Galeri Cerita Bergambar
Hanya di kediaman Henry Ismono, Gundala, Godam, Jaka Sembung, Si Buta dari Gua Hantu, Mandala, dan Panji Tengkorak bisa berada dalam satu ”adegan”. Di situ pula, komik Indonesia mendapatkan ”rumah”-nya. Menelusuri isinya serasa bertualang ke dunia komik itu sendiri.
”Wahai Mas Gun & Godam, sudah duluan sampai. Apa kabar Jogja dan kalian? Lho... mana Henri?” tanya Jaka Sembung.
”Waa lha iya.... Baik2. Henri baru mandi. Monggo, monggo, silakan masuk,” jawab Gundala.
Di belakang Gundala berdiri Godam, sementara di sebelah Jaka Sembung berdiri teman-temannya: Si Buta dari Gua Hantu, Panji Tengkorak, dan Mandala yang ditemani kuda putihnya.
”Putih... kamu nunggu di luar ya?” ujar Mandala kepada si kuda.
Adegan yang diberi judul ”Merona Hari, Para Jago Satu Hati Jumpa di Rumah Henri” itu merupakan lukisan di dinding depan yang akan langsung menyambut para tamu yang berkunjung ke rumah Henry Ismono, kolektor komik Indonesia. ”Itu yang bikin Lilik Daryanto, teman saya saat SMP di Ambarawa. Dia suka menggambar,” kata Henry, akhir Agustus lalu.
Begitulah, napas cerita bergambar alias komik Indonesia sangat kental terasa di hampir setiap sisi rumah Henry di Larangan Selatan, Kota Tangerang, Banten. Orang-orang yang mencari rumahnya tidak akan salah ketika sudah menemukan gambar adegan di dinding depan rumah tersebut.
Di rumah seluas 180 meter persegi tersebut, Henry tinggal bersama 7.000 judul komik Indonesia. Sebagian besar komik lama, baik asli maupun cetak ulang, dan sebagian komik baru. Komik-komik itu hasil koleksi selama 13 tahun, tersimpan rapi dalam lemari-lemari tinggi di ruang tamu dan ruang tengah. Koleksi itu bisa dikatakan mencakup 90 persen dari khazanah komik Indonesia. Komik-komik itu ditata dalam satu rangkaian, karya siapa atau seri apa.
Tidak hanya di lemari ruang tamu, koleksi komik juga terdapat di lemari di halaman belakang, di laci di bawah meja tamu pun ada. ”Di kamar tidur masih ada. Sampai di dalam lemari pakaian juga ada,” ucap Henry disusul tawa berderai.
Pada dinding ruang tamu, terdapat beragam gambar ikon komik Indonesia, seperti Panji Tengkorak, Mandala, Superhero Gina, Nusantara, Gundala, dan Si Buta dari Gua Hantu. Ada pula karya asli dari para penggawanya, seperti Jan Mintaraga dan Teguh Santosa. Salah satu karya yang sangat disukai Henry adalah gambar khusus dari RA Kosasih berupa wajah cucunya dalam guratan pensil. Dinding bergambar karakter komik Indonesia itu menjadi salah satu spot foto favorit para tamu yang berkunjung.
Halaman belakang merupakan tempat Henry berkarya. Sebagai mantan wartawan, Henry tetap tak lepas dari aktivitas menulis. Di halaman itu sudah lahir sejumlah buku tentang komik, termasuk buku terbarunya, yakni biografi Hasmi, pencipta tokoh Gundala Putra Petir, yang akan diluncurkan Oktober.
Terdapat meja kerja lengkap dengan laptop menghadap pemandangan berupa lemari berisi komik. Di depannya terhampar kolam dengan gemericik air. Suasana teduh berkat pohon belimbing yang berdiri di sudut halaman. ”Pura-puranya hidup di desa, seperti asal saya, ha-ha-ha,” ujar Henry yang lahir di Salatiga, Jawa Tengah.
