Sentuhan Seni untuk Kota
Jembatan pejalan kaki O’Brien di Hong Kong selalu ramai dan padat tiap jam berangkat dan pulang kerja. Di tengah kepadatan itu, jembatan itu menerbitkan nuansa segar. Bagian dinding dan langit-langit jembatan dilukisi mural beragam bunga dalam warna pastel.
Bersamaan dengan perhelatan pameran seni kontemporer Art Basel 2019 di Hong Kong, Maret lalu, sejumlah kawasan utama di pusat kota Hong Kong, seperti Distrik Wan Chai di mana jembatan O\'Brien berada, memang berhias artistik. Seolah kawasan itu sengaja disulap menjadi galeri seni kontemporer yang bebas dinikmati publik.
Area Wan Chai terkenal sebagai kawasan seni, yang menjadi pusat aktivitas sekitar 2.700 organisasi kreatif. Itu setara dengan 10 persen dari total kelompok kesenian yang ada di negeri bekas jajahan Inggris yang kini berada di bawah kendali administratif China tersebut.
Menurut Hong Kong Design Centre (HKDC), organisasi penggagas gerakan Design District Hong Kong (DDHK), desain bunga dan tumbuhan ditetapkan agar masyarakat urban dan juga wisatawan di Hong Kong tetap bisa merasa dekat dengan alam walau sebatas karya-karya lukisan mural tentang itu.
Upaya Pemerintah Hong Kong memang tak main-main. Tahun lalu, Komisi Pariwisata Hong Kong meluncurkan Proyek Pariwisata Kreatif, yang akan berjalan selama tiga tahun. Tujuannya mendorong pemanfaatan ruang publik secara kreatif, termasuk membangun kesalingterhubungan antarmasyarakat di sana.
Lebih apresiatif
Untuk upaya itu, tahun lalu, Pemerintah Hong Kong menganggarkan dana mencapai 1 miliar dollar Hong Kong atau setara Rp 1,78 triliun. Tujuannya, mendorong agar warga Hong Kong bisa terinspirasi dan lebih apresiatif terhadap karya-karya komunitas kreatif yang ada.
Menurut peneliti Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga, Rabu (17/7/2019), keberadaan karya seni di ruang publik di satu kota, terutama kota besar seperti Jakarta, sejatinya sangat penting.
Masyarakat urban hampir setiap hari harus menghadapi beragam sumber stres seperti polusi dan kemacetan. Kehadiran karya seni di ruang publik akan sangat berguna sebagai cara dan sarana melepas ketegangan. Sentuhan seni juga memberi hiburan, yang diharapkan berujung menambah kebahagiaan.
”Seni seharusnya bisa meningkatkan kebahagiaan masyarakat kota. Dengan bahagia, mereka bisa menjadi kreatif dan produktif. Kalau kondisinya masih seperti sekarang, bagaimana mau produktif kalau masyarakat banyak yang stres di jalan. Belum lagi di bawah sadar orang yang stres itu jadinya gampang ngamukan, kan,” ujar Nirwono sambil tertawa.
Dia juga menambahkan, kota yang mampu menata seni di ruang publiknya dengan baik akan mampu meningkatkan peradaban kota itu sendiri. Ada banyak negara maju, seperti di Eropa, yang memiliki kota-kota dengan tingkat peradaban tinggi, ditandai dengan kehadiran karya-karya seni yang tertata baik.
Nirwono mencontohkan kota Bilbao di Spanyol, yang sebelumnya tak dikenal, namun berubah nasibnya menjadi tujuan wisata terkenal di Eropa setelah pada 1997 di sana didirikan Museum Guggenheim, salah satu museum seni kontemporer populer.
Pada kesempatan terpisah, John Martono, seniman pelukis mural di sejumlah fasilitas umum di Bandung, meyakini kehadiran karya-karya seni di ruang publik dapat menciptakan atmosfer baru pada suatu lingkungan sekaligus mengubahnya ke arah positif.
