”Arisan” Superhero Amerika
Para pahlawan super Amerika amat sibuk menyambangi layar bioskop. Puncaknya, pahlawan super Marvel berkumpul di Avengers: Endgame. Hollywood dengan kekuatan teknologi citra, industri, dan kapital terbukti sanggup membuat orang berbondong-bondong ke bioskop. Apakah hanya karena itu?
Sudah tiga bulan berlalu sejak film pahlawan super Avengers: Endgame dirilis. Namun, Dafaa’a Alhaqqy Muhammad (20), seorang mahasiswa, masih mengingat adegan demi adegan. Bagaimana tidak? Dafaa’a menonton film itu hingga enam kali.
”Nonton premiere dengan pacar. Beli tiket seminggu sebelumnya. Tapi, kalau nonton dengan pacar, banyak jaim (jaga imej). Kali kedua, nonton dengan adik yang juga penggemar komik dan film pahlawan super. Sampai nangis bareng. Itu baru nonton sesungguhnya ha-ha-ha,” ujar Dafaa’a. Selebihnya, dia menonton sendiri.
”Endgame benar-benar moment of a life time!” ujarnya serius, Jumat (26/7/2019).
Avengers: Endgame bercerita tentang rombongan pahlawan super di bawah kepemimpinan Iron Man (Tony Stark). Mereka melawan Thanos yang ingin memusnahkan separuh populasi manusia agar alam kembali seimbang.
Lewat film itu, Dafaa’a merefleksikan banyak hal. Sebut saja makna kepahlawanan seperti keberanian, rela berkorban demi kebaikan lebih besar, hingga mencermati kekuatan para pahlawan super perempuan.
Pemuda lain, Albert Otto (18), tak mau ketinggalan menonton film itu saat heboh-hebohnya. Dia menonton Endgame tengah malam pada hari pertama tayang. Ketika film usai, jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Bioskop seperti Cinemaxx Maxx Box Lippo Village Karawaci menyediakan jadwal menonton 24 jam untuk Endgame.
Albert tak terlalu tergila-gila pahlawan super. Hanya saja, ia penasaran. ”Buka hape, semua isinya Endgame. Mulai dari trailer, teman foto dengan tiket, atau selfie di bioskop. Rasanya seperti terkepung,” ujarnya.
Komentar setelah menonton? ”Wow, gila, nih, film,” ujar Albert yang paling ingat adegan Tony Stark tewas di akhir film. Dia mengaku beberapa kali merinding saat menonton.
Endgame, menurut Dafaa’a dan Albert, merupakan film yang ditunggu-tunggu. Infinity saga Marvel Cinematic Universe dimulai sejak 2008. Berawal dengan Iron Man, selanjutnya Marvel mengenalkan tokoh lain satu per satu, seperti Hulk, Thor, Captain America, Doctor Strange, Ant-Man, Black Panther, dan Captain Marvel, dengan klimaks kumpul bareng di Endgame.
”Endgame itu puncak perayaan, ibarat berlebaran setelah lama berpuasa,” ujar Dafaa’a yang puas dengan film itu.
Di Indonesia, Endgame mendominasi layar bioskop. Seminggu sebelum tayang, tiket pre-order ludes. Saat mengecek salah satu aplikasi pembelian tiket, Jumat (26/7), masih ada satu bioskop di bilangan Jakarta Selatan memutar Endgame. Tiga bulan film itu bertengger di layar.
Seperti dilansir The New York Times (22/7), sutradara James Cameron terpaksa menyerahkan gelar film berpendapatan tertinggi sepanjang masa yang disandang film garapannya, Avatar, selama sepuluh tahun kepada pahlawan super Marvel. Dengan pendapatan 2,790 miliar dollar AS atau sekitar Rp 39 triliun pada akhir pekan (21/7/2019), Endgame mengalahkan Avatar yang meraup 2,789 miliar dollar AS.
Setelah Endgame meredup, muncul Spider-Man: Far From Home pertengahan Juli ini. Dafaa’a pun tak ketinggalan menonton film yang berkisah kegalauan Spider-Man setelah ditinggal mentornya, Tony Stark. Kali ini, dia menonton dua kali.
Endgame dan Far From Home hanya segelintir dari deretan film pahlawan super. Glass, Captain Marvel, Shazam!, Hellboy, Brightburn, X-Men: Dark Phoenix, dan The Lego Movies juga singgah di layar perak. Sejumlah media asing menyebut tahun 2019 sebagai tahun tersibuk pahlawan super.
Maraknya film pahlawan super Amerika tak lepas dari kematangan industri. Para pahlawan Marvel, misalnya, kian produktif naik layar sejak Disney bersatu dengan Marvel Studio, menciptakan Marvel Cinematic Universe pada 2008. Penyatuan itu juga berarti memperkuat kepemilikan hak kekayaan intelektual untuk dieksploitasi, modal, pasar, promosi, produksi, dan distribusi.
