Oase di Ruang Publik
Karya seni menyeruak ke ruang publik, menjadi oase di tengah impitan segala masalah urban. Ini penanda munculnya kesadaran bahwa ruang publik adalah galeri yang efektif untuk menghadirkan efek sejuk dari karya seni.
Sudah lama Nina Rasih Astianti (32), ibu dua anak warga Kota Bandung, hobi kuliner. Kini, Pasar Cihapit menjadi salah satu pilihan favorit untuk menyalurkan hobi itu. Biasanya dia ke sana bersama kedua anak dan ibunya, Retnowati (64).
Kegemaran Nina ke Pasar Cihapit terutama didorong penataan ulang pasar Cihapit dan sejumlah pasar tradisional lain di Kota Kembang sejak tahun lalu.
Seniman John Martono didapuk Pemerintah Kota Bandung, ketika itu, untuk menorehkan karya seni mural di beberapa pasar, juga di sejumlah ruang publik lain. Sebut saja Terminal Leuwipanjang, Jembatan Pelangi di kawasan Antapaniserta, serta galeri yang dipakai menjadi tempat penampungan pedagang sementara (TPPS) di halaman depan Pasar Kosambi.
Lukisan mural di lingkungan Pasar Cihapit dibuat pada lorong dari pintu utama pasar, kemudian ke bagian samping, hingga lorong di bagian belakang pasar. Melihat mural warna-warni itu, kedua anak Nina selalu gembira dan antusias membahasnya setiap kali mereka ke sana.
Nina mengenang, dulu lorong pasar itu begitu kumuh dan pengap. Sekarang, jauh lebih enak dilihat dengan dinding yang semarak dihiasi mural. ”Setiap ke sini anak-anakku selalu senang dan bertanya warna-warna yang ada,” ujar Nina.
Kepala Terminal Leuwipanjang Posma Simanjorang juga melihat antusiasme serupa dari para pengguna jasa terminalnya. Kehadiran lukisan mural yang warna-warni di terminal bus antarkota itu membuat banyak calon penumpang tak lagi menunggu di luar terminal, seperti sebelumnya kerap terjadi.
Penyejuk kota
Kehadiran karya seni di ruang publik yang kerap hiruk pikuk diyakini bisa menjadi oase penyejuk bagi kehidupan masyarakat urban. Terutama di tengah berbagai aktivitas serta kesibukan sehari-hari.
Kondisi jalanan yang macet, tingginya tingkat polusi—baik udara maupun suara—dipastikan menjadi sumber pemicu utama stres kaum urban. Pada akhirnya, hal itu menempatkan kondisi kesehatan fisik ataupun jiwa pada posisi sangat rentan.
Pada aspek fisik, kondisi lingkungan bisa memicu berbagai penyakit degeneratif seperti jantung dan darah tinggi. Tingkat stres yang tinggi pada lingkungan urban juga berdampak meningkatkan agresivitas serta beberapa gangguan jiwa lain seperti psikosomatis.
Pada kondisi itu, upaya intervensi dibutuhkan. Salah satu pilihan yang dapat diambil adalah menyediakan semacam ”penawar” dalam bentuk hiburan, terutama secara visual, lewat beragam karya seni di ruang publik.
Penempatan karya seni di ruang publik itu diyakini bisa memberikan kesegaran di tengah kepenatan lingkungan urban.
Kesegaran itu pula yang dirasakan Trinita Novita (29), salah seorang karyawati di Jakarta. Dia terhibur setiap tiba ke kantornya yang juga sebuah mal di area Jakarta Selatan.
Mal ini memajang patung- patung besar warna-warni di bagian depan gedung, diadaptasi dari karya pelukis Hendra Gunawan (1918-1983).
”Pemandangan rutin menuju kantor, kan, itu-itu saja. Hiruk pikuk, macet, dan bangunan-bangunan tinggi kota. Begitu sampai kantor dan melihat patung-patung warna-warni di depan gedung, pikiran saya segar kembali,” ujar karyawan Ciputra Artpreneur itu.
Selain di Bandung dan Jakarta, pemerintah daerah di Kota Solo juga bekerja sama dengan seniman mural dan masyarakat untuk mempercantik kota. Awalnya, hal itu dilakukan sekadar untuk mengatasi aksi vandalisme yang marak dan semakin sulit ditangani.
Sejumlah area publik di Solo kini dihiasi mural. Beberapa lokasi, seperti dinding-dinding toko, fly-over, hingga tanggul Sungai Bengawan Solo, berubah menjadi ”kanvas” mural setelah digagasnya gerakan ”Solo is Solo” pada 2017 oleh seniman tari senior, Sardono W Kusumo.
