Kemanusiaan Beraksen Muram
Malam puncak Locarno Film Festival menjadi milik aktris Vitalina Varela. Ia tak berjarak dengan film terbaik festival di Locarno, Swiss, itu. Pedro Costa, sutradara Portugal, meraih penghargaan tertinggi Locarno Film Festival melalui filmnya yang berjudul sama dengan nama sang aktris, ”Vitalina Varela”.
Bintang Vitalina kian terang dengan menyabet piala Leopard sebagai aktris terbaik. Bersama Pedro yang menggondol Golden Leopard, mereka mengangkat pialanya di Alun-alun Locarno atau Piazza Grande, Sabtu (17/8/2019). Vitalina menitikkan air mata.
Vitalina Varela adalah film getir tentang istri yang menyusul suaminya dari Cape Verde, negara lepas pantai di sebelah barat Afrika. Setelah lebih dari 25 tahun menanti, Vitalina tiba di Lisabon, Portugal.
Ia hadir hanya untuk mendapati sudah terlambat tiga hari seusai pemakaman pasangannya. Karya Pedro yang bergaya asketik itu didominasi warna hitam, suram, dan teknik underexposure atau kurang cahaya. Manusia-manusia terdiam dengan tatapan nanar. Kerap, adegan-adegan berlalu tanpa dialog.
Bayangan-bayangan masa lalu menghantui Vitalina yang harus menyelesaikan urusan suaminya. Kepingan-kepingan memori di Cape Verde berhamburan dengan mimpi di Lisabon yang tak kan jadi nyata. Pedro yang bergaya asketik itu meramu karya berdurasi 124 menit dengan kepedihan dan realita.
Hasilnya, Vitalina tak terlihat berbeda di dalam dan luar film. Ia berucap lirih, sesekali parau, dan terbata-bata. Setelah menuruni panggung, Vitalina tertatih-tatih dipapah kerabatnya. Beberapa pengunjung yang bersimpati memanggil dari balik pagar dan ia menyempatkan diri berbincang dengan mereka.
”Saya pergi dari Cape Verde dengan penuh kesedihan mengingat kematian suami tahun 2013. Tak punya pekerjaan dan dokumen,” ujarnya.
Ia bertutur sambil terisak hingga air mata membasahi lehernya. Di Eropa, Vitalina yang sakit-sakitan banyak dibantu Pedro dengan menawarinya untuk bekerja sama.
Dewan juri yang diketuai sineas sekaligus novelis Perancis, Catherine Breillat, bersama kolega-koleganya, yakni Valeska Grisebach, Ilse Hughan, Emiliano Morreale, dan Nahuel Perez Biscayart, sepakat mengganjar Pedro dengan penghargaan utama.
Mereka menilai Vitalina Varela sepatutnya menerima apresiasi lebih dari sekadar penghargaan dan ditempatkan sebagai warisan kultural dalam dunia film. Pedro berhasil mengangkat potret migran sebagai persoalan pelik yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia.
”Kami menghasilkan karya. Bukan seni yang indah. Kru kami sedikit. Jadi, sebenarnya bukan kerja yang profesional,” ucap Pedro.
Kadang, Pedro tak syuting sama sekali dalam sehari. Suatu saat, pemain film sakit kepala dan Pedro membiarkan waktu berlalu.
Jebolan Lisbon Theatre and Film School itu dengan amat sabar menunggu matahari atau hujan demi mendapatkan adegan yang paling pas. ”Kalau perlu, latihan diadakan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Prosesnya lebih mirip teater daripada film,” katanya.
Sementara, film lain, Pa-Go atau Height of The Wave, dari Korea Selatan yang mendapatkan penghargaan Special Jury Prize berkisah tentang persekusi. Young Yea-eun punya trauma terhadap laut yang merenggut nyawa orangtuanya. Perempuan itu ditinggal di pulau tetapi malah dicaci maki penduduk setempat.
