Mendekap Bara Jazz Bromo
Lalu lalang orang menandu tungku berisi arang membara terlihat takzim. Tungku itu tak lain demi memberi kehangatan di tengah udara dingin pegunungan di lokasi konser Jazz Gunung Bromo di Jiwa Jawa Resort. Dalam dinginnya udara, penonton diajak mendekap bara musik jazz Bromo erat-erat.
”Saya terlihat gemuk, ya. Saya menggunakan jaket dan baju rangkap lima supaya tidak kedinginan,” ujar penyanyi Mus Mujiono (59) di tengah penampilannya yang memukau di panggung Jazz Gunung Bromo, Jawa Timur, Jumat (26/7/2019) malam.
Mus Mujiono diiringi musisi jazz Idang Rasjidi dan kawan-kawan, menghadirkan lagu-lagu hitsnya, di antaranya ”Tanda-tanda”, ”Arti Kehidupan”, dan ”Lestari”. Mus Mujiono juga membawakan salah satu lagu musisi jazz George Benson dari Amerika Serikat.
Penyanyi seriosa Sastrani Wirata juga diiringi Idang Rasjidi melantunkan lagu yang sebelumnya akrab di telinga sebagai lagu keroncong. Malam itu menyublim menjadi musik jazz, berbeda dengan racikan komposer asalnya.
Ini menariknya jazz. Musisinya tak terikat memainkan lagu secara ketat sesuai komposisi asalnya. Di antara pemain musik jazz ada improvisasi dan saling merespons. Demokratis. Penikmat disuguhi alunan musik yang tak mudah ditebak.
Di dalam jazz, penampilan ulang sebuah lagu yang sama untuk pementasan berbeda tidak akan selalu terasa sama. Jazz menghadirkan imajinasi bermusik yang membebaskan. Pemusik berimprovisasi dan saling merespons secara egaliter.
Indonesia itu jazz
Di Jazz Gunung Bromo, muncul ungkapan unik penampil dari seorang pemusik dari kelompok Debu. Seusai pentas pembukaan di hari pertama, mereka berbincang dengan awak media.
”Indonesia itu jazz,” ujar Daood Abdullah, penggebuk drum kelompok Debu yang juga piawai memainkan alat musik darbuka khas Timur Tengah.
Ungkapan Daood menyelipi uraian yang dipaparkan vokalis Debu, Kumayl Mustafa Daood. Mustafa yang kelahiran AS ini menceritakan pengalamannya sepanjang 20 tahun bermusik dan berkelana di berbagai daerah di Indonesia.
Ia menjumpai keragaman musik dan mengakui kehebatan masyarakat Indonesia yang mampu menyerap musik dan budaya yang datang dari mana saja. Mustafa menyebut, ini seperti bermain musik jazz.
”Bermain musik jazz penuh toleransi di antara sesama musisinya, seperti masyarakat Indonesia yang juga penuh toleransi,” kata Mustafa. Di situlah Daood menimpali, Indonesia itu jazz.
Mustafa melantunkan lagu-lagu spiritual Islami. Sesekali di jeda lagu, ia menyelipkan kata-kata bijak. ”Indonesia dengan kekayaan alam dan budayanya banyak yang harus kita syukuri. Tetapi, kita masih saja sering mengeluhkan banyak hal, seperti mengeluhkan pemimpin kita,” ujarnya.
Lanjut Mustafa di panggung, orang yang melihat hina orang lain, sesungguhnya orang itu lebih hina. Orang yang melihat mulia orang lain, orang itu sesungguhnya lebih mulia. Seusai pentas, Mustafa menceritakan pengalamannya bertemu seorang tua di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Orang tua itulah yang mengatakan kata-kata bijak tadi.
Kelompok Debu tampil di hari pertama dari dua hari pementasan Jazz Gunung Bromo setelah penampil pertama Ngalam Jazz Community. Dilanjutkan kelompok musisi jazz Yuri Mahatma Quartet dari Bali.
