Urup Berkreasi pada Hari Raya Seni
Tunas-tunas muda seni bersemi di Langgeng Art Space, Yogyakarta, Sabtu (27/7/2019). Pelukis-pelukis muda berkerumun di sudut ”Kota Budaya”. Mereka berbagi mimpi yang sama: mengisi ruang-ruang pameran bonafide, bersanding dengan para seniman ternama.
Banyak dari mereka bahkan masih mahasiswa. Di pameran bertajuk Salon itu, Galeri Langgeng Art Space bertaburkan karya-karya mereka yang eksploratif. Generasi milenial menyelami semangat tema yang terinspirasi dari ”Salon de Paris”, pameran seni tahunan di Perancis pada abad ke-17.
Ipan Lasuang (26) bercengkerama dengan Rangga Jalu Pamungkas (27) dan I Wayan Sudarsana (26). Mereka sama- sama bergabung dengan komunitas seniman muda Omnivorart. ”Kami mau pameran lagi. Biar Omnivorart maju. Yuk, semangat, semangat...,” ujar Ipan dengan mata berbinar. Keguyuban yang sangat khas Yogyakarta.
Ipan, Jalu, dan Sudarsana masih mahasiswa Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta, tetapi nyali mereka tak ciut untuk berpameran. Pada 2-10 Agustus 2019, di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), mereka memeragakan karya-karya untuk keempat kalinya.
Bara semangat mereka menggelar lukisan disulut Artjog MMXIX yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 25 Juli- 25 Agustus 2019. Ipan spontan menyambut dengan antusias saat mengobrol soal Artjog. ”Wah, saya pengin banget bisa ikut pameran-pameran besar. Artjog itu cita-cita saya,” ujarnya semringah.
Handiwirman Saputra, seniman idola Ipan yang mengikuti Artjog MMXIX, makin menyalakan hasratnya untuk meramaikan festival seni tahunan itu. ”Eksperimennya mengangkat obyek keseharian menjadi karya besar,” ujar Ipan mengungkapkan kekagumannya.
Handiwirman termasuk 39 seniman yang dilibatkan dalam Artjog MMXIX. Festival di Jogja National Museum itu sudah diselenggarakan 12 kali. Artjog tak sekadar pameran. Festival tersebut juga menjadi selebrasi seniman Yogyakarta yang beramai-ramai memeriahkannya hingga sudut-sudut kota.
Setidaknya, tiga bulan sebelum Artjog dimulai, berbagai keriaan sudah bisa disaksikan. Cakupan keriuhan tak hanya merambah Yogyakarta, tetapi juga Magelang, bahkan Surakarta. Galeri-galeri seni berlomba membuka pameran lukisan, pahatan, instalasi, hingga ilustrasi.
Yogyakarta kian hiruk pikuk dengan pertunjukan teater, tari, dan musik. Warga setempat dan dari kota-kota lain berdatangan. Di beberapa serambi, anak- anak menari dengan riang. Setiap sisi kota seakan bercerita tentang kegembiraannya masing-masing.
”Saat berlangsung, Artjog bisa dibarengi dengan 200 acara yang dikemas dalam Jogja Art Weeks,” kata Direktur Artjog Heri Pemad. Saking ramainya pengunjung lokal hingga mancanegara, masyarakat Yogyakarta terbiasa menyebut Artjog sebagai hari raya seni.
”Banyak penyebab Artjog itu keren. Artjog adalah pembaruan kesenian,” ujar Ipan. Sejak kuliah, ia tak pernah alpa berkunjung ke Artjog. Artjog pula salah satunya yang menginspirasi Ipan untuk mengambil gaya lukisan surealisme.
Artjog ibarat matahari yang menjadi pusat daya tarik sekitar 200 acara seni lain yang mengelilinginya.
Dalam pameran Salon, Ipan mengetengahkan dua lukisan berjudul ”Ambil yang Baik Tinggalkan yang Tidak Baik” dan ”Cerdik Buruk”. Lukisan tersebut menggambarkan remukan kertas dan dibentuk lagi yang merepresentasikan imaji manusia. Karya ini mengusung kebajikan yang tersirat dari mitos.
