Lincah Merangkul Teknologi
Tahun 1979, band asal Inggris, The Bunggles, merilis debut singel fenomenal. Judulnya, ”Video Killed The Radio Star”, video ’membunuh’ bintang radio, merujuk pada perkembangan teknologi yang makin pesat. Namun, hingga empat puluh tahun berselang, bintang-bintang radio itu tak pernah benar-benar mati dibunuh. Itu justru karena kelincahan mereka merangkul teknologi.
Radio Prambors yang lahir tahun 1971 bisa jadi memang sudah berumur. Nyatanya, radio yang berusia menjelang setengah abad ini tak hanya digandrungi anak muda, seperti target pasar Prambors, tetapi juga anak-anak belia usia sekolah dasar.
Renata (10), anak kelas V sekolah dasar di kawasan Jakarta Selatan, adalah penggemar Prambors. Setiap hari, berangkat, juga pulang sekolah, Prambors menjadi menu wajib di perjalanan. Tak ada hari-hari di mobil tanpa Prambors.
Favoritnya, acara ”Desta & Gina In the Morning” yang dipandu penyiar Nycta Gina dan Deddy Mahendra Desta alias Desta. Acara kategori prime time ini mengudara Senin-Jumat pukul 06.00-10.00.
”Prambors itu lagunya bagus-bagus dan baru-baru. Aku suka,” ujar Renata, Kamis (15/8/2019), di Jakarta. Sembari menikmati perjalanan, Renata biasa menyanyi mengikuti lagu yang diputar. Tak heran, meski baru 10 tahun, pengetahuannya tentang musik masa kini cukup luas. Juga tentang jadwal konser artis-artis luar di Jakarta.
Selain musik, Renata mengikuti informasi lain. Salah satunya saat Jakarta dan sekitarnya gelap gulita karena mati lampu. ”Ternyata, pas mati lampu, banyak orang pergi ke mal di Kemang karena gensetnya yang paling kuat. Jadi, sama sekali enggak terasa mati lampu. Itu aku tahu dari Prambors,” katanya.
Teman-teman sekelas Renata pun menggemari Prambors dan acara Desta & Gina. Malahan, anak-anak generasi Z itu juga jadi follower akun Instagram Prambors. Obrolan mereka kerap tak jauh dari topik yang diangkat Prambors meski kadang tak sesuai usia mereka.
Di balik kesuksesan Prambors merangkul generasi Z dengan acara ”Desta & Gina In the Morning”, ada upaya yang tak kecil. Direktur Utama Masima Radio Network yang menaungi Prambors, Iwoch Imansyah, mengungkapkan, zaman dulu, siaran acara favorit seperti itu diawaki sampai lima orang. Dua penyiar, satu operator siaran, satu produser, dan satu news anchor. ”Awak produksi sebanyak itu sudah kategori mewah,” ujarnya.
Saat ini, lima orang kru tidak cukup. Harus ditambah lagi dua kru. Satu sebagai videografer, satu lagi sebagai produser konten digital. Keduanya bertanggung jawab menangani perpanjangan program siaran ke platform-platform media sosial Prambors.
Menyikapi perubahan
Selain mengudara secara terestrial di gelombang frekuensi modulasi, Prambors juga ekspansif ”bermain” di ranah media baru (new media) mulai Facebook, Instagram, Twitter, hingga Youtube. Mereka juga menggelar siaran streaming di kanal layanan televisi berbayar dan memiliki aplikasi yang bisa diunduh di gawai pintar.
”Tapi tak hanya sekarang. Sejak lama Prambors selalu mencoba leading dalam memanfaatkan perkembangan teknologi. Tahun 1989, Prambors pernah mengimpor teknologi telepon backpack dari Amerika Serikat yang bisa dibawa ke mana-mana,” kata Iwoch. Saat itu, baik internet maupun teknologi telepon genggam masih sangat jarang di Tanah Air.
Dengan telepon backpack, Prambors bisa menyambangi pusat keramaian anak muda lalu menyiarkannya secara langsung. Tujuannya, menjangkau sedekat mungkin target pasar Prambors.
Menurut Iwoch, tantangan masa kini masih sama seperti di masa lalu. Bagaimana menghadapi dan menyikapi perubahan, baik secara lanskap maupun perilaku, terutama dari media baru. Jika mampu membaca kondisi dan tantangan, stasiun radio mana pun pasti akan mampu mengatur dan membuat strategi. Kemajuan teknologi, katanya, tak bisa tidak harus dirangkul.
”Media konvensional seperti radio dan media baru seperti media sosial sebetulnya punya kesamaan, sama-sama bersifat personal. Sekarang kita tinggal cari bagaimana mendapatkan manfaat dari situ,” ujarnya.
Seperti Prambors, Radio Sonora juga memperpanjang jangkauan siarannya melalui platfrom-platform media sosial umum, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube. Sejak empat tahun terakhir, Sonora bahkan sudah menjajal podcast sebagai bentuk kepanjangan program-program mereka.
Podcast, yang asal katanya dari iPod dan broadcast, adalah istilah yang muncul di era kelahiran iPod (alat pemutar musik keluaran Apple). Istilah sebelumnya, audio blogging, atau seperti nge-blog secara audio. Bedanya dengan siaran radio, podcast tidak didengarkan langsung seperti streaming, tetapi bisa dikatakan seperti siaran tunda, hasil rekaman.