Gerakan ini melibatkan 120 perupa muda untuk melukis pintu-pintu lipat dan dinding tembok toko-toko di sepanjang jalan Gatot Subroto. Temanya tokoh pewayangan, atlet berprestasi, atau tokoh nasional.
Seniman sekaligus Direktur Program ”Solo is Solo” Irul Hidayat menegaskan, mural menghadirkan inspirasi bagi masyarakat, terutama ketika karya mural itu punya pesan untuk disampaikan.
Jadi galeri
Keterlibatan kalangan swasta, terutama perusahaan jasa dan ritel, tak kalah menarik diperhatikan. Sejumlah hotel dan mal juga menyediakan lahan atau bagian dari bangunan mereka untuk galeri yang dapat dinikmati masyarakat umum secara gratis.
Salah satunya, jaringan hotel Artotel. Asisten Direktur Komunikasi Pemasaran Artotel Group Yulia Maria, Selasa (16/7/2019), mengatakan, sejak didirikan kakak-beradik, Christine dan Erastus Radjimin, hotel pertama Artotel di Surabaya sudah ”didedikasikan” untuk juga memasukkan unsur karya seni menjadi bagiannya. Artotel merupakan gabungan kata art atau seni dan hotel.
Beragam karya seni kontemporer, termasuk mural, diterapkan di gedung, baik bagian fasad (luar) maupun ruangan dan per lantai hotel di jaringan Artotel. Dengan begitu, karya-karya seni itu tak lagi diperlakukan sebagai sekadar hiasan atau dekorasi.
Untuk mewujudkan itu mereka bekerja sama dengan seniman lokal, seperti pelukis Eddie Hara dan pelukis mural Darbotz.
Karya Darbotz misalnya, dapat dinikmati di fasad luar Artotel di kawasan MH Thamrin, Jakarta. Artotel juga menyediakan artspace di semua cabang mereka untuk dipakai berkegiatan kesenian secara gratis.
Hal serupa dilakukan manajemen Hotel Four Seasons Jakarta dan kelompok Hotel Sintesa Peninsula. Pemilik Sintesa Peninsula Hotel Group, Paquita Widjaya, dan Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Hotel Four Seasons Rumman Amanda mengatakan, hal itu sebagai salah satu strategi bisnis guna menaikkan okupansi.
Seperti Artotel, Hotel Sintesa Peninsula Manado juga menjadikan fasad bangunan hotel mereka sebagai ”kanvas” karya seni mural, bekerja sama dengan para seniman lokal.
Adapun Hotel Four Seasons lebih memanfaatkan sejumlah spot interior dan ruangan untuk menempatkan sejumlah karya seni.
Beberapa mal, seperti Bintaro Jaya Xchange di Tangerang Selatan dan Gandaria City di Jakarta Selatan, juga mengalokasikan sejumlah spot di area perbelanjaan untuk karya seni.
Di kolam di lantai dasar Bintaro Jaya Xchange, misalnya, ditempatkan seni instalasi ”Floating Eyes” karya Wedhar Riyadi. Pihak mal membeli karya yang pernah dipamerkan di Art Jog 2017 itu.
Sementara itu, Asisten Manajer Promosi Mal Gandaria City Jeffrey Santoso, Kamis (18/7), menyebutkan, sejak awal Gandaria City dioperasikan pada 2010 pihaknya telah memamerkan sejumlah karya seni di beberapa lantai mal. Karya terbaru yang dipamerkan dibuat perupa Yogyakarta, Eddi Prabandono, ”After Party #3: Living The High Life”.
Karya seni menyerupai skuter Vespa berbentuk meliuk-liuk warna biru itu
pernah dipamerkan empat tahun lalu di La Biennale Venezia ke-56.
Kini karya itu bersanding bersama sejumlah karya seniman tenar lain yang menjadi koleksi mal itu, seperti ”Great Gigantic Pumpkin” karya perupa Yayoi Kusama, ”Dancers” karya Fernando Botero, ”Taichi Series” karya Ju Ming, dan ”Horse Riding Tae Kwon V” karya seniman Korea Selatan, Kim Seok.
”Selama ini, karya seni, kan, dianggap sulit diakses kecuali oleh orang yang kaya banget atau punya pemahaman seni yang tinggi banget. Kami coba ingin membantu menjadikan semua orang bisa menikmati seni. Pengunjung juga senang berswafoto di depan karya-karya seni yang kami pajang,” ujar Jeffrey.
(Wisnu Dewabrata/Nawa Tunggal/Erwin EdhiPrasetyo/Samuel Oktora)