Batavia di Swedia
Kanal lurus di jantung Kota Gothenburg, Swedia, membawa ingatan pada pemandangan tak jauh berbeda di lokasi yang berjarak sekitar 11.000 kilometer ke arah timur dari kota itu, yakni Kali Besar di Kota Tua, Jakarta, Indonesia. Kedua kanal itu seolah menandakan Gothenburg dan Batavia, sebutan Jakarta dulu, adalah dua kota ”bersaudara”.
”Setiap warga Jakarta atau Indonesia yang pernah melihat Kota Tua Jakarta pasti akan merasakan ada kemiripan antara kanal kota Gothenburg dan Kali Besar di Kota Tua,” ujar pria keturunan Minahasa, Sulawesi Utara, kelahiran Surabaya, Jawa Timur, Adolf Teintang (79), yang telah menetap di Gothenburg sebagai warga negara Swedia itu ketika dijumpai di Gothenburg, awal Juli.
Adolf terpana dengan tata kota Gothenburg, terutama dengan bentuk kanal yang mengalir lurus di tengah pusat kota itu ketika pertama kali tiba di sana pada 1965. Pikiran pria kelahiran 18 Oktober 1939 itu melayang ke Kali Besar, Kota Tua, tempatnya sering menghabiskan waktu menyambut senja dan menikmati akhir pekan di ibu kota Indonesia itu sekitar 60 tahun silam.
Adolf tumbuh dan menghabiskan masa remajanya di Jakarta. Pada 1965, ia bekerja di kapal tanker yang kemudian membawanya ke Gothenburg. Ia lalu menetap di kota itu. Sejak 197-0an, ia menjadi warga Swedia.
”Dari informasi yang saya dapat dari warga lokal dan buku-buku yang saya baca, konon arsitek yang merancang Gothenburg ini memang orang yang juga merancang Batavia. Tapi, Gothenburg ini lebih muda, kota ini saudara mudanya Batavia,” kata mantan atlet judo yang sempat ikut PON V itu.
Suasana kota
Tata kota Gothenburg punya kemiripan dengan Kota Tua. Kota yang pembangunannya digagas Raja Swedia Gustav II Adolf pada 1621 itu punya kanal lurus di tengah kota.
Kanal lurus sepanjang lebih kurang 2 kilometer dan lebar sekitar 50 meter itu diapit deretan gedung. Gedung-gedung itu dibangun dengan arsitektur Renaissance dan Barok atau khas bangunan Eropa pada akhir abad pertengahan.
Pada muara kanal yang bertemu sungai lebih besar itu terdapat pelabuhan besar Gothenburg, tempat bongkar-muat logistik. Sejak dahulu, Gothenburg adalah kota pelabuhan nan sibuk.
Kota itu dibangun bersekat- sekat, di bagian atas wilayah pemerintahan, dagang, tempat peribadatan, hingga alun-alun atau plaza tempat berkumpul warga. Dulu, kota ini dikelilingi tembok yang menjadi pertahanan terhadap potensi serangan Denmark di selatan Swedia.
Lanskap itu tak jauh berbeda seperti di Batavia. Kota kuno Jakarta yang pembangunannya digagas Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen pada 1620 itu juga punya kanal lurus di tengah kota.
Kanal bernama Kali Besar itu punya panjang sekitar 1,7 kilometer dan lebar sekitar 20 meter. Di antara kanal itu berdiri pula bangunan berdempetan dengan arsitektur khas Eropa pada akhir abad pertengahan.
Pada muara kanal yang menghadap laut itu juga terdapat pelabuhan besar, Pelabuhan Sunda Kelapa. Dulu, pelabuhan itu adalah salah satu yang tersibuk di Asia, sebagai pusat transaksi dagang VOC dengan negara-negara Asia hingga Eropa.
Batavia pun dibangun bersekat-sekat, ada wilayah pemerintahan, dagang, tempat peribadatan, dan alun-alun kota. Sebelum dibongkar habis, Batavia juga dikeliling tembok sebagai pelindung dari potensi serangan kerajaan lokal.
Pengaruh Belanda
Pada sejumlah sumber bacaan, diceritakan bahwa Raja Swedia Gustav II Adolf meminta bantuan Belanda untuk membangun Gothenburg pada 1621. Sebab, Belanda dinilai paham menata dan membangun kota di muara sungai dan berawa sebagaimana kondisi di Gothenburg.
Namun, Gustav II Adolf meminta pembangunan dilakukan secepatnya demi mengantisipasi serangan Denmark. Untuk itu, masterplan yang sudah ada milik perancang Belanda langsung diterapkan mentah-mentah di Gothenburg. Konon, masterplan yang sudah ada itu adalah yang sudah diterapkan dalam penataan dan pembangunan Batavia pada 1620.
