Hening di Antara Bising
Ragam corak musik yang tersaji selama tiga hari di ajang We The Fest 2019 menyisakan ruang bagi pengunjung untuk mengasah kepekaan. Ajakan berpikir dimediasi lagu sarat makna, bisa lewat lirik, video di layar, hingga lontaran di panggung. Inilah ajakan musisi untuk memperkaya ruang rasa penontonnya.
Seruan lantang Ari Lesmana, vokalis Fourtwnty, menyentak audiens. Ia minta semua penonton membenamkan gawai ke saku dalam-dalam. ”Saya enggak peduli sama kalian yang mau nge-vlog (membuat video untuk diunggah). Masa bodoh,” ujarnya.
Raut wajah Ari serius. Tak urung, pengunjung bersorak-sorai dan mematuhinya. Fourtwnty menjadi grup pembuka festival musik yang berlangsung di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, pada 19-21 Juli 2019 itu. Pernyataan Ari sekaligus mengundang pertanyaan paling esensial bagi pengunjung We The Fest secara keseluruhan. ”Untuk apa datang ke konser? Bersenang-senang, tentu saja,” ujarnya.
Maka, Ari mengajak penontonnya menari dan menyanyi sebebas-bebasnya tanpa ponsel. Renungan ringan itu dilontarkan Fourtwnty di sela membuka penampilannya dengan lagu ”Realita” disusul ”Hitam Putih” dan ”Lembayung Senja”. Ari kembali menuntun 4.20 Society, sebutan untuk penggemar Fourtwnty, memaknai konser lebih dalam.
”Saya mau kalian angkat kedua tangan. Kita masih orang Indonesia,” ujarnya di panggung utama We The Fest, Jumat (19/7/2019) sore. Lagu ”Indonesia Pusaka” lantas berkumandang dengan kor penonton yang menyesaki bibir panggung. Di atas pentas, bendera Merah Putih dibentangkan.
Selanjutnya, Ari kembali ke jati dirinya. Ia ekspresif, meliuk-liukkan badan, dan melangkah mundur maju. Sambutan paling meriah tentu saja ia dapat saat mendendangkan ”Zona Nyaman”. Tembang pengiring film Filosofi Kopi 2: Ben & Jody itu kerap menghiasi siaran radio pada medio 2017.
Fourtwnty menutup aksinya dengan menggelorakan nasionalisme lagi. Tanpa memainkan alat musik, mereka berdiri dan berangkulan, atau menaruh kepalan tangan di dada sambil bernyanyi bersama penonton. Suasana takzim dengan lagu ”Tanah Airku” yang bergema dari sistem suara.
Fourtwnty tak sekadar berjingkrak. Langgam berkonser grup yang terbentuk pada tahun 2010 itu mengajak penonton untuk tak cuma memuaskan naluri hedonisme dan narsistik. Kekuatan lirik bermuatan kritik sosial juga mengembara dalam lorong-lorong pikiran pendengarnya.
Lagu ”Realita”, misalnya, berkisah tentang generasi belia yang mendahulukan hasrat diri ketimbang akalnya. Sementara ”Zona Nyaman” bertutur soal insan yang terkekang dengan rutinitas duniawi dan tak ingin jadi hewan perahan. Intinya, Fourtwnty di tengah kebisingan mengajak penggemarnya berpikir.
Mantra
Relung-relung kontemplatif dalam We The Fest juga dihadirkan Sal Priadi. Solois bernama asli Salmantyo Ashrizky Priadi itu di sela-sela lagunya meminta penonton hening. ”Saya minta hadirin untuk memikirkan satu doa yang paling ingin diamini. Dengan amin paling serius,” ujarnya.
Spontan, penonton bertepuk tangan riuh. Jelas, itu pertanda Sal akan menyanyikan lagu andalannya, ”Amin Paling Serius”. Nomine Artis Solo Pria Pop Terbaik Anugerah Musik Indonesia Awards tahun 2018 itu berduet dengan Nadin Amizah. Nadin naik ke atas panggung dengan membaca doa.
