Rumah Bermain
Dunia anak, dunia bermain. Seni rupa menjadi salah satu rumah bermain mereka. Di situ akan tampak jelas anak yang bermain serius, main-main, atau tanpa disadari mereka menjadi mainan impian para orangtua.
Devan Fagan Artganta (7) menyelinap di antara orang dewasa yang mengunjungi pameran karyanya bersama puluhan anak lainnya. Devan adalah salah satu anak yang bermain serius di rumah bermain seni rupa.
”Saya membuat robot-robot dari kayu yang tidak bisa bergerak. Ini robot pada zaman dulu memang memakai kayu, karena dulunya robot tidak bisa bergerak,” ujar Devan lancar, di Galeri Nasional Indonesia Jakarta.
Ia menjelaskan karya seni instalasinya yang diberi judul ”Fun Nature Bots” (2018). Karya Devan itu menjadi satu dari 72 karya yang dipamerkan.
Para kurator, meliputi Asikin Hasan, Citra Smara Dewi, Teguh Margono, dan Bayu Genia Krishbie, memilih 72 karya dari 376 karya yang didaftarkan melalui open call atau pendaftaran terbuka. Para pesertanya anak usia SD sampai SMP dari berbagai wilayah di Indonesia. Festival Seni Rupa Anak Indonesia yang diselenggarakan dalam rangka Hari Anak Nasional sekaligus sebagai perayaan ke-74 kemerdekaan RI ini berlangsung 23 Juli-23 Agustus 2019.
Devan adalah murid jalur studi home-schooling atau pendidikan berbasis rumah. ”Sebelumnya, Devan bersekolah di sebuah SD di Jakarta Selatan seperti pada umumnya. Hampir setiap hari gurunya mengeluhkan kalau Devan suka membawa ranting-ranting kayu atau barang apa saja ke dalam kelas,” ujar ibu Devan, Nova Soviningrat Clefiena.
Ketika ditanya untuk apa barang-barang itu, Devan kerap menjawab, ingin membuat robot atau pesawat terbang. Lantaran peristiwa seperti itu berulang-ulang, kedua orangtuanya memindahkan Devan ke jalur studi homeschooling.
Dengan kayu-kayu atau benda lainnya, Devan selalu berimajinasi membuat robot atau pesawat terbang. Nova yang belajar soal desain memahami naluri seni Devan. Ia sering terlibat diskusi dengan Devan untuk mewujudkan imajinasinya membuat robot-robot dan pesawat terbang.
Devan menjadi anak yang tampaknya bukan lagi main-main dalam berkesenian. Ia bukan pula menjadi ”mainan” atas impian orangtuanya.
Kisah seperti itu juga muncul dari karya lukisan abstrak yang diberi judul, ”Bulutangkis”. Lukisan itu adalah karya Faran Rasyid Hazfanur (15) yang hidup dengan karunia cerebral palsy atau gangguan motorik.
Di Gedung D Galeri Nasional itu, Faran duduk di atas kursi roda dengan kepala selalu tertunduk dan terkulai lemah. Namun, mulutnya selalu tersungging senyuman. Kedua lengan Faran terlihat kaku, terbayang betapa sulitnya ketika ia harus melukis. Kedua orangtua Faran, Chandra Hazfanur dan Anitra Kamarullah, menunjukkan layar ponsel berisi rekaman video Faran sedang melukis lukisan ”Bulutangkis” tadi.
Cat-cat terlebih dahulu ditumpahkan di atas kanvas. Menurut ibunya, Anitra, Faran memilih sendiri warna-warna cat yang harus ditumpahkan.
Faran tidak bisa berbicara. Akan tetapi, sistem saraf pendengaran dan otaknya sempurna. Ketika ingin berkomunikasi, ia mengetikkan huruf di papan kibor qwerty, papan kibor dengan susunan huruf seperti pada kibor komputer.
Lengan kiri Faran tampak dominan ketika melukis meski jari-jemarinya kaku menekuk ke dalam. Otot lengannya juga mengecil. Biasanya, ia butuh bantuan untuk menyangga lengannya ketika melukis.
