Menghadirkan Makna Tersembunyi
Ketika memasuki ruang pameran itu, sebuah lukisan dengan goresan khas teknik ”plotot” maestro Affandi (1907-1990) dipajang paling muka dan menyergap pengunjung yang mungkin sudah tak asing lagi. Lukisan itu berjudul, ”Togog Penghalau Burung”. Dari sini mungkin terasa asing, ketika Affandi tak biasa menggunakan frasa fiksional untuk judul lukisannya.
Affandi dikenal dalam perjalanan kreatifnya mengalihkan corak lukisan realisme ke ekspresionisme berteknik plotot atau menorehkan cat langsung dari tube yang diplotot ke kanvas. Karena awal corak realisme, Affandi paling kerap membubuhkan judul karya secara realisme pula.
Di sisi ruang pamer lainnya, kebetulan karya Affandi dipajang dengan judul ”Pemandangan di Pegunungan”. Lukisan itu dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 98 x 130 sentimeter, tahun 1969.
Pilihan kata untuk judul ”Pemandangan di Pegunungan” satu contoh pemilihan frase realisme bagi Affandi. Pilihan judul ”Togog Penghalau Burung” menjadi judul yang fiksional.
Togog sebagai tokoh fiksi pewayangan Jawa ini hadir di antara 50 karya seni rupa maestro di Tanah Air sebagai kumpulan karya pada periode tahun 1950-1980 yang dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, 1 - 31 Agustus 2019. Karya-karya itu sebagai koleksi negara yang dihimpun dari koleksi Galeri Nasional Indonesia, Kementerian Luar Negeri, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Bank Indonesia.
Koleksi tersebut dipamerkan dalam rangka mengisi bulan kemerdekaan untuk tahun penyelenggaraan kedua kalinya. ”Poin penting pameran koleksi negara ini memberikan akses kepada publik untuk mendapatkan pengetahuan,” kata Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto.
Karya ”Togog Penghalau Burung” menghadirkan makna tersembunyi, pengetahuan yang tersembunyi. Di pameran ini tentu tidak hanya karya itu yang menawarkan pengetahuan penting lainnya.
Para kurator pameran meliputi Suwarno Wisetrotomo, Rizki A Zaelani, Teguh Margono, dan Bayu Genia Krishbie. Mereka memberi tajuk pameran sebagai Lini Transisi. Lini atau garis yang menunjukkan adanya sebuah transisi atau peralihan di dunia seni rupa kita untuk periode tahun 1950 sampai 1980-an.
Peralihan yang terjadi di kancah sosio-politik pada periode tersebut tampak lebih jelas. Ini ditandai era Orde Lama beralih ke Orde Baru yang bertitik tolak dari peristiwa 1965. Situasi ini memberi pengaruh terhadap perkembangan seni rupa di Tanah Air.
Sebanyak 50 karya lukisan dan beberapa di antaranya patung garapan 40 seniman terkemuka di Tanah Air ini didorong untuk menjelaskan lini perubahan dimaksud. Karya-karya lain seperti karya abstrak yang menjamur juga menghadirkan makna tersembunyi masing-masing.
”Setidaknya, karya abstrak itu pilihan yang aman di masa penuh tekanan pemerintahan Orde Baru,” kata Suwarno. Karya abstrak periode 1950-1980an tumbuh subur. Di antaranya ditampilkan karya abstrak Amri Yahya, Fadjar Sidik, Nashar, Oesman Effendi, dan Srihadi Soedarsono.
Makna di balik lukisan
Lukisan ”Togog Penghalau Burung” memperlihatkan figur Togog dan Bilung di persawahan. Keduanya digambarkan Affandi sedang menghalau burung-burung pipit pemakan bulir padi yang siap panen.
Togog dan Bilung dikenal sebagai punakawan pengiring pihak Kurawa, pihak antagonis yang berusaha melawan kebenaran. Togog senyatanya dikisahkan sebagai saudara Semar. Mereka tak ubahnya sebagai dewa yang dititahkan menjadi pamong.
Ketika Affandi melukiskan Togog di persawahan, bukan berada di antara para tokoh yang semestinya didampingi, inilah pertanyaan besar. ”Lukisan itu dengan tahun penciptaan 1975 di masa pemerintah Orde Baru makin mencengkeramkan mantra-mantra kekuasaannya,” ujar Suwarno.
Suwarno memberi penjelasan, Togog bukan berarti dewa yang jahat. Ia dewa yang baik, dewa yang kebetulan ditugasi untuk memberi petunjuk baik kepada orang-orang jahat yang melawan kebenaran.
