Panakawan Teater Koma
Suara Semar tak lagi samar. Ia mengingatkan, seorang kesatria akan celaka jika meninggalkan atau ditinggalkan para panakawan.
Ini cuplikan dari pentas seni pertunjukan berjudul ”Goro-goro: Mahabarata 2, Panakawan adalah Kawan” oleh Teater Koma di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta. Pementasan berlangsung antara 25 Juli dan 4 Agustus 2019.
Pentas ini hasil produksi ke-159 dalam rentang perjalanan Teater Koma sepanjang 42 tahun. ”Goro-goro: Mahabarata 2, Panakawan adalah Kawan” sekaligus mengukuhkan kembali Teater Koma sendiri adalah para panakawan yang setia mengabdi kepada para kesatria bangsa ini.
Semar dan saudaranya, Togog, adalah para dewa yang turun ke dunia nyata marcapada dari kahyangan. Mereka mendapat titah Sang Hyang Tunggal, ayahnya.
Semar dititahkan untuk mendampingi para kesatria pembela kebenaran. Kakaknya, Togog, mendapat titah mendampingi raja angkara murka.
Naskah dan sutradara pementasan ini digarap N Riantiarno. Semar diperankan Budi Ros, Togog diperankan Bayu Dharmawan Saleh.
Kedua panakawan ini bukanlah tokoh dewa yang memiliki karakter berkebalikan. Kebetulan saja mereka dititahkan untuk mendampingi tokoh wayang di dunia marcapada yang memiliki sifat berkebalikan, saling bermusuhan, saling bertentangan, dan membuat keduanya panakawan itu seolah saling berlawanan karakter pula.
Riantiarno menunjukkan bahwa kebaikan selalu diiringi kejahatan. Kejahatan tidak bisa dihapuskan, tetapi kejahatan haruslah dikendalikan.
Seperti kata Semar, para kesatria pembela kebenaran pun bisa tidak selamanya bertindak benar. Para kesatria bisa terjungkal celaka ketika meninggalkan atau ditinggalkan para panakawan.
Riantiarno membawa konteks kekinian. Ketika itu Semar ditemani anak-anaknya, Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka sedang bercengkerama dan bersenda gurau ingin menyanyi.
Satu di antara mereka mengatur pengambilan suara. Pembagiannya hanya ada suara satu dan suara tiga.
”Lho, mana suara dua?” tanya Semar.
”Suara dua, enggak usah diajak,” tukas Gareng.
Di sini Semar lalu berujar, para kesatria (yang menang pemilu) pun bisa celaka jika nantinya meninggalkan atau ditinggalkan para panakawan.
Jalan cerita
Bermula dari kisah para dewa di kahyangan, jalan cerita ini bergulir. Batara Guru, diperankan Slamet Rahardjo Djarot, mengeluhkan kelakuan anaknya Batara Kala (diperankan Hengky Gunawan).
Kala makin buas memangsa ras wayang. Ras wayang di sini digambarkan manusia yang ada di dunia tengah. Para dewa mencemaskan ras wayang akan segera punah dimangsa Batara Kala.
Batara Narada akhirnya meminta Dewa Wisnu turun ke marcapada untuk meredam Batara Kala. Ia berhasil membuat Kala mengurangi mangsanya hingga kisah panjang Kala memutuskan diri bertapa.
Waktu terus berlalu. Di tengah pertapaan, Kala diganggu para raksasa perempuan anak buah Raja Bukbangkalan. Raksasa penguasa kerajaan Sonyantaka ini memusuhi kerajaan Medangkamulyan yang makmur di bawah Raja Srimahapunggung.
Srimahapunggung menyejahterakan rakyatnya dengan kelimpahan padi. Padi dikisahkan dengan riwayatnya tersendiri. Riantiarno menggabungkan asal muasal padi ini dari kisah Jawa dengan tokohnya Srinandi. Digabungkan narasi asal muasal padi di Sunda dengan tokoh Dewi Lokawati.
Alkisah, Srimahapunggung menyejahterakan rakyatnya dengan padi yang melimpah. Kerajaan Sonyantaka yang paceklik itu ingin menyerang kerajaan Medangkamulyan. Di perjalanan itu mereka menjumpai Kala yang sedang bertapa.