Di rekaman ponsel itu tampak Faran melukis saat memiliki stamina kuat. Biasanya guru melukisnya, Gideon Sutrisno dari Hadiprana Art Class di Jakarta, membantu menyangga lengan Faran ketika melukis. Saat itu, lengan Faran tanpa disangga, bergerak menggores-goreskan jari-jemarinya yang menekuk dan kaku menyentuh cat yang ditumpahkan di kanvas. Goresannya menghias kanvas.
Ketika Kompas mewawancarai orangtuanya, Faran menyimak dari kursi rodanya. Kemudian, Kompas bertanya pada Faran, berkisah tentang apa lukisan Faran yang sedang dipamerkan itu. Ibunya lalu menyodorkan kibor qwerty kepada Faran. Dengan bantuan seorang asisten, Faran mengarahkan jemari tangan kirinya perlahan menekan huruf-huruf. Ia mengetikkan kalimat, ”Kan, ada di dinding.”
Ternyata Faran ingin menyebutkan lukisan itu tentang bulu tangkis, sesuai judul yang dituliskan di dinding di dekat lukisan itu. Faran dengan keterbatasan gerak motoriknya ternyata cukup produktif melukis dengan corak abstrak.
Karya berjudul ”Bulutangkis”, menurut Anitra, terinspirasi pemain bulu tangkis Jonatan Christie yang menang pada Asian Games beberapa waktu lalu. Seni rupa jadi rumah bermain bagi Faran. Ia pun serius bermain di situ.
Terbebas estetika
Kurator Asikin Hasan mengatakan, dunia seni rupa bagi anak-anak umumnya lebih kuat cerita atau narasinya. Ekspresinya terbebas dari estetika atau kaidah keindahan atas suatu karya seni. ”Karya-karya seni rupa anak-anak yang estetis biasanya terpengaruh ketika belajar melukis di sanggar atau di sekolah,” kata Asikin.
Dari sejumlah karya yang dipamerkan di festival ini, Asikin memperkirakan separuhnya sebagai karya anak yang kuat dengan narasi. Separuhnya lagi kuat dengan nilai estetika.
Kuatnya narasi anak bisa disimak dari karya Kibar Desain Salman (14), yang menampilkan ”Games Kamichu”, singkatan dari kata kako, mirai, dan uchuu, dalam bahasa Jepang. Ketiga kata itu bermakna masa lalu, masa depan, dan luar angkasa.
Narasi karyanya tentang Barki, seorang petualang waktu yang berkunjung ke masa lalu, masa depan, dan ke luar angkasa. Kibar mengisahkan inspirasinya dari film Jepang, Kamen Rider Zi-J. Atas bimbingan gurunya, Kibar mengemasnya jadi gim yang dimainkan dengan laptop.
”Salah satu cara bermainnya dengan menghindari kaktus,” ujar Kibar.
Devan, Faran, dan Kibar adalah tiga dari 72 peserta festival ini yang mampu menghadirkan dunia bermain mereka yang disinggahi dengan takzim.
Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto mengatakan, melalui festival ini Galeri Nasional menjadi rumah bermain bagi anak-anak. Selama sebulan digelar berbagai kegiatan seni rupa yang bertujuan meningkatkan daya imajinasi dan daya cipta kreatif.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman yang membuka pameran mengatakan, UNESCO selalu mengingatkan, kebudayaan adalah pengemudi pembangunan peradaban manusia, bukan ekonomi atau politik.
Kebudayaan menyajikan rumah bermain, salah satunya seni rupa. Festival ini jadi jendela untuk mengintip dunia bermain bagi anak-anak.
Tentu saja di antara mereka masih saja ada yang bermain untuk sekadar main-main. Bahkan, mungkin masih ada anak dengan imajinasi yang dirubuhkan oleh hasrat orangtua yang ingin membentuk anak sesuai keinginan baik mereka. (NAWA TUNGGAL)