Ketika Foto Berbicara
Kenangan yang dihadirkan melalui sebuah foto peristiwa tidak akan berhenti sebagai peristiwa begitu saja atau mati. Juga bukan sekadar untuk dikenang. Foto itu jujur berbicara, ia bisa memberi hikmah, bahkan impian yang abadi.
Barisan orang duduk membawa poster berbentuk lingkaran tampak unik di antara 36 foto yang dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Jakarta, 16 Agustus-16 September 2019. Selain itu, masih terdapat 9 lukisan, 3 karikatur, 12 mural atau stensil, dan 20 poster atau desain sampul majalah yang dipamerkan dengan tema ”Art and Diplomacy 1945-1950” itu.
Foto yang menunjukkan poster-poster lingkaran itu merekam peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950. Di situ ada satu- satunya poster berbentuk empat persegi panjang di antara 16 poster berbentuk lingkaran. Poster persegi panjang itu bertuliskan, ”Penduduk Sawah Besar Buding (Kel Kebon Klapa)”.
”Kami belum mengetahui persis lokasi yang dimaksudkan. Ada kemungkinan lokasinya di Sawah Besar, Jakarta, tetapi di situ menandakan pula lokasi Kelurahan Kebon Klapa yang mungkin juga ada di Bandung,” ujar kurator pameran Oscar Motuloh, Kamis (22/8/2019) di GFJA Jakarta.
Tidak semua tulisan kata di poster-poster lingkaran itu jelas. Namun, selain menggelitik, tulisan-tulisan itu cukup visioner. Ini mengingat peristiwanya pada saat usia republik ini baru lima tahun.
Di paling kiri, poster itu bertuliskan, ”Rakjat Harus Bersatu agar Irian .… di Tgl 1-1-1951”. Tanda titik-titik untuk menunjukkan tulisan di foto itu tidak cukup jelas dibaca. Mungkin saja kelanjutan katanya, bisa ”Barat” atau ”Bebas”.
Menurut Oscar, pada tahun 1950 baru setahun usianya setelah Belanda memberikan pengakuan kedaulatan atas bangsa ini. Namun, Irian Barat masih di bawah kekuasaan Belanda dan baru pada tahun 1963 dapat dibebaskan dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Poster di sebelahnya bertuliskan, ”Djangan Sifat …. Lenjapkan Korrupsi”. Titik-titik itu tanda tulisan di foto itu kurang jelas.
Menurut Oscar, ada kemungkinan di situ tertuliskan kata, ”Agresor”. Ia mengingatkan, di situ ada kata-kata ”lenyapkan korupsi” yang akan terus relevan sampai sekarang.
Tulisan lain tak kalah menggelitik dan visioner. ”Banjak Ngobrol-Hasilnya Nol”, ”Negara Ma’mur Rakjat Subur”, ”Awas Pengacau Negara”, ”Rawe-rawe Rantas Malang-malang Putung”, dan seterusnya.
Lenyapkan korupsi
Oscar Motuloh memiliki kisah menarik yang bisa dikaitkan dengan poster ”Lenyapkan Korupsi” itu, yakni kisah dari sebuah lukisan potret Moh Hatta karya Basoeki Abdullah pada tahun 1949. Hatta merupakan cerminan sosok pemimpin bangsa yang antikorupsi.
”Lukisan Moh Hatta itu sekarang menjadi koleksi keluarga. Hatta dilukis potret oleh Basoeki Abdullah ketika mengikuti Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, tahun 1949,” ujar Oscar.
Sebetulnya, lukisan potret Hatta itu sepasang dengan istrinya, Rachmi Rachim, yang juga kemudian dikenal Siti Rahmawati Hatta atau Siti Rahmiati Hatta. Di Den Haag pada waktu itu, Basoeki Abdullah dengan sukarela bersedia memberikan lukisan Hatta dengan cuma-cuma. Namun, untuk lukisan potret istrinya, Hatta harus membayarnya.
”Hatta tidak punya uang dan ketika itu berpesan agar lukisan potret istrinya tetap disimpan Basoeki Abdullah. Suatu saat nanti akan dibeli Hatta,” kata Oscar.
