Tontonan yang Tuntunan
Di antara rombongan superhero Amerika berbaju karet ketat, hadir pahlawan ciptaan kreator dalam negeri. Mereka memilih jurus tak kalah super: cerita dan karakter khas demi menghadirkan sudut pandang berbeda bagi penghuni negeri ini. Karakter pemberani dan rela berkorban demi kebaikan hadir lewat pendekar sableng, pocong, dan kesatria petir.
Sutradara Joko Anwar belakangan sibuk beranjangsana ke kantor media, memperkenalkan film garapan barunya, Gundala, yang dijadwalkan tayang Agustus mendatang. Berkaus hitam dengan tulisan putih ”Gundala”, Joko Anwar menyambangi Redaksi Kompas di Jakarta bersama aktor Abimana Aryasatya dan Ario Bayu.
Joko Anwar menjawab pertanyaan tentang Gundala yang seperti tak habis-habisnya di siang bulan Juni itu. Dia sesekali jahil memperlihatkan sekilas layar telepon selulernya, menunjukkan kostum.
”Indonesia tropis, kok, kostumnya menutupi sekujur tubuh,” wartawan bertanya.
”He-he-he, makanya nanti ada adegan Gundala teriak…
ah, panasss!!” ujarnya. ”Sudah, ah, tunggu saja,” lanjutnya misterius.
Ini pertama kalinya Joko Anwar menyutradarai film pahlawan super. Film besutan terakhirnya, Pengabdi Setan (2017), meraih lebih dari 4 juta penonton.
Gundala terinspirasi komik Harya Suraminata (Hasmi), Gundala Putera Petir, yang pertama kali diterbitkan Bumilangit pada 1969. Pernah pula diangkat ke layar perak pada 1980-an. Karakter tersebut terinspirasi tokoh legenda Jawa, Ki Ageng Selo, yang mampu menangkap petir (gundolo). Film versi terbaru itu akan mengisahkan seorang yatim piatu, Sancaka, yang mendapatkan kekuatan super setelah tersambar petir.
”Sudah ada 1.300-an unggahan fans art di Instagram, bukti antusiasme penggemar menyambut Gundala,” ujarnya merujuk tagar #gundalafanart yang penuh gambar Gundala karya penggemar.
Dia mengungkapkan, kekuatan utama Gundala ialah cerita yang dekat dengan situasi dan keresahan penghuni negeri ini. ”Kami tidak berfantasi jagoan kami menghadapi hal-hal di luar Bumi, misalnya alien,” ujarnya.
Gundala juga tidak berusaha menjadi tandingan film Barat yang didukung kekuatan teknologi dan uang. Film Avengers: Endgame, misalnya, diberitakan berbiaya sekitar Rp 5 triliun.
”Di Marvel atau DC, dalam satu adegan, yang membuat gerakan rambut sampai kilatan kuku saja berbeda orang. Credit title pembuat special effects di layar bisa ratusan orang. Di film kami, yang bikin itu barangkali hanya satu atau dua orang. Kami lebih fokus membuat cerita dan karakter,” ujar Joko.
Geliat film pahlawan super
Dibandingkan dengan genre film lain, seperti drama dan komedi, film pahlawan super terbilang sedikit (bahkan di negara Barat) karena tingginya kesulitan teknis dan biaya. Jika jumlah film pahlawan super ala Amerika dibandingkan dengan Indonesia, terasa timpang. Produksi Amerika dalam satu dekade (2008-2018) empat kali lipat lebih banyak daripada Indonesia.
Indonesia pernah subur pahlawan super pada 1968-1980 seiring produktifnya penulis seperti Ganes TH, Jan Mintaraga, Hans Jaladara, Teguh Santosa, Djair Warni, dan Hasmi. Berkat mereka, Indonesia punya Si Buta dari Gua Hantu, Panji Tengkorak, dan Gundala. Sebagian diangkat menjadi film. Setelah itu, sempat terjadi kekosongan.
Sejak 2008, ada upaya untuk mengisi kevakuman tersebut. Superhero ala Indonesia, seperti Wiro Sableng dan Pendekar Tongkat Emas, mulai naik layar.
Bahkan, Wiro Sableng tembus 1 juta penonton dan menjadi nomine delapan kategori dalam Festival Film Indonesia 2018. Wiro Sableng berangkat dari cerita karya Bastian Tito yang pertama terbit pada 1967 dan mencapai 185 judul. Wiro adalah pendekar slengean bersenjata Kapak Maut Naga Geni yang dididik oleh guru silat Sinto Gendeng.
”Lifelike Pictures bekerja sama dengan Fox International Productions yang tertarik dengan Wiro Sableng karena ceritanya Indonesia banget,” ujar Sheila Timothy, produser film berbujet 2 juta dollar AS itu, Kamis (25/7).
Sheila membentuk tiga tim untuk membaca semua novel Bastian Tito demi mengembangkan cerita dan karakter. ”Penonton makin pintar sehingga film tidak semata glorifikasi dan aksi. Karakter dan pesan moral dari karakter itu penting,” ujarnya.
