Perjalanan Xu Bing
Wajah seni rupa kontemporer itu berupa presentasi ide dengan cara artistik yang lepas dari konsep budaya normatif. Inilah pemikiran penting di balik perjalanan tokoh seni rupa kontemporer terkemuka China saat ini, Xu Bing (64).
Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara (Museum Macan/Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara) di Jakarta menghadirkan karya retrospeksi Xu Bing selama 40 tahun terakhir. Sebanyak 60 karya dipamerkan dalam rentang waktu cukup panjang, 31 Agustus 2019 sampai 12 Januari 2020, bertemakan ”Xu Bing: Thought and Method”.
Xu Bing dikenal sebagai tokoh seni kontemporer China di mata dunia saat ini. Ia lahir di Chongqin, tumbuh besar di Beijing, China. Pada masa Revolusi Kebudayaan China tahun 1970-an, Xu Bing menjadi salah satu sukarelawan yang turun ke perdesaan. Pengalaman itu membuat ia terkesan terhadap alat politik berupa bahasa.
Pada tahun 1977 Xu Bing menempuh studi seni grafis di Central Academy of Fine Art (CAFA) di Beijing. Ini mengawali kariernya dengan mengeksplorasi bahasa dan sistem pengetahuan tradisional China.
Pada tahun 1990-an Xu Bing pindah ke New York, Amerika Serikat, dan menetap di sana delapan tahun. Sebelumnya, ia menciptakan salah satu karya yang membuka mata dunia berupa instalasi masif dari gulungan kertas bertuliskan aksara rekaan Xu Bing (1987-1991).
Karya itu diberi judul ”Book from The Sky”. Ia menggelar kertas gulung dari ketinggian sekitar tiga meter hingga memenuhi ruang besar dengan tulisan berkarakter seperti huruf Mandarin. Namun, sesungguhnya huruf yang ditulis Xu Bing itu rekaan semata tanpa arti khusus.
Xu Bing menantang sistem pengetahuan umum lewat huruf rekaannya itu. Karya ini pun jadi tampilan utama di Museum Macan.
“Xu Bing adalah seorang perupa global. Praktik keseniannya menggali kedalaman sejarah untuk mempelajari proses perpindahan budaya di era komunikasi lintas negara,” kata Direktur Museum Macan Aaron Seeto.
Pameran tunggal karya Xu Bing di Museum Macan ini pertama kali di Indonesia dan menjadi pameran terbesar di Asia Tenggara. Menurut Aaron, karya Xu Bing telah memaknai pengertian kita tentang peran teknologi, bahasa, dan budaya global.
Soal pemikiran (thought) dan cara (method), ada hal menarik yang disampaikan Xu Bing lewat catatannya kepada Museum Macan.
”Untuk menjadi perupa yang baik, seseorang mesti menjadi pemikir yang baik. Namun, jika perupa tersebut hanya memiliki pemikiran atau filosofi yang baik, ia dapat menjadi filsuf yang hebat, tetapi namanya tidak akan pernah tercatat di dalam sejarah dunia seni,” tulis Xu Bing.
Bagi Xu Bing, seorang perupa mesti mempunyai sebuah cara artistik untuk mempresentasikan ide, sebuah metode yang lepas dari konsep budaya yang normatif. Xu Bing melontarkan gagasan lainnya pula. ”Di mana ada kehidupan, di situ ada permasalahan. Di mana ada permasalahan, di sana ada seni.”
Film fiksi
Kurator Museum Macan Asep Topan mengatakan, ada lompatan karya Xu Bing yang bertitik tolak dari seni grafis dan mengolah bahasa serta sistem nilai tradisional China itu. Lompatan itu diwujudkan sebagai film fiksi yang diberi judul Dragonfly Eyes (2017) berdurasi 81 menit.
”Film fiksi ini disusun dari potongan video dengan kamera pengawas atau CCTV yang dipasang di beberapa wilayah China dan bisa diunduh di situs internet,” kata Asep.
Tayangan CCTV di ruang publik China diizinkan untuk diunggah di situs internet mulai 2015. Ini menarik perhatian Xu Bing yang sebelumnya mengembangkan karya berjudul ”Book from the Ground” (2013 sampai sekarang).
