Spiritualitas Prai Ijing
Rumah-rumah dengan atap yang menjulang tinggi menyambut kami saat tiba di Kampung Adat Prai Ijing, Rabu (24/4/2019). Cuaca siang hari itu sangat panas karena matahari bersinar terik. Namun, pemandangan rumah-rumah adat dengan atap tinggi dari alang-alang itu jadi penawar cuaca yang kurang bersahabat.
Setibanya di Prai Ijing, kami langsung menuju ke sebuah tempat yang agak tinggi agar bisa melihat leluasa kondisi kampung di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, itu. Dari ketinggian, tampak deretan rumah di Prai Ijing yang tertata rapi. Di kampung itu, bentuk asli rumah adat Sumba masih dipertahankan.
Prai Ijing merupakan satu dari banyak kampung adat yang tersebar di sejumlah wilayah Pulau Sumba. Di kampung-kampung adat tersebut, masyarakat masih memelihara tradisi yang diwariskan turun-temurun dari nenek moyang mereka. Salah satu yang paling kentara adalah masih dipertahankannya bentuk asli rumah adat Sumba di kampung-kampung itu.
Itulah kenapa, saat memasuki Prai Ijing, kita seperti bertemu dengan suasana masa lalu. Salah seorang warga Prai Ijing, Yunita Laka Mogo Yawe (23), menuturkan, di kampung itu ada 38 rumah adat, tersebar di empat kawasan, dari paling atas hingga paling bawah.
Di antara rumah adat itu, kita bisa menemukan sejumlah batu kubur tua yang merupakan makam para pendiri Kampung Adat Prai Ijing. Hari itu, kami melihat anak-anak bermain di antara batu kubur, sementara seorang ibu tengah menyelesaikan kain tenun buatannya. Tak jauh dari sana, seorang ibu lain menumbuk padi dengan peralatan tradisional.
Bagi para wisatawan yang datang ke Sumba, berkunjung ke kampung adat merupakan salah satu hal yang wajib dilakukan. Namun, yang perlu diingat, kampung-kampung adat itu seharusnya tidak diperlakukan sekadar sebagai ”tempat foto-foto”.
Secara visual, kampung-kampung adat di Sumba—beserta seluruh aktivitas masyarakatnya—memang menarik. Namun, memperlakukan kampung adat sebagai sekadar obyek visual kurang pas. Sebab, kampung-kampung adat itu menyimpan kekayaan budaya dan spiritual yang juga perlu kita pahami saat berkunjung ke sana.
Simbol
Di kampung adat Sumba terdapat banyak simbol berkait dengan kepercayaan Marapu yang dianut banyak warga pulau tersebut. Salah satu yang paling mencolok adalah atap rumah-rumah adat Sumba yang menjulang tinggi seperti menara.
Pendiri Rumah Budaya Sumba, Pastor Robert Ramone, menjelaskan, atap rumah adat Sumba yang tinggi itu memiliki makna spiritual. ”Menara itu simbol keterarahan kepada Sang Pencipta. Kalau ada yang bilang menara itu lambang status sosial, itu seratus persen salah,” katanya.
Robert menambahkan, di atas atap berbentuk menara itu, orang Sumba biasanya meletakkan dua patung manusia, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Keberadaan dua patung itu menjadi simbol harmoni atau keserasian hidup.
Selain atap berbentuk menara, struktur rumah adat Sumba juga memiliki ciri khas, yakni terdiri dari tiga tingkat dengan empat pilar atau tiang yang menopang. Tingkat pertama atau bagian paling bawah merupakan ruang untuk memelihara hewan ternak, misalnya kuda, babi, dan kambing.
Tingkat kedua atau bagian tengah merupakan ruangan untuk manusia, baik untuk tidur, makan, maupun memasak. Sementara itu, tingkat ketiga adalah loteng di dalam atap menara yang digunakan untuk menyimpan hasil panen serta barang-barang berharga dan keramat.
Robert menjelaskan, rumah adat Sumba bukanlah rumah pribadi yang dimiliki oleh satu keluarga saja. Berdasarkan tradisi Sumba, rumah adat merupakan milik bersama sejumlah keluarga yang berasal dari satu suku yang sama. Oleh karena itu, rumah adat di Sumba juga dibangun secara bersama-sama oleh keluarga yang memilikinya.
”Rumah adat itu milik suku, bukan milik orang per orang. Satu rumah adat bisa dimiliki dua puluh sampai tiga puluh KK (kepala keluarga),” kata Robert yang terlibat dalam pembangunan kembali rumah adat di sejumlah kampung adat Sumba.
Meski begitu, biasanya satu rumah adat hanya ditinggali oleh satu keluarga yang diberi tanggung jawab untuk menjaga dan merawat rumah tersebut. Sementara itu, keluarga lain biasanya tinggal di rumah-rumah kebun yang berlokasi dekat dengan lahan pertanian mereka.
Robert memaparkan, secara kultural, rumah adat Sumba memiliki sejumlah fungsi. Salah satunya sebagai simbol jati diri masyarakat Sumba. Itulah kenapa, hingga sekarang, orang-orang Sumba selalu memiliki satu rumah adat yang menaungi mereka.
Rumah adat juga menjadi tempat berkumpul anggota suku untuk membicarakan hal-hal yang berkait dengan budaya, seperti acara adat, upacara kematian, dan ritual untuk pernikahan. ”Rumah adat juga jadi tempat untuk merukunkan anggota-anggota keluarga yang terpisah di tempat tinggal berbeda,” kata Robert.
Rumah adat Sumba juga menjadi tempat pewarisan tradisi, adat-istiadat, dan nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Sebab, dalam acara budaya yang digelar di rumah adat, anak-anak dan remaja juga turut hadir. Dengan begitu, secara tidak langsung mereka ikut mempelajari adat-istiadat dan tradisi budaya Sumba.
Ratenggaro
Selain Prai Ijing, ada banyak kampung adat lain di Sumba yang bisa dikunjungi. Salah satu yang memiliki keunikan adalah Kampung Adat Ratenggaro di Kabupaten Sumba Barat Daya. Seperti di Prai Ijing dan banyak kampung adat lain, kita juga bisa melihat deretan rumah adat Sumba dan batu kubur di Ratenggaro.
Namun, berbeda dengan kebanyakan kampung adat lain, Ratenggaro berada dekat dengan pantai sehingga wisatawan bisa menikmati wisata alam dan budaya sekaligus di tempat ini. Selain itu, di pinggir Pantai Ratenggaro, wisatawan juga bisa melihat kubur-kubur batu berusia ribuan tahun.
Salah seorang warga Kampung Adat Ratenggaro, Markus Muda Kondo (35), menuturkan, kampung adat itu memang kerap dikunjungi wisatawan, termasuk dari mancanegara. Bahkan, ada pula wisatawan yang memilih menginap di kampung itu. ”Pernah ada wisatawan dari Australia yang menginap di sini juga,” kata Markus.