Sebuah instalasi seni rupa bertemakan ”Pasung Kapal Lepas” yang berbentuk seperti tubuh perahu yang panjangnya 9 meter itu terpampang di Galeri Ciputra Artpreneur Jakarta. Geladaknya adalah kanvas besar yang terbentang kencang, berisikan lukisan-lukisan karya delapan orang berkarunia gangguan neurologis dan keterlambatan perkembangan.
Mereka meliputi Oliver Adivarman Wihardja (18) dengan spektrum autisme dan hiperaktif yang menorehkan cat dengan kuas dan roller (kuas bergulung) membentuk guratan abstrak yang lugas. Kemudian Raynaldy Halim (22) dengan karunia spektrum autisme lainnya, melukis gaya abstrak dengan teknik menciprat-cipratkan cat ke kanvas.
Di dekatnya ada lukisan abstrak lain yang dibuat Bima Ariasena Adisoma (31), berkarunia spektrum autisme yang berbeda lagi. Ia seperti Oliver yang lugas memain-mainkan cat dengan kuasnya mencipta sapuan bergaya abstrak.
Di sisi bidang lainnya, Audrey Christabel Angesti (17), yang juga berkarunia spektrum autisme, mengisi dengan lukisan sosok-sosok perempuan muda belia yang energik. Ia lincah memainkan garis lengkung untuk membentuk tubuh-tubuh figur gadis belia tanpa sketsa.
Anfield Wibowo (15) dengan spektrum autisme dan aspergernya memiliki kemiripan dengan Audrey. Anfield tanpa sketsa dengan lihai memainkan kuas dan menorehkan catnya membentuk figur gadis yang menjadi sosok idolanya.
Aqillurachman Prabowo (15) yang berkarunia disleksia melukis dengan gaya ilustratif. Adapun Daya Olivia Korompis (40) dengan karunia kelainan kromosom yang kemudian berpengaruh pada kemampuan mentalnya melukis bentuk figuratif binatang kesayangan.
Kemudian, Dwi Putro (56) dengan gangguan mental organik melukis sosok perempuan dan seekor ayam jantan. Semestinya masih ada satu lagi peserta, yaitu Hana Madness (27), yang tidak bisa turut serta karena ia harus ke Inggris untuk pameran dan berkarya di sana.
”Pasung Kapal Lepas” ini diinstal oleh seniman Hanafi selaku mentor para peserta dan Tim Studiohanafi. Di situ Hanafi menyampaikan, tidak ingin mengajar, tetapi ia sekadar mendampingi mereka.
”Dunia mereka tak bisa digenggam. Dunia mereka ada di dalam diri mereka sendiri,” kata Hanafi.
Di atas instalasi ”Pasung Kapal Lepas” bergelantungan kanvas-kanvas lukisan individual para peserta. Di panggung ada pula koper-koper yang dilukisi para peserta. Lukisan-lukisan yang digantung dan koper-koper itu kemudian habis terjual pada proses lelang pada malam pembukaan pameran karya- karya ini.
Demam ”art brut”
Karya-karya seni rupa di atas menjadi bagian dari pameran Outsider Artpreneur di Ciputra Artpreneur Jakarta, 27 Agustus-8 September 2019. Pameran ini menyeruak di tengah ragam perhelatan seni rupa di Tanah Air akhir-akhir ini.
Ia muncul sebagai pameran yang menampilkan karya seni rupa marjinal.
Kurator pameran ini, Jean Couteau, menuliskan, ”demam art brut atau outsider art akhirnya tiba di Indonesia”.
Jean Couteau adalah seorang pemerhati seni rupa asal Perancis yang menetap di Bali. Ia semufakat, jika istilah art brut atau outsider art kemudian disepadankan sebagai seni liyan. Kata liyan diserap dari bahasa Jawa, memiliki makna sebagai ”yang lain” atau outsider.
Istilah lainnya sebagai art brut dalam bahasa Perancis. Menurut Jean Couteau, art brut bermakna sebagai seni yang belum diapa-apakan atau sebagai seni mentah (raw art).
Dari sini muncul pembeda antara karya seni para penyandang disabilitas neurologis yang sedang dipamerkan dan konsepsi art brut sebagai karya seni yang belum diapa-apakan. Jean Couteau melihat karya yang sedang dipamerkan bukan sebagai karya murni yang tidak diapa-apakan.
Banyak unsur dari luar telah masuk dan berpengaruh terhadap karya mereka, termasuk unsur institusi budaya tertentu. Jean Couteau merujuk tokoh yang melahirkan konsepsi art brut, yaitu Jean Dubuffet (1901-1985).
Jean Dubuffet dalam melahirkan konsepsi art brut itu memiliki landasan berpikir, budaya telah mengekang individualitas dan kreativitas. Konsepsi art brut menerobos kekangan budaya ini biasanya ditempuh oleh para penyandang gangguan mental.
Unsur luar lainnya yang masuk dan berpengaruh terhadap karya yang sedang dipamerkan misalnya material seni yang disediakan. Kemudian unsur spontan berkarya tidak lagi terlahir dari kedalaman psyche atau jiwa pelaku. Akhirnya karyanya melahirkan keindahan ilustratif, figuratif, atau abstrak yang sungguh jauh untuk meraba dan mengetahui kedalaman psyche-nya.
”Pameran ini menjadi perluasan konsep art brut atau outsider art di Indonesia,” ujar Jean Couteau seusai pembukaan pameran Outsider Artpreneur.
Jean Couteau tak lagi membenturkan adanya perbedaan konsepsinya. Ia menyebutnya sebagai perluasan konsep seni rupa art brut atau outsider art. Di sinilah pameran Outsider Artpreneur menapakkan jejak seni liyan, seni dari perluasan art brut atau outsider art tadi.
Presiden Direktur Ciputra Artpreneur Rina Ciputra Sastrawinata mengamini hal itu.
”Untuk ke depan, penting juga menghadirkan karya yang dinilai murni sebagai art brut atau outsider art. Namun, karya-karya yang dipamerkan saat ini penting juga dilihat sebagai karya seni rupa marjinal yang layak mendapat perhatian,” ujar Rina.
Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid dalam pembukaan pameran ini menyebutkan, karya seni mereka sebelumnya tak dipandang atau invisible. Melalui pameran dan gerakan sosial yang terus-menerus seperti ini menjadikannya sebagai karya seni yang mulai dipandang.
”Kita bahkan semestinya belajar banyak dari kehidupan mereka yang memiliki berbagai macam karunia yang sering kita sebut sebagai gangguan atau disabilitas itu,” kata Hilmar.
Outsider Artpreneur membuka jalan. Ia menapakkan jejak seni rupa menjadi sejarah yang baru di Tanah Air.