Asisten Station Manager Radio Sonora Jumar Sudiyana menuturkan, saat ini era digital tidak bisa dibendung. Mau tidak mau, Sonora harus mengikuti. ”Jadi, tidak hanya siaran konvensional, setelah streaming, sekarang juga melalui podcast,” tuturnya.
Di Sonora, konten podcast berasal dari hasil siaran yang sudah ”bersih” dari iklan. Ada juga konten mandiri yang bukan berupa materi siaran. Pendengar bisa menikmati podcast di situs www.sonora.co.id/podcast. Beberapa di antaranya adalah ”Bahaya Kurang Tidur”, ”Konsultasi Fengshui Bersama Kang Hong Edisi 12 Juli 2019”, ”Menerapkan Strategi Komunikasi Digital untuk Mengembangkan Layanan dan Produk”, dan ”Pentingnya Generasi Muda Menguasai Teknologi”.
”Menyenangkan juga bisa menyimak podcast di saat yang lebih santai, tidak real time,” ungkap Maharini (41), salah seorang pendengar Sonora.
Menurut Jumar, meski belum jadi sumber utama, saat ini podcast sudah bisa menjadi sumber pendapatan tambahan selain iklan dan kegiatan off air. ”Untuk menghadapi era transisi, setidaknya kami sudah punya ini,” kata Jumar.
Produk podcast yang dikembangkan Sonora itu, menurut pengajar Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS, Andre Rahmanto, sudah tepat karena menjadi salah satu cara yang bisa dilakukan radio agar tetap relevan dengan pendengar.
”Selain dengan memahami betul karakter pendengarnya, cara lain adalah dengan memperluas lini bisnis yang masih serumpun, seperti audio content, yaitu dengan memanfatkan tren podcast,” tuturnya.
Menurut Andre, di masa depan, bisnis radio akan lebih banyak menjadi penyedia konten audio untuk beragam platform. Apabila hanya mengandalkan format konvensional, hanya akan mengurangi jumlah pendengar.
”Kita tahu, generasi milenial tipenya digital native, serba digital. Kalau mau menjangkau mereka, radio harus bisa diakses dalam platform yang mereka familiar.”
Interaksi solutif
Memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan media baru dalam ”menyapa” dan mendekati pendengar bukan satu-satunya pilihan bagi radio. Penguatan peran dan fungsi radio, terutama dalam konteks tanggung jawab sosial, juga jadi alternatif.
Radio Suara Surabaya (SS) yang didirikan tahun 1983 dengan konsep News Interaktif yang Solutif piawai menggaet target pasar, antara lain dengan melibatkan pendengar sebagai jurnalis warga.
Senin lalu, misalnya, Pemimpin Redaksi sekaligus Manajer Media Baru Radio Suara Surabaya, Eddy Prastyo, melalui salah satu akun media sosial Radio SS mengabarkan keberhasilan masyarakat dan aparat keamanan menangkap pelaku penggelapan kendaraan bermotor. Pelaku ditangkap setelah muncul laporan dari pemilik kendaraan yang disampaikan kepada Radio SS.
Dari laporan yang disiarkan langsung itu, sejumlah pendengar merespons, telah melihat kendaraan dan terduga pelaku penggelapan. Beberapa dari mereka bahkan berinisiatif mengikuti kendaraan tadi.
Kejar-mengejar antara aparat dengan terduga pelaku itu pun dilaporkan secara langsung oleh seorang pendengar. Hingga akhirnya pihak kepolisian dan aparat TNI menghubungi Radio SS serta pendengar yang sebelumnya melaporkan keberadaan kendaraan di satu lokasi.
Awal Juni 2019, sinergi serupa juga sukses menangkap pelaku pencurian mobil. Fantastisnya, jarak waktu antara laporan pencurian dan pengejaran berujung tertangkapnya pelaku, hanya beberapa jam.
”Orang sepertinya jauh lebih punya trust ke kami. Pokoknya urusan barang hilang, uang hilang, hewan peliharaan hilang, sampai ibaratnya pacar hilang, mereka lebih senang telepon ke SS. Malah kami selalu mengingatkan agar jangan lupa lapor ke polisi supaya ada tindak lanjut dan pemberkasan dari kepolisian,” tutur Eddy. Pola interaktif itu dipercaya membuat Radio SS tetap bertahan.
Dosen Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Pandan Yudhapramesti, menyebutkan, selain memanfaatkan media sosial, peluang lain yang bisa dimanfaatkan radio untuk bertahan adalah mendekatkan peran dan fungsi sosial mereka. Itu dilakukan dengan meningkatkan ikatan sosial juga emosional, sesuai segmen pendengar yang mereka sasar.
”Dengan dua kiat itu, radio-radio berupaya terus meningkatkan kedekatan (engagement) sekaligus membuat mereka semakin terhubung dengan pendengarnya. Tak tertutup kemungkinan kedua cara ditempuh bersamaan, tetapi tetap ada penekanan pada pilihan yang dianggap paling efektif,” kata Pandan.