Kemudian para musisi jazz asal Perancis, Voyager 4, menambah nuansa khas jazz yang penuh ragam. Musik jazz Voyager 4 unik. Mereka terinspirasi sains dari Einstein.
Setelah jeda sejenak, tampil kelompok musik Gugun Blues Shelter. Dari mereka meluncur deras 12 lagu dengan alunan blues. Vokalis Gugun dengan lengkingan gitarnya berusaha menggugah penonton untuk bangkit berdiri dan ikut menyanyi. Tetapi, para penonton masih enggan beranjak. Udara dingin seperti membekukan geliat tubuh.
Kemudian, dilanjutkan penampilan Idang Rasjidi dengan instrumentalia jazz. Disusul beberapa lagu yang dilantunkan Sastrani dan Mus Mujiono.
Pementasan Jazz Gunung Bromo hari pertama itu dipungkasi penampilan Tompi. Beberapa lagu hits Tompi akhirnya menggugah sebagian penonton untuk bangkit dan ikut menyanyi.
Tompi antara lain membawakan ”Romansa”, ”Selalu Denganmu”, ”Cerita Kita”, ”Bawa Daku”, ”Tak Pernah Setengah Hati”, ”Bengawan Solo”, dan ”Menghunjam Jantungku”.
”Saya pernah diminta membawakan lagu ’Bengawan Solo’ dalam suatu pentas Praha. Saya sangat suka lagu ini, malam ini saya ingin menyanyikannya,” kata Tompi.
Jazz Gunung Bromo yang digagas Djaduk Ferianto, Butet Kertaradjasa, dan Sigit Pramono merupakan ajang tahunan. Pementasan pada 2019 ini merupakan yang ke-11 kalinya.
Penampil pada Jazz Gunung Bromo 2019 di hari kedua meliputi MLDJAZZPROJECT, Geliga, Nita Aartsen Latin Jazz Project, Tristan dari Belanda, Sierra Soetedjo, ROF dengan penyanyi Ricad Hutapea dan Didi Kempot. Pementasan dipungkasi Candra Darusman Project.
Di hari kedua ini, penghargaan diberikan kepada salah satu legenda musisi jazz Indonesia, almarhum Maryono (1937-1998) asal Yogyakarta, yang juga dikenal sebagai guru pemain saksofon Embong Rahardjo.
Maryono piawai memainkan beragam alat musik, seperti saksofon, klarinet, dan bas. Ada kepiawaiannya yang unik, seperti memainkan klarinet yang dilepas bagian per bagian. Pada masanya, dikenal pula musisi Idris Sardi sebagai pemain musik biola ”maut”. Maryono kerap disepadankan dengan Idris Sardi sebagai pemain klarinet ”maut”.
Tantangan alam
Jazz Gunung Bromo dinaungi udara dingin dan pemandangan langit bersih berbintang. Ini jadi atmosfer hidangan musik jazz yang mengesankan. Di sore yang menanjak hingga tengah malam itu udara dingin kian menusuk, membekukan ujung-ujung jemari.
Ini tantangan alam. Tidak hanya penonton yang merasakan, ternyata para pemain musik pun demikian.
”Faktor alam di Bromo ini menjadi tantangan alam bagi saya. Dingin membuat suara saya seperti ingin tertelan kembali,” ujar Tompi seusai pementasan. Ini penampilan kedua Tompi di Jazz Gunung Bromo. Pada 2011, Tompi pernah pentas pula bersama Glenn Fredly di sini.
Lagu-lagu hits Tompi membawa penonton membuncah. Kerap kali ia memainkan improvisasi kemudian diikuti pemusik memainkan irama sama. Ia lalu meminta penonton mengikuti improvisasi musikalnya. Sesekali Tompi menggoda para penonton dengan berteriak, ”Berantakan.”
Toh, penonton tetap menyambut dengan riang. Seperti tungku-tungku arang membara yang dibawa ke tengah penonton dan cukup menghangatkan udara. Tompi pun tampil jadi bara yang menghangatkan.