Arkeolog sekaligus Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, Candrian Attahiyat, mengatakan, antara abad ke-16 dan ke-17, Belanda memang dianggap paling ahli membangun kota di muara sungai dan berawa. Hal itu tak lepas dari latar belakang negara mereka yang berada di bawah permukaan laut dan berawa.
Saat itu, role model utama mereka adalah Amsterdam. Ketika ada pembangunan di wilayah lain yang punya topografi mirip Amsterdam, mereka akan membangun kota yang serupa dengan Amsterdam, yakni ada kanal dan membagi kota dalam sejumlah klaster.
Salah satu kota pertama yang dibangun meniru Amsterdam di luar Belanda adalah Batavia. Perancang model Batavia itu adalah Simon Stevin (1548- 1620) yang notabene sejatinya bukan berprofesi arsitek, melainkan matematikawan dan seniman.
Setelah berhasil membangun Batavia, hasil rancangan Stevin itu terus diterapkan Belanda saat membangun wilayah lain yang menjadi tempat jajahannya, seperti Manhattan (New York) di Amerika Serikat dan Paramaribo di Suriname. ”Nah, Gothenburg ini boleh jadi salah satu kota yang dibangun sesuai model tersebut,” ujar Candrian.
Selain tata kota yang mirip, Gothenburg dan Batavia memang punya hubungan erat sejak lama. Hal itu tertuang dalam buku pelaut Swedia Collins Campbell berjudul A Passage to China. Buku itu berisi catatan perjalanan Campbell ketika menjadi anak buah kapal kargo milik kongsi dagang Swedish East India Company, yakni Kapal Gotenborg.
Di sela pelayaran dari Gothenburg ke Kanton, China, Kapal Gotenborg singgah dua kali ke Batavia, yakni pada 10 Agustus 1732 dan 15 Maret 1733. Setiap kunjungan, kapal itu berlabuh selama 40 hari. Konon, dari pelayaran itu lahir merek minuman keras di Gothenburg bernama ”Batavia Arrack”.
Tetap terawat
Ratusan tahun berlalu, hingga sekarang, Gothenburg tetap terawat keaslian dan keasriannya. Menyambut ulang tahun ke-400 kota berjudul ”Venesia dari Utara” itu pada 2021, dalam sejumlah poster, pemerintah kota menyatakan usia itu hanya permulaan. Mereka siap membuat kota itu menjadi kota berkelanjutan yang lebih nyaman untuk hidup dan bekerja.
”Kami merawat bangunan- bangunan tua dengan teliti. Semua cat yang digunakan harus sama dengan warna yang memoles bangunan itu ketika pertama kali dibangun. Terkadang, cat itu sudah tidak diproduksi lagi sehingga kami harus memesan khusus ke pabrik,” ujar pekerja konstruksi di Gothenburg, Joakim Ojala (54).
Kota kedua terbesar di Swedia ini memang asyik untuk dijelajahi. Waktu terbaik mengunjunginya adalah pada musim panas, yakni setiap Mei/Juni hingga September. Pada bulan itu, matahari terbit lebih lama, yakni mencapai 20-21 jam. Pada musim itu, matahari hanya terbenam pukul 00.00-04.00.
Saat itulah, kota ini bisa ditelusuri dengan santai dan nyaman. Apalagi walau musim panas, cuaca di Gothenburg tetaplah sejuk, yakni bersuhu 16-20 derajat celsius.
Kebersihan juga sangat terjaga di kota negara Skandinavia itu. Kota ini pun relatif minim kriminalitas, mungkin karena Swedia salah satu negara termakmur di Eropa. Sarana transportasi publiknya juga sangat memadai.
Menyusuri Gothenburg akan membawa pelancong ke suasana Eropa abad pertengahan layaknya tata kota dalam dongeng Gadis Penjual Korek Api karya Hans Christian Andersen yang terbit pertama 1845 itu.
Situasi Gothenburg sangat berkebalikan dengan saudara tuanya, Batavia. Di kawasan kota tua Jakarta itu banyak gedung lama ditinggalkan, menua, lapuk, dan tak sedikit yang sudah ambruk.
”Di sini, kedewasaan warga menjaga lingkungan masih kurang. Belum lagi jumlah penduduknya terlampau banyak. Selain itu, tak sedikit pemilik gedung tua yang kurang perhatian merawat asetnya itu,” ujar Kepala Pengelola Kota Tua Jakarta Norviadi.
Semoga suatu hari nanti, Batavia bisa seperti saudara mudanya di ujung barat Eropa itu....