Kala terganggu dan terbangun dari tapa. Dengan kesaktiannya, Kala menundukkan Bukbangkalan dan pasukannya. Kemudian mereka justru bersekutu. Kala akhirnya memimpin penyerbuan ke kerajaan Medangkamulyan.
Raja Medangkamulyan, yaitu Prabu Srimahapunggung adalah keturunan Dewa Wisnu. Ia memiliki adik yang tinggal di kahyangan, Srinandi.
Bersamaan peristiwa penyerangan Kala, Srinandi berniat turun kahyangan untuk menjumpai kakaknya. Kala menyaksikan Srinandi turun dari kahyangan dan jatuh cinta. Srinandi pun diburu Kala.
Di dunia marcapada di kerajaan Medangkamulyan, Srinandi bersembunyi di persawahan dan menyaru menjadi padi. Kala tak bisa menemukan Srinandi. Kala mengubah para raksasa anak buah Bukbangkalan menjadi tikus hama padi.
Tanaman padi di kerajaan Medangkamulyan dirusak. Kisah terus berlanjut hingga akhirnya Raja Srimahapunggung berhasil mengalahkan Batara Kala dan pasukan raksasanya.
Melayang
Adegan panggung Srinandi, diperankan Tuti Hartati, yang melayang-layang turun dari kahyangan, cukup memukau. Ada pengaturan panggung dengan multimedia yang membuat panggung bernuansa langit berarak awan.
Srinandi diiringi panakawan Limbuki (diperankan Angga Yasti Dharmawan) dan Cangiki (diperankan Daisy Lantang) seperti melayang- layang di antara awan. Adegan itu pun berkembang ketika mereka diburu Batara Kala yang juga bisa terbang di angkasa.
Multimedia memberi terobosan artistik panggung Teater Koma. Pimpinan Produksi Teater Koma Ratna Riantiarno mengungkapkan, melalui proses perenungan dan diskusi, akhirnya pementasan mampu memadukan berbagai unsur. Pentas pun menjadi memuaskan.
Substansi esensial narasi pentas yang dibangun Riantiarno adalah pentingnya penguasa menghormati para panakawan sebagai wakil rakyat jelata. Adapun keberagaman tokoh panakawan dalam berbagai kisah klasik juga sangatlah menarik.
Riantiarno menguraikan banyaknya nama panakawan itu, seperti pasangan Sabdapalon dan Nayagenggong. Kemudian Bancak-Doyok, Sebul-Palet, Dayun-Melik, Capa-Capi, dan Blendung-Jangung.
Masyarakat di lereng Gunung Ciremai, Jawa Barat, menamai sembilan panakawan dalam pementasan wayang kulit. Mereka meliputi Semar, Gareng, Bagal Buntung, Ceblok, Cungkring, Dawala, Bagong, Bitarota, dan Curis atau Sekarpandan.
Di Kalimantan bisa dijumpai di pertunjukan wayang kulit ada nama panakawan Semar, Lak Garing atau Parcumarika, Pitruk atau Galiparjuna, dan Begung. Riantiarno menyebut lagi para panakawan yang jarang didengar, seperti lima panakawan meliputi Tajilawar, Syekh Ngiyar, Bladu, Taplas, dan Jumat Wage. Ada lagi tiga panakawan lainnya meliputi Jurudyah, Punta, dan Prasanta.
Panakawan dari kata ”pana” yang berarti cerdik, dan ”kawan” yang berarti kawan atau teman. Panakawan diartikan sebagai pamong atau kawan yang cerdik, yang pandai membaca situasi.
Melalui lagu berjudul ”Panakawan” yang ditulis Riantiarno, lirik tersebut dibuka dengan kalimat: Kita adalah panakawan//abdi kinasih para satriawan//kita adalah pembimbing//pengusir ragu dan bimbang.
Teater Koma adalah panakawan. Jadi, wahai para kesatria bangsa jangan meninggalkan para panakawan. Jangan pula mau ditinggalkan para panakawan ini.