Berkawan Sapu, Bertahan Hidup
Kemampuan mengurus diri dan rumah sendiri merupakan bagian dari keterampilan bertahan hidup. Jadi, jangan remehkan sapu, pel, lap, dan ember karena bisa jadi mereka adalah kawan menuju kemandirian.
Jangan remehkan menyapu dan mengepel. Lewat pekerjaan rumah tangga sederhana itu, kita bisa belajar bertahan hidup. Tolhas Damanik (45), yang berpenglihatan terbatas, membuktikan ia mampu hidup mandiri saat menempuh pendidikan di Amerika Serikat karena terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Tolhas, Direktur Eksekutif Wahana Inklusif Indonesia, mengalami glaukoma sejak kecil sehingga penglihatannya sangat terbatas. Namun, orangtuanya tidak memperlakukan dia berbeda dengan saudara-saudaranya. Dia tetap diberi tugas membersihkan rumah, membantu mencuci baju, mencuci piring, dan membantu pekerjaan rumah lain meskipun dengan sejumlah penyesuaian.
”Pada intinya, orangtuaku tak pernah melarang jika aku mau mencoba. Mereka hanya kasih arahan dan pilihan walaupun tahu hasil yang aku kerjakan tidak terlalu baik dengan keterbatasanku,” kata Tolhas, Senin (9/9/2019).
Dia mencontohkan, saat menugasi Tolhas mencuci piring, mereka tidak sebatas memberi piring atau gelas plastik. Dia hanya ditanya, apakah mau mencuci semua piring dan gelas, termasuk yang berbahan kaca, dengan risiko pecah jika tidak berhati-hati.
Untuk mencuci pakaian, dia membantu kakak-kakaknya membilas. Dengan sentuhan tangannya, Tolhas bisa merasakan apakah pakaian yang dibilas masih licin bersabun atau tidak.
”Pemikiran orangtuaku sebetulnya sederhana. Mereka tidak over-protective karena keterbatasanku, yang penting selalu mencoba dan mengerjakan semampuku,” lanjut Tolhas.
Saat dewasa, Tolhas memetik hasilnya. Dia terbiasa dan mampu mengerjakan pekerjaan rumah tanpa bergantung kepada orang lain.
Bekal masa kecil itu sangat menolong ketika dia melanjutkan studi di Ohio University, Ohio, Amerika Serikat. Di luar jadwal rutin bersih-bersih apartemen secara bergantian, Tolhas kerap mengambil alih jadwal temannya, terlebih saat ada waktu luang.
Pekerjaan rumah tangga memang sering dipandang sebelah mata. Tidak sedikit orang yang menganggap menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika, atau bersih-bersih rumah adalah tugas asisten rumah tangga. Beberapa waktu lalu, beredar foto di media sosial seorang ibu berseragam pegawai negeri sipil yang merendahkan asisten rumah tangga, menganggapnya hanya kerja mengosek WC.
Foto itu langsung menuai kecaman warganet. Salah satunya datang dari Rahel Yosi Ritonga, ibu rumah tangga di Semarang, Jawa Tengah. Di akun media sosialnya, Rahel selalu menyebut dirinya emak berdaster. Namun, jangan salah. Dia memegang gelar master of science dari sebuah universitas terkemuka di Belanda.
Dia sadar betul bahwa, di zaman yang semakin canggih ini, generasi muda tetap harus tahu bagaimana melakukan pekerjaan rumah tangga secara mandiri.
”Menurut saya, itu adalah salah satu kemampuan untuk bisa survive dalam kehidupan ini,” ujar Rahel.
Hampir semua orangtua berharap suatu saat nanti anak-anak mereka melanjutkan sekolah di luar kota atau di luar negeri pada sekolah atau universitas terbaik. ”Akan tetapi, mereka melupakan poin penting lain ketika anak-anak masih kecil, yaitu mengajarkan basic things, seperti mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri,” ujar Rahel.
Di rumah ibu dua anak ini, sebagian besar pekerjaan rumah tangga memang dia kerjakan. Namun, anak-anaknya yang berusia sembilan tahun dan tiga tahun sudah diajarkan membantu meringankan tugas ibunya. Misalnya, setelah makan, anak-anak membawa perlengkapan makan ke bak cuci piring. Anak-anak juga membantu menjemur pakaian. Mereka mengerjakannya sepulang sekolah.