Sineas-sineas Indonesia juga meramaikan panggung pada malam puncak Locarno Film Festival. Sutradara Yosep Anggi Noen dan produser Yulia Evina Bhara sukses menembus kompetisi utama festival itu dengan The Science of Fictions.
Seperti hampir semua film yang dikompetisikan, The Science of Fictions bernapaskan kegetiran. Siman, pemuda di pelosok Yogyakarta, melihat pengambilan gambar pendaratan di Bulan yang dilakukan kru asing di Pantai Parangtritis pada tahun 1960-an. Siman ditangkap dan dipotong lidahnya.
Kerja keras Anggi yang mengembangkan filmnya sejak tahun 2012 tak sia-sia. The Science of Fictions meraih penghargaan Special Mention atau memiliki pencapaian khusus. Film itu menjadi karya dari Indonesia pertama yang menembus kompetisi utama Locarno Film Festival dan meraih penghargaan.
Berdasarkan nota dewan juri, The Science of Fictions melampaui realitas yang membawa penonton terhanyut dengan alurnya. ”Kami sangat senang karena selain The Science of Fictions kian dikenal, dewan juri bisa memahaminya sebagai karya yang punya makna,” ujar Anggi.
Film-film berbingkai humanisme dengan aksen muram menghiasi Locarno Film Festival kali ini. Plot-plot yang disajikan umumnya kompleks yang perlu ditonton sebagian penonton lebih dari sekali untuk memahami film secara utuh. Wajah festival berganti dibandingkan sebelumnya.
A Land Imagined, film yang mendapatkan penghargaan tertinggi Locarno Film Festival tahun 2018, misalnya, lebih banyak menghadirkan warna-warni cerah. Meski tetap mengandung kegundahan tentang pekerja konstruksi yang hilang kadarnya jauh lebih ringan dengan alurnya yang simpel.
Langgam Locarno Film Festival tahun 2019 dipengaruhi pergantian pimpinannya dari Carlo Chatrian yang kini menakhodai Berlin International Film Festival. Direktur Artistik Locarno Film Festival saat ini, Lili Hinstin, mengaku ogah menyajikan karya yang membuat penonton terlalu nyaman.
”Dewan penyeleksi film yang dibentuk telah memilih karya-karya yang merefleksikan kebebasan, keberanian, dan semangat generasi muda,” ucapnya. Lili dengan berani menampilkan kejutan, perubahan, dan film-film eksperimental untuk festival yang diselenggarakan ke-72 kalinya itu.
Kesejarahan panjang membuat Locarno Film Festival dipandang sebagai kompetisi terkemuka bersanding dengan Cannes, Venice, Berlin, dan Sundance. Sutradara Joko Anwar dalam cuitan Twitter pada pertengahan Agustus 2019 menyebut Locarno sebagai festival internasional yang prestisius.
”Tapi, benarkah semua festival adalah jaminan mutu? Jawabnya: tidak. Ada sekitar 5.000 film festival di dunia saat ini,” demikian status Twitter Joko. Ada juga festival yang akan memasukkan film apa saja asal bayar sejumlah uang. Joko menyebutnya sebagai festival abal-abal.
Locarno Film Festival juga membawa kegembiraan bagi tim sineas muda Indonesia yang terdiri dari Makbul Mubarak dan Yulia Evina Bhara. Mereka memenangi penghargaan utama Open Doors Hub, seleksi skenario film terbaik. Pembuatan film yang digagas Makbul dan Yulia, yaitu Autobiography, akan dibiayai.
Makbul yang girang lantas memegang piagam sambil memonyong-monyongkan bibir dan mengernyitkan dahinya. Bisa ke Locarno pun, ia sudah bersyukur. ”Eh, dapat penghargaan,” ujar Dosen Program Studi Film Fakultas Seni dan Desain Universitas Multimedia Nusantara itu sambil tertawa.