Rahasia Crepes Perancis
Selama sewindu tinggal di Perancis, Risa Permanadeli mendalami kuliner, selain ilmu sosial. Banyak resep masakan dia peroleh dari keluarga asuhnya saat dia kuliah di sana. Itu antara lain modal dia membuka bistro mini Chez Kluwih.
”Saya berkenalan dengan pasangan Perancis berusia sepuh. Hampir setiap akhir pekan diundang ke rumah mereka di kawasan perdesaan Perancis untuk makan siang. Dari mereka saya mengenal kultur makan orang Perancis berikut beberapa hidangan khas sekaligus cara memasaknya,” kenang Risa, yang dikenal sebagai peneliti isu-isu sosial ini.
Saat pulang ke Tanah Air, Risa sempat membuka sebuah kedai. Tak sekadar mengenalkan kuliner Perancis orisinal, tetapi sekaligus kebiasaan orang sana, terutama tentang kebiasaan menjadikan kedai tempat bertemu, bertukar ide gagasan, dan juga pengetahuan.
Kedai tersebut sempat berjalan beberapa waktu, tetapi Risa merasa gagal. Saat itu, pada tahun 2000, kondisinya, menurut Risa, berbeda dengan masa kekinian saat ini. Kultur nongkrong di kedai belum dikenal secara luas, apalagi menjadi kebiasaan, termasuk bagi masyarakat kelas menengah Jakarta.
Namun, semangat Risa untuk terus mencoba menghadirkan cita rasa kelezatan negeri, yang telah dianggap menjadi rumah keduanya itu, terus berlanjut.
Risa kini duduk sebagai Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial, Jakarta. Dia kerap memasak hidangan khas Perancis untuk teman-teman sekantornya saat makan siang.
Belakangan, Risa menyulap salah satu sudut depan kediamannya di bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, menjadi sebuah bistro mini, Chez Kluwih.
Bistro itu punya satu gerobak merah cantik berbentuk mirip kereta trem mini. Di situ, sang penjual memasak hidangan dan mempersiapkan minuman yang ditawarkan dalam tabel menu. Selain itu, beberapa meja dan kursi kecil ditata nyaman, dikelilingi banyak pot tanaman hias.
Untuk menu sajian utamanya, Risa menawarkan hidangan simpel khas Perancis, terutama Perancis utara, crepes dan juga galette. Kedua jenis masakan ini sangat terkenal, seperti juga piza dan pasta asal Italia atau hotdog dan hamburger asal Amerika Serikat.
Baik crepes dan galette, keduanya bisa berperan ganda. Menjadi jajanan ringan, tetapi sekaligus juga makanan berat sehari-hari. Keduanya dibuat dari bahan-bahan dasar sama, tepung, telor, dan susu. Adonan nyaris encer dituang lalu diratakan tak terlalu tebal di atas wajan panas.
Perbedaan keduanya cuma terletak pada dua hal, tepung yang digunakan serta jenis atau macam dari isiannya. Untuk galette, adonan terbuat dari tepung sorgum (buckwheat), sementara crepes terbuat dari tepung terigu (gandum) biasa. Risa juga menambahkan dua sendok makan minuman soda manis berkarbonasi untuk kemudian didiamkan semalaman.
”Jadi nanti hasil crepesnya bagus dengan permukaan agak bopeng-bopeng. Kalau di Perancis sana biasanya ditambahkan sedikit bir atau cider apel. Untuk mendapatkan efek atau hasil sama, saya di sini menambahkan beberapa sendok soda manis untuk membantu proses fermentasi,” tambah Risa.
Manis vs gurih
Dari sisi isiannya, crepes cenderung berisi bahan-bahan manis, sementara galette lebih identik dengan isian-isian berat dan bercita rasa gurih (savoury) atau asin. Makanan crepes juga biasa dijual sebagai camilan grabbed and go, sementara galette perlu dinikmati di atas meja layaknya makanan berat.