Tiga tahun sesudahnya, 1952, Hatta berhasil mengumpulkan uang untuk membeli lukisan potret istrinya. Sayang, Basoeki Abdullah sudah tidak lagi menyimpannya.
”Lukisan itu ternyata sudah dijual Basoeki Abdullah. Dijual kepada orang Spanyol, dan sampai sekarang keluarga Hatta masih menelusuri dan belum bisa menemukannya,” ujar Oscar.
Hatta sebagai sosok Wakil Presiden ternyata tidak punya uang untuk sekadar membeli lukisan potret istrinya. Dia harus menabung selama tiga tahun untuk membelinya. ”Coba, bayangkan. Apakah hal seperti ini mungkin terjadi di era sekarang?” kata Oscar.
Pesan poster untuk melenyapkan korupsi pada tahun 1950 dijawab sudah oleh Hatta. Foto itu memberi hikmah, bahkan impian abadi rakyat bangsa ini untuk melenyapkan korupsi.
Kecerdikan
Pada era pascakebenaran (post-truth) sekarang, kemampuan diplomasi menjadi kebutuhan sangat penting. Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid dalam sambutannya ingin mengajak publik makin mengenali tokoh-tokoh diplomasi bangsa ini.
”Peristiwa heroik dan kecerdikan diplomasi para tokoh bangsa digambarkan melalui pameran Art and Diplomacy ini,” kata Hilmar.
Bagi Oscar Motuloh, foto ataupun karya lainnya yang dipamerkan itu juga menggambarkan kecerdikannya tersendiri. Ia mengambil contoh sebuah foto tertanggal 22 Desember 1948.
Sentral tokoh diplomasi bangsa pascakemerdekaan salah satunya Presiden Soekarno. Salah satu foto dari Ipphos yang sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional menunjukkan peristiwa penangkapan Soekarno-Hatta dan pejabat tinggi lainnya oleh Belanda pada tahun 1948.
Soekarno tampak menyampirkan jaket di lengan tangan kirinya. Ia diikuti ajudan Sugandhi. Di belakangnya lagi, Wakil Presiden Moh Hatta. Foto peristiwa itu terjadi di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Soekarno ditangkap dan dibawa ke Lapangan Terbang Maguwo, lalu diasingkan ke Pangkal Pinang, Bangka.
Di sisi kiri, fotografer Ipphos menampilkan lukisan di dinding yang berjudul, ”Laskar Rakyat Mengatur Siasat 1” karya Affandi. Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 134 x 155 sentimeter itu dibuat pada 1946, memperlihatkan situasi rakyat berunding, di tengahnya ada selembar peta. Mereka sedang mengatur siasat.
”Dari sudut komposisi pengambilan foto ini, bisa kita artikan seorang fotografer tersebut ingin menunjukkan bahwa Soekarno rela ditangkap dan diasingkan demi mengatur siasat juga,” kata Oscar.
Tak kalah menarik untuk melihat siasat Belanda dari jepretan foto bertanggal 4 Mei 1947. Belanda membuat propaganda persemakmuran dengan negara-negara bagian sebagai politik pecah belah dan adu domba.
Jepretan foto itu menunjukkan sekumpulan bocah yang membawa bendera Putih Merah, bendera Indonesia yang dibalikkan. Peristiwanya dalam acara penyampaian petisi Proklamasi Pasundan, 4 Mei 1947.
”Ini politik adu domba pada masa itu. Sampai sekarang pun, kita masih mudah diadu domba. Foto ini mengingatkan,” kata Oscar.
Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Mikke Susanto, dalam tulisannya di buku pameran tersebut, mengatakan, pameran ini mencairkan batas-batas antara karya seni rupa dan karya foto jurnalistik pada masa pascakemerdekaan. Di situ ternyata banyak menghadirkan informasi, bahkan misteri dramatis yang selama ini terpendam bisu dan tersembunyi.
”Pameran seni visual bernada historis masih jarang dilakukan saat ini,” ujar Mikke.
Pameran Art and Diplomacy di Galeri Foto Jurnalistik Antara menyibak pengetahuan- pengetahuan tersembunyi era 1945-1950. Hikmahnya terasa dan relevan sampai kini.