Di dalam karya itu, Xu Bing mengeksplorasi simbol-simbol universal, berupa tanda-tanda yang sering muncul di ruang publik dan juga kumpulan simbol emoji untuk membuat sebuah cerita. Ia memperluas lagi karyanya setelah 2015 dibuka keran informasi melalui situs internet berupa video hasil tangkapan kamera pengawas di ruang publik di China.
”Film fiksi Dragonfly Eyes itu disusun dari sekitar 11.000 jam tayangan video dari berbagai kamera pengawas yang tersebar di sejumlah wilayah China,” kata Asep.
Film fiksi itu bertutur tentang perempuan yang diberi nama Dragonfly. Ia kerap menjalani operasi wajah untuk menunjang kecantikannya. Suatu ketika ia menikah. Dari pernikahan itu lahirlah bayi yang dianggap suaminya buruk rupa. Ia pun menceraikan istrinya.
Xu Bing sebagai sutradara film ini terinspirasi sebuah video viral di media sosial yang menyebutkan, seorang suami menceraikan istrinya gara-gara bayi yang dilahirkan buruk rupa. Suami itu pun mengetahui istrinya sebelum dinikahi telah menjalani operasi plastik di wajahnya.
Melalui film ini, Xu Bing ingin menggambarkan runtuhnya batasan antara kenyataan dan fiksi, antara ruang publik dan ruang privat, dengan adanya kamera-kamera pengawas. ”Bagi Xu Bing, dunia saat ini sudah menjadi studio film raksasa,” kata Asep.
Ulat sutra
Di antara sekian banyak karya Xu Bing yang disuguhkan, ada karya berjudul ”American Silkworm Series: Wraping” (1995). Xu Bing menempatkan dalam sebuah etalase ruang kaca buku-buku, juga komputer jinjing. Di antaranya ditebar ulat-ulat sutra.
Pada jam-jam tertentu ulat-ulat sutra itu diberi makan dan tumbuh menjalani metamorfosis hingga mengeluarkan serat-serat putih. Serat dari kumpulan ulat sutra itu akhirnya membungkus buku serta komputer jinjing itu. Xu Bing mengartikulasikan pertanyaan yang mencerminkan kehidupan kontemporer melalui karya tersebut.
Karya lain yang diberi judul ”Honor and Splendor” (2004), cukup menarik pula. Ini karya instalasi dengan medium rokok. Sebanyak 660.000 batang rokok disusun membentuk karpet bercorak loreng kulit harimau. Luasnya sekitar 11 meter persegi. Karya ini dikerjakan sejak 2001 di Amerika Serikat. Ketika itu Xu Bing mengeksplorasi sejarah sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan tembakau.
Di Museum Macan itu aroma tembakau menguar di sepanjang ruang pamer. Xu Bing melihat sisi tembakau sebagai obyek yang menyebar ke segala ruang dan berakhir sebagai abu. Ia merefleksikan persoalan dan kelemahan manusia dengan cara mengeksplorasi hubungan manusia dengan tembakau. Ia pun mengeksploitasi ironi iklan yang mempromosikan kandungan zat berbahaya itu.
Karya lainnya berjudul ”A Case Study of Transference” (1994) juga tak kalah menarik. Xu Bing menaruh kumpulan buku tebal dan terbuka yang berserak memenuhi lantai. Di dekatnya dipajang layar monitor yang berisikan adegan video sepasang babi berusaha kawin. Tubuh babi betina bertuliskan huruf bahasa China. Tubuh babi jantan bertuliskan huruf bahasa Inggris.
Di sini, Xu Bing merefleksikan makna peradaban yang dicapai manusia dengan peradaban babi kawin sebagai kontradiksi yang bersifat primitif. Di antara babi yang sedang kawin itu ada rasa malu yang kemudian muncul dan menjadi keterbatasan yang kita rasakan.
Banyak lagi karya Xu Bing yang mengartikulasikan beragam pemikirannya. Ia betul-betul melepas konsep budaya normatif.