Di tangan desainer Itang Yunasz dan Jenahara Nasution, tenun blongsong dari Palembang serta bordir Aceh tampil menonjolkan rasa tradisionalnya. Namun, tradisional ini bukan lantas menjadi konvensional. Dua desainer, yang identik dengan desain busana longgar ala muslimah ini, menghadirkan keindahan tradisional nan modis.
Karya dari Itang ataupun Jenahara diperlihatkan dalam pergelaran busana di ajang Karya Kreatif Indonesia yang digelar Bank Indonesia di Jakarta Convention Centre, 12-14 Juli lalu. Itang menampilkan warna-warni motif berulang dari tenun blongsong, sedangkan Jenahara menonjolkan ragam warna bordir Aceh dengan paduan kain yang melulu hitam.
Pada awal Agustus ini, karya yang sama dari Itang kembali dipresentasikan di Palembang, Sumatera Selatan. Bersama dengan BI, Itang pun memberi pembekalan tentang pengolahan wastra tradisional menjadi busana siap pakai dalam seminar Tantangan dan Peluang Bisnis Busana Muslim di Sumsel pada Jumat (2/8/2019) di Palembang.
Meski pamornya tak semoncer songket Palembang, kain blongsong ternyata mampu tampil sangat indah di tangan desainer yang tepat. Serat katunnya lebih ringan dibandingkan dengan songket. Warna- warni kain blongsong pun cenderung beragam, bahkan ada yang hadir dengan warna pastel yang sangat pas diolah untuk pasar anak muda.
”Penenun enggak tahu bagaimana mengolah menjadi bagus dan siap pakai. Selama ini blongsong itu hanya dipakai sebagai kain laki. Mereka sudah pintar mengolahnya. Tetapi kadang enggak tahu mau diapain setelah ini. Bisa bikin blongsong 12 meter bahkan 30 meter, siap untuk ready to wear. Harga per meter enggak mahal,” kata Itang.
Karena ukuran tenunannya yang panjang, Itang bisa berkarya dengan leluasa. Tenun blongsong lantas dibuat menjadi koleksi modis yang cenderung sopan, tanpa busana ketat. Apalagi busana kedodoran sedang naik daun saat ini. Potongan pundak sengaja dibuat jatuh dengan kerah lebar dan potongan badan besar.
Dekonstruksi potongan
Koleksi dengan material utama tenun blongsong karya Itang ini berupa jaket, kemeja longgar, hingga rok panjang ataupun celana panjang. ”Kadang juga ada dekonstruksi. Konstruksinya enggak tepat, ada yang turun ada yang lebih ke atas. Dibuat kependekan atau kepanjangan. Supaya bisa dipakai segala macam kesempatan,” kata Itang.
Mengusung karya berupa busana muslimah, Jenahara membuat koleksi gaun terusan, atasan dan bawahan, ataupun celana panjang longgar yang seluruhnya berwarna hitam. Karena menggunakan material kain yang melulu hitam, pandangan penikmat mode otomatis tersedot pada kecantikan warna-warni bordir Aceh.
Warna hitam juga sengaja dipilih karena label Jenahara selalu identik dengan warna hitam. Hitam juga bisa menunjukkan sisi elegan dan empowering dari seorang perempuan. ”Saya belum pernah mengolah kain Aceh sebelumnya sehingga ada tantangan tersendiri. Gimana caranya mengolah kain Aceh ini agar sinergi dengan DNA Jenahara,” katanya.
DNA Jenahara yang dimaksud adalah bagaimana membuat baju modest muslim agar bisa tampil minimalis tetapi tetap terlihat elegan. ”Saat proses desain, saya berusaha supaya kain Aceh ini enggak perlu dipotong. Karena saya menghargai proses para perajin dalam membuat kain Aceh ini,” kata Jenahara.
Ketika mengolah bordir Aceh, Jenahara mengalami kesulitan terutama pada letak bordir yang ada di ujung kain. ”Jadi pada saat desain harus dipikirin gimana mengolahnya. Keunggulannya, kain Aceh ini meskipun background-nya berwarna hitam, bordirnya sendiri colorful sehingga menarik,” ujarnya.
Pemakaian universal
Melihat bahan tenun blongsong yang bisa dipakai apa saja, Itang bahkan menghubungi rekan-rekannya untuk mengolah si blongsong menjadi tas, sepatu hak tinggi, hingga sneaker. ”Ini universal, enggak hanya untuk muslimah. Cuma saya lebih senang bikin modis wear yang bisa dipakai siapa saja,” katanya.
Untuk koleksi kali ini, seluruh bahan tenun sudah disediakan dari para perajin binaan BI di Sumsel. Karena material sudah tersedia, Itang berkarya dengan menggunakan motif-motif tenun tradisional yang ada. Koleksinya kali ini pun lantas meriah dihiasi motif repetitif yang terus berulang di seluruh bagian tenun.
Blongsong diyakini sangat bisa diangkat ke pasar internasional. Namun, kalau semua motif dipakai jadi terlalu kuat. Pasar luar negeri cenderung tidak menyukai begitu banyak motif. ”Jika dia diberi sebagai alternatif atau dibikin sedikit touch of blongsong atau blongsong ini dibikin warnanya akan lebih enggak jelas. Mengikuti tren yang berlaku. Pasti suatu saat bisa jadi sesuatu yang diperhatikan,” kata Itang.
Tenun blongsong punya keunikan karena bahan katunnya lebih ringan sehingga bisa dipakai untuk segala kesempatan. Karena motifnya yang berulang, kain blongsong pun dengan mudah bisa dipotong untuk kebutuhan desain. Desainer berperan besar dalam memberi sentuhan kontemporer pada kain tradisional agar lebih bisa diterima masyarakat internasional.
Seperti kata Jenahara, berpakaian tradisional bukan berarti lantas gayanya konvensional. Keindahan kain tradisional tetap bisa ditonjolkan, tetapi dengan menyesuaikannya dengan keunikan gaya yang modern. Tradisional, tetapi tidak konvensional.