Melambat Sesaat
Trio Dialog Dini Hari mempersembahkan lagu-lagu di album baru lewat pertunjukan spesial, Kamis (22/8/2019), di Jakarta. Sebelas lagu di album ”Parahidup” itu terdengar lebih utuh—sebagaimana mestinya band—alih-alih proyek solo semata. Liriknya tetap sarat permenungan untuk disimak ketika melambat di sela aktivitas yang menggegas.
”Setelah lima tahun, kami ada satu album yang lumayan apa ya…. Dibilang berdarah-darah, ya enggak juga, tapi kami harus fokus sebulan untuk merekam ini,” ucap Dadang SH Pranoto, vokalis, gitaris, garda depan trio yang ia bentuk pada 2008 ini.
Dadang baru membuka obrolan agak panjang seusai lagu kelima pada pertunjukan di Rossi Musik, Fatmawati, Jakarta Selatan, ini.
Dari catatan di sampul album, lagu-lagu baru itu direkam sepanjang September sampai Oktober 2018 di Denpasar, Bali, tempat tinggal mereka. Dadang menyisihkan waktu di sela-sela padatnya jadwal Navicula, band dia satu lagi. Bukan kebetulan pula, Navicula merilis album kesembilannya, Earthship, pada November tahun itu.
Album Dialog Dini Hari (sering disebut DDH) sebelumnya, Tentang Rumahku, dilepas pada 2014. Jeda lima tahun terbilang lama. Tetapi, bukan berarti selama itu mereka tak menghasilkan apa pun. Justru periode itu adalah masa baik bagi setiap personelnya berkelana dalam kreativitas.
Dadang, selain sibuk dengan Navicula, juga sempat membuat album solo. Begitu juga dengan pemain bas Brozio Orah, yang warna albumnya jauh berbeda dengan corak blues folk Dialog Dini Hari. Sementara Putu Deny Surya, sang drumer, banyak bekerja di studionya, jadi produser atau sound engineer dari band-band lain beragam genre.
Sebagai band, mereka sebenarnya juga sempat berkreasi bersama kelompok lain, seperti Endah N Rhesa, yang berbarengan menghasilkan album mini Parahita (2016) dengan nama DDHear. Mereka juga sempat berkolaborasi dengan duo rock modern Scaller untuk dipanggungkan di ajang Soundrenaline 2018. Kolaborasi dengan Scaller itu seperti membuka pintu bagi DDH untuk memanfaatkan bebunyian modern.
Hasil pengelanaan itulah yang hendak dipadukan di album Parahidup ini. Jadinya, di antara petikan gitar akustik ada bunyi synthesizer ataupun manipulasi bunyi drum. Nuansa paling beda, misalnya, bisa disimak di lagu ”Hyena” atau juga ”Tikus” yang pekat betul rasa elektronika. Di panggung, dua lagu itu dimainkan bareng Stella Gareth dari band Scaller.
Albumnya dilepas 17 Juli silam dalam format digital. Sementara format fisiknya berupa cakram padat keluar berbarengan dengan Konser Parahidup, Kamis malam. Rasa baru DDH itu memantik penasaran.
Sebelas lagu
Dadang membuka pertunjukan berkarcis Rp 125.000 per orang itu sendiri saja dengan lagu yang menyisipkan kalimat ”yamko rambe yamko”. Nadanya agak asing, tak sama dengan lagu daerah asal Papua itu. Tetapi, Dadang punya alasan sendiri kenapa larik itu muncul. ”Indonesia ini sedang banyak masalah.
Sekarang ada lagi (masalah di) Papua,” ujarnya.
Usai tembang pembuka itu, dua karibnya, Zio dan Deny, menyusul. Deny duduk di balik perangkat drum berkelir keperakan. Ada tomtom elektrik yang menyimpan banyak bunyi melengkapi instrumennya.
Zio berdiri menjulang di belakang kibor dan synthesizer, sementara bas gitar yang jadi instrumen utama dia teronggok di sampingnya. Ada seorang perempuan juga di baris belakang yang bernama Aik Krisnayanti, si penyanyi latar.
Mereka berempat siap menyuguhkan seluruh materi album baru untuk pertama kalinya. Penonton tak terlalu banyak. Ruangan di lantai empat itu terisi tak sampai separuhnya. Maklum, tengah pekan.