Bahkan, Maret lalu, sejumlah media mewartakan, Disney membeli mayoritas aset 21st Century Fox yang memayungi Deadpool dan X-Men. Akankah geng Avengers berkumpul dengan X-Men? Mungkin saja, hanya satu yang membatasi pergerakan pahlawan super: hak kekayaan intelektual!
Kekuatan industri itu didukung perkembangan teknologi Computer Generated Imagery (CGI). Teknologi memungkinkan penciptaan citra yang menyerupai kenyataan. Sejak awal tahun 2000-an, citra yang dihasilkan komputer menjadi bentuk dominan special effect (efek khusus).
Film-film pahlawan super itu umumnya diterima dengan baik dan sering masuk daftar film Hollywood terlaris seperti yang dirilis situs bookmyshow. Tahun 2018, Avengers Infinity War, Deadpool 2, dan Aquaman masuk daftar.
Teknologi dan ”teologi”
Penulis buku Superhero dalam Pop Culture; Masa Depan Kemanusiaan sekaligus pengajar ilmu komunikasi di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Paul Heru Wibowo, berpendapat, film pahlawan super disukai karena ada arketipe (pola mula-mula) yang berulang dalam kesadaran kita sebagai manusia modern, bahwa kita butuh strong man, ubermensch (manusia yang ideal) untuk panutan.
”Pahlawan super lahir dari tradisi mitologi Yunani, juga narasi kitab suci. Semua bicara tentang makhluk setengah dewa,” ujarnya. Dalam perkembangannya, mereka lalu dicirikan berkemampuan luar biasa yang sulit dinalar orang kebanyakan, punya penampilan unik, anatomi tubuh sempurna seperti otot menonjol dan wajah tampan, serta makhluk abadi. ”Di Amerika, itu menjelma menjadi orang dengan kekuatan super memakai kostum spandex, karet,” ujarnya.
Amerika Serikat dengan DC Comics dan Marvel begitu matang mengelola pahlawan super, bukan hanya dalam hal industri dan narasi, melainkan juga nilai-nilai. Paul Heru Wibowo mencontohkan, film Marvel tidak hanya menawarkan dunia materialisme tertentu, tetapi juga nilai yang relevan dengan masyarakat, yaitu perjuangan tiada akhir.
”Film menawarkan harapan, memberikan kemungkinan masyarakat melihat masa depan lebih optimistis,” ujarnya.
Kelahiran pahlawan super komik Marvel dan DC Comics pun tak lepas dari harapan masa depan. Menukil tulisan Heru tadi, Superman, misalnya, lahir tahun 1938 melalui Action Comics #1 (DC Comic). Kala negara-negara Eropa lumpuh karena Perang Dunia I, Amerika melejit menjadi negara adidaya (super nation). Itu memperkuat posisi superhero sebagai simbol semangat dan kekuatan Amerika masa depan. Tokoh superhero awal Marvel, yakni Human Torch dan Namor the Sub-Mariner, juga lahir tak lama kemudian, tepatnya 1939.
Karakter pahlawan super yang nyaris sempurna, kata Heru, merupakan cara menuturkan ajaran terbaik. Keabadian para pahlawan membuat pesan dapat melintas generasi.
Pengajar Program Doktor Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma, St Sunardi, berpandangan, film-film pahlawan super seperti Avengers menarik karena kita bisa membayangkan situasi transhuman, membayangkan seandainya dengan teknologi kita dapat memakai pakaian khusus untuk menembus waktu serta ruang, misalnya.
”Keinginan itu dipuaskan secara psikologis dan kultural,” ujarnya.
Tetap kritis
Heru menyarankan, seperti halnya aktivitas menonton lainnya, penonton perlu selalu memeriksa film secara kritis. ”Tontonlah dengan nikmat, tetapi juga kritis,” ujarnya.
Dia mencontohkan, gambaran kekerasan, kehancuran, dan penyelesaian masalah dengan berlaga kadang menyertai tontonan pahlawan super. Dalam kehidupan nyata, itu tentu tak sepenuhnya patut dicontoh.
Penonton juga cenderung mengidentifikasikan diri dengan tokoh yang ditonton dan digemari. ”Jika tidak kritis, kita bisa menelan mentah-mentah identifikasi itu,” katanya.
Di sisi lain, film dapat menjadi cermin dan menggiring pemikiran kritis kepada persoalan terdekat. Ketika ditanya Indonesia membutuhkan pahlawan super seperti apa, Dafaa’a dan Albert tak lama berpikir.
”Pahlawan super pembawa cinta. Sentuhan si pahlawan super bikin hati yang panas jadi adem. Habis pemilu semua disentuh, supaya enggak ada lagi 01 dan 02, he-he-he,” ujar Dafaa’a.
Sementara Albert ingin menciptakan pahlawan super yang sakti membaca pikiran. ”Ketika ada koruptor menyangkal di depan hakim pengadilan dan bilang tidak tahu atau lupa, pahlawan super langsung mergoki dan teriak, ’Dia bohong, Yang Mulia!’” Nah!