Melawan Sehormat-hormatnya
Gelora napas hidup Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) terembus kencang lewat novel ”Bumi Manusia” yang kini diadaptasi menjadi film, digarap sutradara Hanung Bramantyo. Film ini menegaskan, ketika berhadapan dengan ketidakadilan dan penindasan, tidak ada pilihan lain kecuali melawan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
”Kita telah kalah,” begitu desah Minke alias Raden Mas Tirto Adhie yang diperankan Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan (19). Minke melepas kepergian Annelies Mellema, yang diperankan Mawar Eva de Jongh, di babak akhir film Bumi Manusia yang mulai tayang di bioskop 15 Agustus 2019.
Nyai Ontosoroh, diperankan Sha Ine Febriyanti (43), segera menyahut, ”Kita telah melawan. Melawan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!”
Nyai Ontosoroh menyergah Minke yang berpasrah kalah. Ia mengukuhkan tidak sepenuhnya mereka kalah. ”Dengan melawan, kita tidak sepenuhnya kalah,” kata Nyai Ontosoroh di babak sebelumnya. Itulah penggalan percakapan di dalam film Bumi Manusia.
Bagi sutradara Hanung Bramantyo, membuat film Bumi Manusia bukan sekadar menjalani pekerjaan. Karya itu sekaligus pengabdian kepada kemanusiaan, keadilan, dan cinta. ”Bukan cinta laki-laki dan perempuan karena fisik, tetapi keabadian. Alasan untuk melakukan perlawanan,” ucap Hanung.
Hanung mengemban tugas berat membuka cakrawala penonton, terutama kalangan muda untuk menarasikan cinta Minke yang tak badaniah semata.
”Tak sesederhana karena pasangan kita cantik atau pintar. Lebih dari itu, dalam novelnya Pram, alasan mencintai lebih besar,” kata Hanung.
Cinta juga berarti siap menanggung tragedi. Tak hanya saling berkasih-kasihan, cinta pun mengandung perpisahan. Kehilangan. Rindu yang tak tahu kapan terbalaskan. Paling penting, belum tentu kita bisa memiliki seutuhnya apa yang dicintai. Hanung mengisahkan itu di sela peluncuran ”trailer” resmi film Bumi Manusia dan Film Perburuan di Jakarta, Kamis (4/7/2019).
Penentuan adegan film adalah kerumitan lain. Setiap adegan adalah petunjuk (clue). ”Takut kalau ada adegan yang membuat spoiler (cerita yang mudah ditebak),” ujar dia.
Bumi Manusia bagi Hanung adalah novel yang sangat utuh. Semua peristiwanya saling terkait satu sama lain. Hanung menganggap wajar atas berbagai kreasi untuk mengadaptasi novel ke dalam filmnya itu. Latar Kota Surabaya, misalnya, semarak dalam warna-warni. Sementara, pakaian Annelies Mellema kuning. Nyai Ontosoroh mengenakan jarik pesisir dengan motif beragam warna.
Beberapa aktor dia datangkan dari Belanda. Pemeran Magda Peters (guru Minke) dan kepala sekolah juga dari Belanda.
Soal penggunaan bahasa Belanda atau Indonesia juga alot diperdebatkan. ”Produser mau semua berbahasa Indonesia. Tapi, waktu casting (seleksi pemeran), orang-orang Belanda itu susah sekali berbahasa Indonesia,” kata Hanung.
Hanung akhirnya membebaskan mereka untuk berdialog campuran bahasa Indonesia dan Belanda sesuai naluri agar perannya lebih alami.
”Yang enak saja. Bahasa Indonesia atau Belanda. Mau campuran boleh. Kalau bahasa Belanda, bisa pakai terjemahan,” ujar Hanung.
Cucu tokoh Pramoedya, Angga Okta Rahman, mengapresiasi karya novel Bumi Manusia yang diadaptasi menjadi film tersebut. Ia mengutarakan, setelah 13 tahun wafat, impian Pramoedya terwujud.
Astuti Ananta Toer, anak keempat Pramoedya, menyambut gembira dituangkannya novel Bumi Manusia menjadi film. Respons masyarakat terhadap film itu dinilai baik. ”Bumi Manusia menggambarkan kehidupan Indonesia pada zamannya,” kata Astuti.
Riset sejarah
Film BumiManusia mengisyaratkan kebutuhan riset sejarah. Ini berkaitan latar adegan, seperti terkait properti atau rumah dan kereta milik Nyai Ontosoroh yang sesuai zaman pun harus dibuat.
Hanung kemudian menceritakan, membaca karya Pramoedya saat duduk di sekolah menengah atas. Ia lantas menjadi Pramis, penggemar Pramoedya.
”Novel Bumi Manusia itu salah satu masterpiece (karya utama) Pram. Waktu saya membaca, itu masih fotokopian, stensilan,” ucap Hanung.
Untuk memerankan tokoh sentral seperti Nyai Ontosoroh, Hanung mengisyaratkan, supaya benar-benar mendalami karakter dengan menyelami rasa sakit Nyai Ontosoroh. Sha Ine Febriyanti ia minta menelusuri sejarah rasa sakitnya. Ia harus melupakan Bumi Manusia sebagai novel legendaris.
Dari novel legendaris itu, Hanung sempat mengajukan satu pertanyaan yang dianggapnya paling mendasar mengenai jarak rumah Ah Tjong dengan kediaman Nyai Ontosoroh.
Kenapa jarak rumah Nyai Ontosoroh dengan rumah Ah Tjong 100 meter? Padahal itu rumah candu dan bordil yang biasa di tengah kota.
Rumah Nyai Ontosoroh sendiri tidak ada di pusat kota. Hanung lantas menganalogikan pusat Kota Surabaya dan Wonokromo, tempat tinggal Nyai Ontosoroh, pada masa silam dibandingkan saat ini.
Ibarat Jakarta, Wonokromo adalah Depok. Penggambaran kedekatan rumah Nyai Ontosoroh dan rumah bordil milik Ah Tjong mengandung metafora. Di Wonokromo, hidup seorang gundik yang bernama Nyai Ontosoroh. Tidak jauh darinya ada pula rumah bordil yang isinya bisa pejabat hakim, polisi, dan pejabat Pemerintah Hindia Belanda waktu itu. Itu termasuk orang kaya Herman Mellema dan anaknya, Robert Mellema, yang menjadi pelanggan rumah candu dan bordil Ah Tjong.
Pemeran Annelies, Mawar Eva de Jongh, tersipu tatkala mengungkapkan adegan tersulit dalam film tersebut. Tak urung, ia menjawab, adegan berciuman dengan Iqbaal yang paling sulit.
Selain Minke dan Ontosoroh, Annelies juga dihadirkan Pramoedya sebagai tokoh sentral dalam perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Pramoedya menggambarkan derita sosok Annelies yang mahaberat.
Dalam anggun dan keceriaannya, Annelies menyimpan trauma. Ia tumbuh menanggung aib dan merapuh.
Minke singgah menawan di hatinya di hari pertemuan pertama mereka. Bahkan, Pramoedya mengemas peristiwa yang di luar kelaziman pada pertemuan pertama sepasang anak muda itu. Minke berani mencium Annelies.
Inilah cinta. Inilah kebinasaan. Sepanjang tiga jam film Bumi Manusia, kisah Minke dan Annelies jadi drama menegangkan. Mereka melawan dunia yang tidak adil dengan sebaik-baiknya, dengan sehormat-hormatnya. Mereka kalah, tetapi tidak sepenuhnya kalah.