Ketika mendesain rumah yang ditempatinya sejak tahun 2002, Henry hanya mempertimbangkan satu hal: bisa atau tidak memajang koleksi komiknya. Dia mulai dari halaman belakang. Ketika tidak muat, merambah ke depan hingga ke ruang tamu seperti sekarang. Jadilah rumah itu semacam galeri bagi komik-komik Indonesia.
”Kalau sudah di rumah, rasanya saya tidak perlu ke mana-mana. Ini tempat tinggal sekaligus tempat hiburan saya. Hiburannya, ya, komik-komik itu. Kalau lihat komik, stres bisa hilang. Hari-hari kerja saya di rumah, akhir pekan baru untuk teman,” katanya.
Henry membuka pintu lebar-lebar bagi siapa pun yang ingin berkunjung ke rumahnya, terutama yang ingin belajar atau mengkaji soal komik Indonesia. Mereka bisa datang pada Sabtu atau Minggu. Tidak sedikit mahasiswa dan dosen yang tertarik meneliti komik datang ke rumahnya. Banyak skripsi dan tesis lahir berkat rumah ini. Sedikitnya referensi tentang komik Indonesia menjadikan rumah Henry tujuan para peneliti dan pecinta komik Indonesia.
Pengingat
Kecintaan akan komik pula yang menggerakkan hidup Henry. Sejak kecil, dia telah terpikat pada komik. Setelah dewasa, dia mengoleksi komik sebagai pengingat pada masa kecil. Saat itu dia hanya bisa menikmati komik di persewaan buku.
Sekitar 14 tahun lalu, Henry bergabung dengan komunitas komik Indonesia. Dari situ, dia mulai mengoleksi komik. Koleksi pertamanya adalah seri Gundala. Ketika mulai koleksi, belum banyak orang mengoleksi komik seperti sekarang.
Untuk mendapatkan komik-komik itu, dia menjalin relasi dengan banyak pedagang. Dari mereka, dia memperoleh banyak informasi tentang komik yang bisa dikoleksi. Ketika masih aktif sebagai wartawan, dia bepergian ke banyak tempat dan memanfaatkan waktu di sela-sela liputan untuk mencari komik
”Banyak yang bilang saya kayak orang gila kalau soal komik. Duit habis buat komik. Gaji saya setelah dipotong biaya hidup sisanya buat komik. Pernah dengar orang kredit komik? Nah, saya melakukannya, ha-ha-ha,” kenang Henry.
Sekitar tujuh tahun lalu, dia mendapat tawaran koleksi komik yang menggiurkan dari seorang pedagang. Koleksi itu harus dibeli seluruhnya atau tidak sama sekali. Harganya Rp 14 juta. ”Saya bersedia, tetapi saya cicil empat bulan, ha-ha-ha,” imbuhnya.
Saking tergila-gilanya pada komik, Henry menghabiskan Rp 100 juta, sebagian dari uang pesangonnya, untuk membeli komik. Jangan dibayangkan uang sebesar itu akan mendapatkan banyak komik. Sekarang, satu judul komik Indonesia lama bisa mencapai Rp 3,5 juta.
Di mata Henry, komik-komik koleksinya tidak akan ada artinya kalau hanya berhenti jadi koleksi. Dengan membuka rumahnya dan berbagi tentang koleksinya, jejak komik akan semakin panjang.
”Nanti saya bakal cari perpustakaan yang mau menampung dan merawat koleksi saya. Saya hibahkan kalau saya sudah tidak ada. Ada muatan hikayat lokal, nilai-nilai, dan kearifan lokal dalam komik kita. Kalau berhenti jadi barang loakan, kan, pedih,” tutur Henry.
Terik matahari terasa menyengat siang itu saat perbincangan kami selesai. Namun, pohon mangga, belimbing wuluh, dan cemara di halaman depan seakan menjadi pelindung alami bagi Gundala dan kawan-kawannya di dinding rumah komik itu.