Olah Kesederhanaan Baduy
Tenun Baduy merupakan cermin kehidupan masyarakat adatnya. Dalam tiap lembar tenunan, ada kesederhanaan dan harmoni dengan alam. Kesederhanaan motif dalam tenunan tangan ini pula yang justru menjadi keunggulan yang menjadikannya primadona mode.
Elas dari Baduy Luar dengan tekun menjalin helai per helai benang di alat tenun pakara tinun miliknya di Kabupaten Lebak, Banten, Kamis (4/7/2019) lalu. Perlahan, dari tangannya lahir motif khas Baduy Luar, seperti aros, suat songket, adu mancung, atau tajur pinang. Sementara jika kita masuk ke wilayah suku Baduy Dalam, hanya terdapat motif polos dan aros.
Turun-temurun, Elas mempertahankan pakem pembuatan motif yang hanya itu-itu saja. Modifikasi yang boleh dia lakukan hanyalah mengubah warna tenun atau sekadar memperlebar atau mempersempit jarak antarmotif. Karena itu, tenunan Baduy ini selalu lekat dengan kesederhanaan dan mudah dikenali di pasaran.
Pola yang sangat mudah ditemukan antara lain motif aros yang hanya berupa garis-garis mirip dengan tenunan lurik dari Jawa Tengah. Motif adu mancung berupa pertemuan ujung dua segitiga kecil yang terus berulang. Adapun motif tajur pinang terlihat seperti pola garis putus-putus dengan dua warna di antaranya. Mirip seperti pola yang biasanya ditemukan di batang pohon pinang.
Elas yang biasa jualan tenun gedogan Baduy di Gerai Karya Heuleut Kanekes, Kampung Kadu Ketug Desa Kanekes, Kecamatan Lewidamar, Banten, piawai membuat seluruh motif tradisional tersebut. Namun, ia hanya menjual bahan tenunan berupa lembaran tenun.
Bagi warga yang tinggal di Baduy Dalam, tenun yang umumnya berwarna putih polos atau hitam dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kepercayaan mereka, terlalu banyak warna akan membuat pikiran kabur. Menenun sudah dilakukan setiap perempuan di Baduy sejak usia tiga tahun.
Untuk mereka yang sudah menjadi warga Baduy Luar, tenun biasanya hanya dipakai dalam acara adat, seperti dalam upacara Kawalu, Ngalaksa, dan Seba. Tenun aneka warna, seperti ungu dan kuning, hanya dibuat untuk dijual kepada wisatawan.
Harga lembaran kain tenun ini berkisar dari Rp 250.000 hingga Rp 1 juta. ”Yang dijual hanya bahan. Kalau bikin baju enggak tahu ukurannya dan enggak ada tukang jahit. Kalau tenun ungu, kuning.... Enggak dipakai, cuma dijual,” kata Elas.
Elemen garis
Karena keinginan kuat untuk tetap mengukuhi pakem tradisional, tenun Baduy hadir cenderung polos jika dibandingkan tenun dari daerah lain di Nusantara. Motif-motifnya pun tak kaya dan tak beragam. Namun, kepolosan ini yang justru menarik hati desainer seperti Melanie Dharmosetio.
Melanie yang melahirkan label meLOOKmeL jatuh cinta pada kesederhanaan tenun Baduy lalu mengolahnya menjadi busana siap pakai. Oleh karena bahan tenunnya yang sederhana, desainer dituntut ekstra kreatif tanpa lepas dari pakem penenun Baduy. Melanie bermain-main dengan meminta penenun memperlebar atau mempersempit jarak antargaris atau memperpendek dan memperpanjang motifnya.
Ia pun menghadirkan warna-warni yang tak umum— tapi sedang populer di pasaran—seperti kuning. ”Mood saya lagi suka kuning. Suatu hari ada tenunan yang gagal dibikin. Saya simpan. Ternyata kemudian bisa digabungkan dengan tenunan lain. Saya numpuk banyak kain di rumah,” ujarnya.
Pada 2016, desain busana dari tenunan Baduy karya meLOOKmeL meraih penghargaan dari Inacraft untuk karya berjudul ”Celana Empat Pintu”. Empat pintu ini berupa lapisan-lapisan tenun yang bisa dibongkar pasang. ”Saya buat desain empat pintu karena komunitas Baduy kan tertutup. Dia mau bekerja sama dan dia berarti mau membuka pintu. Enggak hanya satu pintu, tapi langsung empat pintu,” kata Melanie.
MeLOOKmeL juga mewakili Indonesia di gelaran event Handmade Internasional ”New York Now 2017” dan mendapat penghargaan Rising Star Designer dari APPMI di IFW 2019. MeLOOKmeL fokus mengolah tenun Baduy yang kaya dengan elemen garis vertikal, horizontal, ataupun diagonal. Elemen garis ini yang kemudian menjadi kekuatan karakter meLOOKmeL.
Melanie menyebut selalu ada jiwa di masing-masing rancangan busananya. Ia selalu mengedukasi 12 mitra penenun Baduy yang bekerja sama dengannya untuk menenun dengan perasaan. ”Secara gampang, meLOOKmeL berarti kita melihat diri kita sendiri. Kalau berpakaian harus sesuai jiwa dan kepribadian sendiri,” kata Melanie.
MeLOOKmeL berkomitmen pada pemberdayaan perempuan dan kesinambungan lingkungan dengan hanya memakai pewarna alam. Bintik- bintik kapas dari proses pemintalan tradisional juga memberi kekhasan tekstur. Setiap rancangan busana Melanie selalu hanya menggunakan material tenun dengan model yang juga sederhana dan siap pakai.
Jatuh hati
Berawal dari hobi sebagai kolektor tenun, Melanie jatuh hati pada kesederhanaan tenun Baduy. ”Saya jatuh hati pada Baduy. Tenun yang lain cantik, tapi tenun Baduy membangunkan saya dan menantang saya untuk melakukan lebih lagi. Sebab tampilan sederhana,” kata Melanie.
Dalam bekerja sama dengan penenun, Melanie tak lantas mengenalkan penenun dengan sesuatu yang benar-benar baru. Ia pun tak punya kebebasan membuat motif kontemporer karena keterikatan penenun pada pakem tradisi. Untuk motif adu mancung, misalnya, modifikasi dilakukan dengan membuat tiga motif segitiga dari biasanya hanya dua segitiga yang saling beradu.
Kain-kain tenun Baduy lalu dirancang dengan berkolaborasi dengan wastra tradisional dari daerah lain. Sebuah busana tampak memadukan antara tenun Baduy dengan sutra rayon dari Pekalongan atau tenun Nusa Tenggara Timur. Dengan campur tangan desainer seperti Melanie, tenunan Baduy bisa menjangkau lebih banyak konsumen karena disajikan dalam wujud siap pakai.
Bagi penenun seperti Elas, ada kebanggaan tersendiri ketika kain tenun buatan tangannya dipakai orang lain. Penenun tradisional pun bisa terus hidup di tengah gerusan modernitas.
Menenun dengan jiwa menjadi kunci sehingga keindahannya bisa ditularkan ke desainer maupun pemakainya. Keindahan di balik kesederhanaan.