Dari situlah kemudian jiwa dan nilai estetika dari masyarakat suatu kota diharapkan bertumbuh. Beberapa fasilitas umum yang dilukis mural oleh John adalah sejumlah pasar tradisional seperti Pasar Kosambi dan Cihapit, Terminal Bus Antarkota Leuwipanjang, dan Jembatan Pelangi, yang diresmikan Wakil Presiden Jusuf Kala pada akhir Januari 2017.
”Kami harap peran karya seni itu bisa mengubah lingkungan ke arah positif. Seperti Pasar Cihapit, Pasar Kosambi, dan Terminal Leuwipanjang. Setelah ditata dan dibuat mural suasana jadi semarak, bersih, tak lagi kumuh. Masyarakat dapat melihat sesuatu yang berbeda dengan keberadaan warna, komposisi, dan bentuk,” ujar John.
Hati-hati
Namun, sejumlah kalangan juga mewanti-wanti agar penempatan karya-karya seni di ruang publik kota terlebih dilakukan melalui pengkajian yang mendalam dan hati-hati. Jika tidak, penempatan yang serampangan dan tanpa pertimbangan malah bisa memicu persoalan di belakang hari.
Menurut John, tak semua wilayah mesti dipasangi karya seni. Penempatan karya seni di ruang publik jangan sampai sekadar asal ikut tren. Proses pengkajian yang mendahului juga perlu mencakup aspek teknis, spot mana saja yang perlu dipasangi karya seni, seberapa besar dan luasannya, seperti apa karya seni yang cocok ditempatkan di situ, apakah patung atau gambar.
Dalam konteks kota, kata John, perlu juga dipetakan mana tempat yang memerlukan galeri indoor atau outdoor. Perlu dipetakan pula karya-karya seni macam apa yang tepat ditempatkan di kawasan pusat kota atau di batas-batas kota. ”Semua itu perlu sinergi, termasuk dengan melibatkan para pakar ataupun institusi seni,” ujar John.
”Nanti juga harus ditetapkan karya seni seperti apa yang akan ditampilkan di ruang publik, apakah bersifat permanen atau sementara. Seberapa lama, apakah setiap enam bulan sekali, misalnya, lukisan mural dihapus untuk diganti dan memberi kesempatan kepada warga lain untuk berekspresi.”
Menyitir kontroversi yang terjadi seputar karya instalasi berbahan bambu ”Getah Getih” karya seniman Joko Avianto di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI), akademisi seni rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), Asikin Hasan, juga berpesan, penempatan satu karya seni harus dilakukan secara hati-hati, dengan sejumlah pertimbangan.
Menghadirkan sebuah karya seni di ruang publik Jakarta tentu punya banyak tantangan, terutama dalam menyesuaikan kebutuhan warga. Baru-baru ini karya Avianto, yang sebelumnya ditempatkan di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, dibongkar setelah sekitar 11 bulan diposisikan tak jauh dari Patung Selamat Datang, yang menjadi ikon dan landmark utama Jakarta.
”Karya seni publik baru (Getah Getih) yang ditempatkan di situ jadi seolah terbanting lantaran tak jauh dari sana ada elemen rupa dan sejarah lain, yang sangat kuat berupa patung Selamat Datang karya Edhi Sunarso (1932-2016). Belum lagi bangunan gedung lainnya. Kejadian ini menunjukkan kita masih punya persoalan dalam hal penempatan,” ujar Asikin.
Masukan senada juga disuarakan Nirwono, yang juga menyoroti belum adanya aturan main dan ketentuan baku, termasuk dalam konteks keberadaan cetak biru berbentuk Rencana Induk Penataan Ruang Publik. Ini seharusnya menjadi pegangan, termasuk untuk memilih dan menempatkan karya seni di ruang publik.
”Akhirnya kemudian semua serba tergantung selera gubernurnya,” ujar Nirwono.