”Mengalirlah kalam baik dari setiap celah gigimu. Semoga dijauhkan dari tangis tak berarti. Merekahlah lantunan manis walau kaki ditarik pilu,” ucap Nadin bagai merapal mantra.
Selanjutnya, tubuh Sal asyik berkeluk mengikuti irama lagu. Sesekali, ia membelalak dengan gaya teatrikal. Lagu ”Kultusan” dengan lirik yang dalam menjadi penutup setelah Sal melantunkan enam karyanya.
”Lagu tentang ketulusan seseorang untuk memaafkan pasangannya meski sudah berkali-kali disakiti,” ujarnya di panggung Another Stage, hari pertama. Simak saja lirik lagu itu yang menggoda pendengar untuk menafsirkannya. ”Mungkin dikultuskan/ dalam perjamuan/ bulir darahku/ namamu seorang/ hingga mengingkarimu adalah hal yang mustahil//”.
Romantisme juga jadi menu utama grup asal El Paso, AS, Cigarettes After Sex, yang dipadati penonton di malam ketiga. Lampu yang dimainkan hanya lampu sorot putih sepanjang Greg Gonzalez dan rekan-rekannya tampil, jauh berbeda dengan lampu warna-warni ketika band sebelumnya, Warpaint, beraksi.
Vokal Greg amat mendayu di semua lagu, sama sepinya dengan iringan musik yang terkesan mengawang-awang. Begitulah cara mereka mengekspresikan kasih sayang dalam lagu semisal ”Nothing’s Gonna Hurt You Baby”, ”Affection”, maupun ”Apocalypse”.
Banyak penonton terhanyut ketika mereka tampil. Ada yang mempererat rangkulan, ada yang berkecupan, tetapi ada juga yang ketiduran.
Tanpa kata-kata
Pianis Sri Hanuraga dan gitaris Gerald Situmorang turut menyajikan musik dengan perspektif berbeda. Di panggung Another Stage pada hari pertama, mereka menampilkan musik instrumentalia. Jemari Hanuraga lincah menari di atas tuts-tuts piano.
Gerald yang menempati sentral panggung kerap memejamkan mata seraya wajahnya mendongak bak melayang. Kadang, kepala itu menunduk hingga rambutnya terurai. Hanuraga dan Gerald memainkan lagu seperti ”Perjalanan Menuju ke Sana”, ”Thieves of Mind”, dan ”God of Dragons”.
Penonton menyimak dengan khidmat. Tenggelam dalam praduga sendiri-sendiri. Layar di belakang mereka menayangkan pepohonan kerontang, letusan gunung, dan genangan air dalam warna hitam putih yang suram. Gerald lantas menjernihkan prasangka penontonnya.
”Lagu ’Perjalanan Menuju ke Sana’, misalnya, melukiskan pengalaman dari lahir hingga mati,” ujarnya.
Sementara, .Feast di panggung This Stage Is Bananas pada hari ketiga mengekspresikan kegelisahan atas sengkarut kehidupan sosial. Lagu .Feast seperti ”Peradaban”, ”Kelelawar”, dan ”Kami Belum Tentu” dimainkan dengan latar layar yang membujuk pengunjung untuk tak apatis. Adegan perkelahian, permukiman kumuh, dan kerusakan hutan bersemu warna merah sungguh mengiris hati.
Kevin Wiyarnanda, Public Relations and Media Relations Ismaya Live sebagai penyelenggara We The Fest 2019, menjelaskan, 24 musisi internasional dan 41 musisi Indonesia meramaikan festival itu. ”Kami memilih musisi-musisi yang sedang naik daun,” ujarnya.
Musisi-musisi dengan lirik puitis, kritis, atau kontemplatif menambah warna We The Fest di antara band-band mayor. Festival yang diselenggarakan sejak 2014 itu juga menjadi edukasi mengetahui musisi yang belum penonton kenal.
Datang ke festival lalu menemukan musisi yang baru menjadi salah satu pengalaman paling menyenangkan. ”Kalau suka, pulang festival dengerin musik mereka. Khazanah musik bertambah,” ujarnya.