyakan apanya yang hidup dari benda seni tersebut, ini susah dijawab dengan logika.
”Begitu pula dengan jam otomatis ini memiliki nilai seni yang hidup. Ini juga bukan lagi masalah logika,” kata Hannes.
Jam otomatis berbeda dengan jam kinetik atau jam quartz yang mengandalkan energi gerak dari daya listrik yang tersimpan di baterai. Jam otomatis menggunakan energi potensial yang tersimpan pada putaran pegas. Meski putaran pegasnya sebentar, energi gerak yang didistribusikan mampu menghidupkan jam otomatis itu sampai tujuh hari.
Kenny Loh, Manajer Relasi Publik IWC Pilot Asia Tenggara, menerangkan, putaran pegas yang mampu menghidupkan jam selama tujuh hari itu bisa diibaratkan mainan mobil-mobilan berpenggerak pegas.
Kita hanya menggerakkan mobil itu mundur sedikit, tetapi mobil kemudian bisa melaju jauh ke depan. Gerak laju dari energi pegas pada jam otomatis diatur sedemikian rupa.
”Mobil mainan dengan penggerak pegas ini prinsip kerjanya mirip dengan jam otomatis,” kata Kenny.
Gagasan
IWC Pilot adalah salah satu merek jam otomatis mewah dari Swiss yang bertahan sejak 1936. Selain memiliki kekhasan teknologi yang unik, IWC Pilot juga memelihara rekaman sejarah panjang.
Pada 1936, pertama kali jam tangan IWC Pilot diproduksi di Schaffhausen, Swiss, jam ini digunakan dua pilot bersaudara, yaitu Hans dan Rudolf Homberger. Jam itu punya keistimewaan antimagnetik sehingga tidak terganggu atau mengganggu peralatan navigasi pesawat.
Jam itu juga dirancang mampu merekam waktu dengan periode tertentu. Ini penting untuk perhitungan jam terbang pesawat. Penghitungan jam terbang ini sangat menunjang perawatan pesawat terbang. Sebab, onderdil pesawat terbang memiliki penghitungan masa pakai sesuai satuan jam terbang tertentu.
Jam itu juga dirancang tahan terhadap fluktuasi temperatur selama penerbangan. Jam tetap menyala di antara suhu minus 40 sampai plus 40 derajat celsius.
Koleksi jam yang diberi label Special Watch for Pilot yang sekarang berusia 83 tahun ini masih terus dirawat. Publik dapat menyaksikan jam tersebut selama dipamerkan di Mal Pavilion, Kuala Lumpur, pada 1-9 Juli 2019.
Pada bagian atas ruang pajang koleksi jam diletakkan replika pesawat udara The Silver Spitfire dari Inggris. Replika itu sesuai ukuran asli dengan berat sekitar 2 ton.
Pada 1940, IWC Pilot pernah melayani pemesanan 1.000 jam untuk Angkatan Udara Jerman. Jam pesanan Jerman ini merupakan jam terbesar sepanjang sejarah IWC Pilot. Jam tangan itu berdiameter 55 milimeter dengan bobot 183 gram. Koleksi jam ini juga turut dipamerkan di Kuala Lumpur.
Hingga kini, IWC Pilot terus mengembangkan produknya, baik untuk dipakai militer maupun warga sipil.
Masa depan
Hannes sendiri mengoleksi ratusan jam otomatis, terutama bermerek IWC Pilot. ”Saya lebih memilih jam, bukan emas,” kata Hannes.
Mengenakan jam otomatis sudah merambah urusan emosional. Meski begitu, sebagai investasi, nilai jam itu dari waktu ke waktu bukannya merosot, justru merangkak naik, seperti benda seni yang makin berusia makin tinggi nilainya.
Stanislas Rambaud, IWC South East Managing Director, mempertegas, sesuatu yang emosional inilah yang terus diembuskan kepada calon pelanggannya.
Begitulah sebuah jam tangan bertransformasi menjadi benda seni yang bernilai. Keberadaan jam tangan secara fungsional bisa tergantikan oleh teknologi digital pada ponsel. Namun, pada jam tangan otomatis berpenggerak pegas ini ada keandalan teknis serta narasi yang terus hidup dan dirawat sepanjang hayat.