Pocong dari Batikan
Dari Jalan Batikan, Yogyakarta, para pekerja seni Jtoku menciptakan pahlawan dari sesuatu yang akrab. Hasilnya? lahirlah Pocongman. Siapa yang tak kenal pocong? (meskipun tentu tak berharap berkenalan langsung).
”Kita selalu ditakuti dengan pocong. Saya ingin orang tidak takut lagi,” ujar Nawa Rie Eda, pendiri Jtoku sekaligus pencipta karakter Pocongman, lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Kamis (27/6), di markas Jtoku.
Pocongman berkisah pemuda yang berubah menjadi pocong berkat alat pengubah energi metafisik menjadi fisik, elektro-plasma ciptaan para dukun saintifik. Pocongman sibuk menghalau serangan santet.
Sebuah rumah produksi asal Malaysia sempat ingin bekerja sama mengembangkan Pocongman. ”Cuma mereka ingin namanya diganti Hantu Bungkus dan produksi di Malaysia. Kami menolak, khawatir tidak bisa lanjutkan lagi Pocongman,” ujar Nawa.
Sejak 2006, Jtoku aktif memproduksi berbagai karakter dan memunculkannya dalam bentuk buku komik, film web series, dan kostum. Markas mereka di Jalan Batikan penuh dengan poster, topeng hasil cetakan, mesin jahit, dan deretan komputer pengolah gambar. Jtoku punya tiga studio tempat bekerja.
Hampir semua pahlawan super Jtoku berawal dari keresahan. Karakter Ammar, pahlawan berwujud ayam, diciptakan ketika marak kasus flu burung. ”Ayam bagian dari hidup orang Indonesia, tetapi saat itu ayam terancam dimusnahkan. Kami juga suka ayam bakar,” ujar Nawa. Ada pula tokoh robot, Garudaman, dan Pemuda Wajan.
Bagi Jtoku, film superhero itu tontonan sekaligus tuntunan. ”Lebih mudah menyampaikan ajaran lewat pahlawan super,” ujar Duan H Sanjoyo,
Head of Operations Jtoku. Dalam pembuatan film atau konten, mereka menyisipkan pesan positif. Adegan pun dibuat jauh dari kekerasan. Tidak ada kontak fisik langsung ketika pahlawan berlaga, tetapi memakai efek tambahan.
Pahlawan super dipandang sebagai kolam nilai. ”Idola dari dunia nyata tidak pernah sempurna dan suatu saat lenyap. Berbeda dengan tokoh fiksi yang dapat dibentuk sesempurna mungkin dan abadi. Superman, tokoh DC yang diciptakan pada 1930-an, masih awet,” ujar Duan.
Narasi pengampunan
Penciptaan karakter khas Indonesia tak tumbuh di ruang steril. Almarhum Hasmi dalam artikel wawancara ”Nostalgia Kejayaan Gundala” pada Suara Merdeka yang ditulis Bagas Pratomo (2005) mengakui, bentuk fisik Gundala mirip Flash, terinspirasi genre superhero pada zamannya. Jtoku juga berangkat dari kecintaan penggiatnya pada tokusatsu (film Jepang padat efek khusus). Mengutip Kompas.com, Vino G Bastian pernah mengungkapkan, ayahnya, Bastian Tito, penggemar cerita James Bond, agen rahasia Inggris bersandi 007. Ayah Vino lalu terinspirasi menciptakan pendekar dengan angka ikonik.
Meskipun demikian, penulis buku Superhero Dalam Pop Culture; Masa Depan Kemanusiaan sekaligus pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Paul Heru Wibowo, berkeyakinan, kreator Indonesia selalu akan menggunakan pendekatan berbeda. Terutama terkait narasi yang menyertai pahlawan super.
”Ada narasi redemptive atau penebusan. Pahlawan super bukan menghancurkan, melainkan memberikan kehidupan. Si Buta dari Gua Hantu, misalnya, bisa membunuh musuhnya dalam berbagai kesempatan, tetapi tidak dilakukan,” ujarnya.
Narasi Indonesia juga tak lepas dari campuran antara isu dunia klenik dan kehidupan sehari-hari. Lain dengan pahlawan super ala Barat yang merayakan teknologi dan ilmu pengetahuan. Pahlawan super Amerika lahir dari pergulatan sosial dan sejarah yang secara simbolik mencitrakan posisi adidaya.
Pahlawan super dari Indonesia, menurut Heru, sulit disandingkan dengan pahlawan super di Barat. Penyebutannya pun berbeda, lebih cocok disebut wira, kesatria, atau pendekar.
Pengajar Program Doktor Kajian Budaya (Seni dan Masyarakat) Universitas Sanata Dharma, St Sunardi, mengatakan, pahlawan super ala Indonesia tak selalu harus ditempatkan sebagai budaya tandingan. ”Mereka dapat menjadi pilihan berharga karena tumbuh dari pengalaman dan pergulatan bangsa sendiri,” ujarnya.
Gundala seakan ingin meneriakkan pergulatan itu. ”Negeri Ini Butuh Patriot!”