Pameran Salon diikuti 28 seniman dengan usia termuda 20 tahun. ”Pameran Salon diadakan untuk turut meramaikan Artjog,” ujar Kurator Langgeng Art Foundation Citra Pratiwi.
Lanjut usia
Roh berkarya juga ditunjukkan seniman-seniman lanjut usia. Penyakit menggerogoti tubuh mereka, tetapi tidak gairahnya. Sejak dibuka, Rabu (24/7), tujuh seniman memajang 14 lukisan mereka dalam pameran Oeroep selama seminggu di BBY.
Ipong Purnama Sidhi (64) meluncurkan karyanya yang berjudul ”To The Unknown Clown #2”. Lukisan itu menggambarkan badut yang tengah tertawa lebar. Lewat gambar itu, Ipong hendak menertawakan penyakitnya. ”Saya sudah 11 kali masuk rumah sakit gara-gara terlalu banyak menghirup terpentin. Paru-paru saya jebol,” ujar pensiunan kurator galeri di Jakarta itu. Pada 2009, Ipong menggelar pameran dan harus menyelesaikan 22 lukisan dalam dua bulan.
Setiap hari, Ipong melukis. Pameran akhirnya jadi dilaksanakan, tetapi ia harus duduk di kursi roda. ”Bagi saya, urip (hidup) itu urup, membara dengan semangat sehingga saya bisa melampaui kesulitan,” ujarnya.
Saat pembukaan Oeroep, para seniman yang berpameran naik ke panggung. Tjahjadi Hartono (67) adalah seniman paling uzur. ”Baru 10 hari lalu jantung saya dipasangi ring. Kini, saya punya dua ring. Penyakit saya sudah bintang lima,” ujarnya sambil tersenyum.
Tjahjadi memajang lukisannya yang berjudul ”Hero”. Lukisan itu menampilkan sesosok imaji kabur yang menggambarkan pahlawan tak dikenal. ”Saya pindahkan penyakit ke kanvas supaya hidup lebih panjang,” kata pemilik studio lukis di Jakarta itu.
Oeroep memamerkan lukisan kelompok Urip yang dibentuk pada 2018. ”Pameran Oeroep diselenggarakan untuk memeriahkan Artjog,” kata Ketua Pengelola BBY Martina Wuryani.
Di sela-sela pameran, seniman kondang Djoko Pekik tak kalah semangat untuk hadir dan mengobrol dengan sejumlah seniman. ”Saya sedang membuat lukisan Semar yang mengemudikan kereta, sementara Petruk jalan kaki untuk bertemu masyarakat. Sudah sebulan dikerjakan,” ucapnya kepada beberapa tamu.
Pelukis sepuh itu melangkah tertatih-tatih. Tangan rentanya menggenggam tongkat. Walakin, suaranya masih jernih dan ia bertutur dengan lancar. Djoko memamerkan lukisannya berjudul ”Menggambar Model” yang diperagakan pada pameran Incumbent di Sangkring Art Space.
Nyala berkreasi itu pula yang menjadi nyawa pameran Krama Bingah di Galeri Plataran Djoko Pekik. Kuart Kuat (41) memamerkan lukisannya yang berjudul ”Liburan di Desa”. Ia melukis anak-anak yang sedang bermain dengan hewan di antara pepohonan.
Sehari-hari, Kuat berkarya di Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. ”Kalau saya disebut seniman kampung, ya, memang begitu. Saya melukis di kampung,” ujar Kuat yang menggeluti seni sejak 1999.
Menurut pengelola Plataran Djoko Pekik, Nihil Pakuril, Yogyakarta menjadi semarak seiring berlangsungnya Artjog dengan galeri-galeri dadakan. ”Ada galeri biasa. Ada juga bangunan yang disulap jadi galeri. Kegairahan harus dibangun di setiap ruang seni di Yogyakarta,” ujarnya.
Tua dan muda, pemula atau ternama, menjadi tak berbatas. Mereka merayakan kegembiraan yang sama. Kegembiraan menyongsong hari raya seni di Yogyakarta. Keriuhan yang terbentuk secara kolektif dari pusat hingga sudut-sudut ”Kota Budaya”.