Ketika Togog dilukiskan Affandi berada di persawahan, ini simbol keberadaannya sudah tidak diterima lagi oleh orang-orang jahat yang semestinya didampingi. Togog lalu memilih menyingkir ke persawahan. Menurut Suwarno, ini makna yang dapat diambil di balik lukisan Affandi.
Betapa kuatnya tekanan di masa pemerintahan Orde Baru waktu itu. Tetapi, ini justru melahirkan kekuatan di dalam karya para seniman kita. Suwarno menunjuk contoh lain. Karya maestro pelukis S Sudjojono (1913-1985) diambil. Judulnya ”Ada Orkes” dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 80,5 x 120 sentimeter, tahun 1970.
Di sisi kiri digambarkan sebagai panggung para penampil orkes. Di depan panggung itu duduk lesehan para penonton tua muda, laki-laki atau perempuan. Di bagian belakang berderet penonton berdiri dengan perlente. Ada yang mengenakan dasi kedodoran.
Suwarno menyorot tentang makna di balik lukisan Sudjojono. Pertama, Sudjojono menunjukkan kesenian telah berubah menjadi hiburan semata. Di masa sebelumnya, masa Presiden Soekarno, kesenian ditempatkan sebagai bagian dari eksistensi bangsa ini.
Kedua, adanya lapisan kelas sosial. Sudjojono memperlihatkan perbedaan lapisan kelas sosial di antara penonton orkes tersebut. Di situ ketimpangan sosial dipertontonkan.
Ketajaman Sudjojono menghadirkan makna mendalam di balik lukisan, juga disinggung Suwarno dalam karya yang diberi judul, ”Penyerangan Pasukan Mataram ke Batavia Tahun 1628-1629”. Di pameran itu dihadirkan karya reproduksinya yang berukuran 150 x 500 sentimeter.
Karya asli tersebut berukuran 300 x 1.000 sentimeter dan dipajang permanen di Museum Sejarah Jakarta dengan media cat minyak di atas kanvas. Angka tahun pembuatannya antara 1973-1974.
Sudjojono melukiskan, pasukan Mataram di bawah Raja Sultan Agung datang dan menyerang pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia. Dengan tajam ia memperlihatkan peperangan yang terjadi itu antara pasukan Mataram melawan pasukan Hindia Belanda yang ternyata juga berasal dari wilayah Nusantara lainnya, seperti Bugis dan sebagainya.
”Sudjojono ingin menunjukkan, pemerintah kolonial Hindia Belanda menggunakan tentara-tentara yang juga datang dari wilayah Nusantara untuk melawan pasukan Mataram,” kata Suwarno.
Lewat karya itu Sudjojono menghadirkan konteks meluluhnya konsep pribumi dan nonpribumi di Batavia. Pemerintah Hindia Belanda yang dicap sebagai nonpribumi pada kenyataannya dipenuhi pula dengan pasukan pribumi dari wilayah Nusantara.
Patung Dirgantara
Sebuah miniatur patung Dirgantara atau lebih dikenal sebagai Tugu Pancoran dipajang di ruang pojok di gedung A Galeri Nasional Indonesia. Ia menyendiri di situ, tidak ada karya lainnya.
”Dipajang menyendiri di ruang itu dengan maksud, sejak awal penempatan patung ini sudah ditentukan di tempatnya. Tetapi, saat ini keberadaannya makin terdesak kepentingan infrastruktur jalan,” kata Suwarno.
Ini dimaksudkan, ketika Presiden Soekarno menggagas patung Dirgantara yang kemudian digarap Edhi Sunarso (1932-2016), itu sebetulnya ditempatkan di lokasi strategis dan tidak terganggu. Di tengah perempatan Pancoran, Jakarta Selatan, patung itu berdiri tinggi menjulang.
Jalanan semula dirancang melingkarinya. Tetapi, jalan lingkar itu sudah tidak ada lagi. Jalan layang dibangun menerabasnya dan mendesak keberadaan patung tersebut. Dari sini kita belajar tentang menghormati karya seni. Suwarno berujar, ”Coba, lihat semua patung monumental yang digagas Presiden Soekarno itu selalu ditempatkan strategis.”
Pameran Lini Transisi berhasil menyajikan garis perubahan peradaban kita melalui dunia seni rupa. Semua bergantung kemampuan kita menangkap makna-maknanya yang tersembunyi.