DDH memilih tembang ”Pralaya” sebagai titik keberangkatan. Lagu ini pula yang jadi pembuka di album keempat mereka itu. Larik awal ”Keimanan hanya wacana, tutur bijak tanpa teladan, ilmu tak dipahami, yang cerdas membodohi” terlantun lirih. Musik mengentak di bagian ”Ini pralaya? Kisah akhir jaman”. Setelah ode buat Papua, muncullah lagu ini. Menohok.
Lagu berikutnya adalah ”Pohon Tua Bersandar”. Itu adalah satu dari lima lagu lawas yang mereka sandingkan dengan sebelas lagu di album baru. Mereka mengusung pula lagu ”Oksigen” dan ”Tentang Rumahku” menjelang akhir pertunjukan berdurasi sekitar dua jam itu.
Dadang sempat mengutarakan ”bencana” yang mereka hadapi ketika ritme kerja sedang tinggi-tingginya di tahun 2018. Navicula dan DDH sama-sama sedang memproses album.
”Pemain bas saya (Made Indra dari Navicula) meninggal. Kami betul-betul patah hati dan tidak dikasih waktu untuk menangisi karena pekerjaan banyak. Beberapa bulan kemudian ada lagi yang meninggal (Aray Daulay). Saya dan Deny menyempatkan ke rumah sakit untuk melihat wajahnya terakhir kali. Di perjalanan ke rumah sakit itulah lirik ini akhirnya jadi,” ucap Dadang. Suasana seketika hening.
Cerita itu melatari lagu ”Kuingin Lihat Wajahmu” yang sendu itu, juga ”Kawanku” yang terdengar riang, tetapi rupanya menyimpan kehilangan. Sebagai penawar kesenduan, mereka melanjutkan repertoar dengan lagu ”Pelangi”.
Naas, seusai lagu lawas ini, Dadang terjatuh dari panggung. Dia tidak cedera, tetapi gitarnya rusak. Segala dinamika itu seperti dapat kesimpulan yang tepat.
DDH menutup pertunjukan mereka dengan lagu ”Hidup” yang bertempo sedang. ”Jika kau bisa merasakan derita, berbanggalah bahwa dirimu adalah manusia.
Seandainya kau bisa meraskan pilu, maka berbahagialah bahwa kau hidup”.
Kembali ke akar Kata Parahidup yang tak ada di kamus dimaknai oleh DDH kira-kira sebagai ’yang hidup’. Parahidup adalah album yang dipersembahkan untuk para pejuang hidup. Menurut Dadang, di Parahidup, DDH merangkum semua hal yang hidup menjadi satu. Manusia, tanaman dan tumbuhan, juga alam.
”Aku nggak pengin ngomongin masalah activism, ini hal yang lebih humanis. Kalau ngomongin hal yang lebih humanis berarti ada yang kita pahami, kayak ada yang hidup di sebelah situ, ada yang hidup di sebelah sana. Jadi, akhirnya mengerucut pada suatu hal, seperti apa sih yang harus kita lakukan dalam sebuah kehidupan. Apa yang harus kita jalani sebagai insan, sebagai manusia,”
ungkap Dadang.
DDH tak berusaha menggurui atau sok-sokan memberi solusi. Melalui Parahidup, DDH justru ingin menyampaikan bahwa sebenarnya sesuatu yang hidup punya cara-cara sendiri untuk menentukan nasib mereka. Oleh karena itu, melalui Parahidup, DDH hanya membagi semua masalah yang ada kepada audiens mereka.
”Kalau dulu Tentang Rumahku lebih personal. Tapi, ini (Parahidup) totally kami pegang lagi, balik lagi ke root folk. Ngomongin sensitivitas sosial, segala macam isu, aku masukin ke dalam sebuah album,” kata Dadang.
Lirik, sekali lagi, tetap menjadi menu utama karena lirik bagi DDH adalah musik. Pesan yang mereka sampaikan harus jelas. Meski begitu, eksplorasi musikal justru semakin kaya di album ini karena mereka tak ingin mentok pada satu hal.
”Karena niat kami ingin belajar banyak hal, ya harus cari tahu apa yang kami mau,” kata Dadang. Melalui Parahidup, DDH menunjukkan, sebagai sebuah band, mereka terus beranjak maju. Dengan lirik yang tetap sarat permenungan dan mengajak melambat sesaat.