Risa sendiri menawarkan beberapa pilihan crepes manis. Ada yang berisi selai buah-buahan beri, yang dia olah sendiri (homemade) dari bahan stroberi segar, atau olahan gula merah dan campuran lemon. Pilihan lain adalah apel karamel, yang biasanya menjadi isian pai, dessert populer Perancis lain. Apelnya pun dari apel hijau malang yang dinilai Risa sangat cocok.
Sementara untuk isian galette yang gurih, Risa menawarkan menu spesial hasil kreasinya sendiri, juga olahan fusi dari nuansa kelezatan negara lain. Untuk menu galette istimewa kreasinya, Risa menggunakan bahan irisan jamur kancing, yang ditumis bersama daging udang, bawang bombay, lalu disempurnakan dengan campuran krim, keju cheddar, sedikit garam, serta rempah-rempah, seperti lada dan pala bubuk.
”Jamur kancingnya harus terlebih dahulu disangrai beberapa saat sampai kandungan airnya keluar baru diiris-iris, dan ditumis bersama dengan irisan bawang bombay, daging udang kupas, krim, dan keju cheddar, mentega, dan rempah-rempah serta garam,” ujarnya berbagi.
Saat dicicipi cita rasa serta kelezatan menu galette andalan Chez Kluwih ini memang gurih, unik, dan sangat menggugah selera. Aroma bubuk buah palanya terasa ”sayup-sayup”. Ditambah gurih dan manisnya daging udang, serta perpaduan cantik krim dan keju, semakin menyemangati orang untuk terus menyuap potongan demi potongan ke dalam mulut.
Pilihan lezat galette lain juga ditawarkan Risa, seperti berisi olahan sayuran khas Perancis, ratatouille. Bisa juga dengan isian ”mencontek” cita rasa khas Italia, dengan memanfaatkan bahan olahan tomat ceri. Itu dipanggang di api kecil terlebih dahulu dengan tambahan madu, lada, garam, dan minyak zaitun.
Jika rasa isian ratatouille lebih ke dominan gurih, maka isian tomat ceri bermadu terasa lebih kaya, manis, dan asam yang menyegarkan. Rasa asam juga berasal dari tambahan yoghurt, yang juga dibuat sendiri oleh Risa. Beragam kreasi dan fusi tersebut, menurut dia, lumayan diminati pembeli.
Sejarah crepes
Baik crepes maupun galette, keduanya punya sejarah panjang hingga akhirnya ditetapkan sebagai hidangan nasional Perancis, juga diperingati setiap tanggal 2 Februari sebagai le jour des crêpes atau hari crepes. Tanggal sama juga diperingati sebagai hari kembalinya cahaya, La Chandeleur, tanda datangnya musim semi. Bentuk crepes dianggap menyimbolkan matahari.
Mengutip tulisan ”The History of Crepes” di situs www.kitchenproject.com, crepes diyakini diciptakan secara tak sengaja di abad ke-13 ketika seorang perempuan secara kebetulan menumpahkan adonan kue yang akan dimasaknya ke atas wajan panas. Saat dicicipi lapisan tipis adonan itu ternyata lezat dan disukai.
Cara pembuatan crepes sendiri terdokumentasi dalam sebuah buku resep masakan abad ke-14 Masehi, Le Menagier de Paris, dan dipercaya berasal dari sebuah kawasan semenanjung di utara Perancis, Bretagne, atau kerap dilafalkan Brittany oleh lidah orang Inggris.
Kehadiran crepes semakin tenar ketika seorang chef besar, Henri Charpentier, yang bekerja di sebuah kafe di Monako diminta menghidangkan sajian pencuci mulut istimewa untuk makan malam seorang bangsawan, Prince of Wales, pada satu malam di tahun 1895.
Sang chef memasak dan menyajikan crepes istimewa berisi irisan lemon dengan guyuran minuman brandy, yang disajikan dengan cara elegan dan menghibur, dengan disulut api hingga menyala. Sang pangeran sangat terkesan, bahkan memberi nama crepes ikonik itu sesuai nama salah satu tamu undangannya, Suzette.