Demikian pula suami Rahel, seorang pengusaha, membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebelum berangkat bekerja atau saat akhir pekan dan liburan.
Dengan mulai mengajarkan hal-hal kecil sejak dini, Rahel berharap anaknya bisa belajar bertanggung jawab, disiplin, dan mandiri.
Bukan tanpa tantangan mengajarkan hal tersebut kepada anak-anak. Kadang-kadang mereka tidak mau melakukan tugasnya atau kadang-kadang belum bisa mengerjakan dengan baik. Tak jarang Rahel harus mengulangi lagi pekerjaan yang dilakukan anaknya.
”Saya tekankan bahwa keluarga adalah tim. Pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama. Kerja sama yang baik, adanya tolong-menolong, disertai komunikasi yang baik, efeknya akan sangat baik untuk keharmonisan keluarga. Ikatannya akan lebih hangat,” lanjut Rahel.
Proses dan empati
Banyak studi membenarkan pandangan Rahel tersebut. Artikel yang dilansir laman Cognitive.com menyebutkan, banyak rumah tangga saat ini menyerahkan pekerjaan rumah kepada asisten rumah tangga. Kendati demikian, tetap penting mengajak anak ikut mengerjakannya juga.
Mengutip Centerforparentingeducation.org, dalam menyapu, mengepel, mencuci, atau menyetrika, terdapat pelajaran tentang tanggung jawab, kerja sama tim, penghargaan diri, manajemen waktu, latihan kemampuan motorik dan sensorik, serta kebersamaan keluarga. Anak akan merasa berkontribusi bagi keluarga, sementara orangtua memiliki lebih banyak waktu bersama anak.
Untuk urusan mengajarkan beres-beres kepada anak-anak ini, kita perlu berkaca pada Jepang. Sudah terkenal bahwa murid-murid di Jepang secara rutin membersihkan kelas, bahkan toilet, atau dikenal dengan istilah souji.
Sebuah artikel di laman Japantimes.co.jp menggambarkan bagaimana bocah-bocah itu mengerjakan souji. Setiap kelas bertanggung jawab atas ruangan masing-masing serta beberapa bagian sekolah yang lain, misalnya ruang kesehatan, perpustakaan, dan taman.
Sekolah-sekolah tersebut bukannya tidak mempunyai petugas kebersihan. Namun, mereka belajar menghormati lingkungan sekitar sejak kecil.
Saat masih sekolah, generasi yang sekarang menjadi orangtua barangkali masih mengalami giliran piket di sekolah. Setiap siswa secara berkelompok bergiliran membersihkan kelas dan papan tulis. Belakangan ini, praktik itu sepertinya mulai menghilang dari banyak sekolah.
Di sekolah internasional tempat anak sulung Rahel mengenyam pendidikan, misalnya, tidak ada lagi kegiatan bersih-bersih. Sebagian besar waktu dimaksimalkan untuk kepentingan pengajaran di bidang akademis dan non-akademis.
”Saya berharap sekolah anak saya juga mengajarkan siswanya kegiatan bersih-bersih, sama seperti ketika saya dulu bersekolah,” ucap Rahel.
Psikolog Anna Surti Ariani memaparkan, mengerjakan pekerjaan rumah tangga bagi anak-anak bukan sekadar sebuah kebiasaan baik. ”Mereka belajar bahwa segala sesuatu ada prosesnya. Dari kotor menjadi bersih, ada prosesnya.
Ternyata tidak mudah membuat ruangan bersih, butuh waktu, butuh tenaga. Mereka akan berpikir dua kali untuk mengotori karena mereka jugalah yang akan membersihkan,” katanya.
Dari situ, anak-anak juga belajar berempati kepada para petugas kebersihan. Di rumah, lanjut Anna, anak sulungnya bertugas mencuci piring. Adiknya menyapu bagian-bagian tertentu dan menjemur pakaian.
”Kalau kakak malas mencuci piring, misalnya, kami akan teriak, ’Enggak ada piring buat makan, nih.’ Jadi, mereka tahu akibatnya jika tidak melakukan tugas. Kalaupun tidak melakukan tugas, harus ada alasan jelas. Ini akan melatih komunikasi dalam keluarga,” tutur Anna.
Yang paling penting adalah menekankan kepada anak bahwa melakukan pekerjaan rumah tangga bukan hukuman atau kewajiban. Sapu, pel, lap, dan ember adalah kawan menuju kemandirian. (WISNU DEWABRATA)