Reyog Menolak Luntur
Kendangan Mbah Gani mengiringi gerakan kaki-kaki telanjang para penari Reyog Ki Onggo Pati. Meski dipayungi teriknya mentari, gerakan kaki para penari itu semakin lincah mengitari panggung gelaran yang tak lebih dari sebuah pelataran sekolah dasar.
Hok’e... hok’e... hok’ya... hok’ya. Senggak atau sorakan membahana saat gending Ponoragan dimainkan. Senggak dilakukan secara bergantian dan bersautan mengiringi gerak penari, menyuntikkan semangat sekaligus memeriahkan pentas di Minggu siang akhir Agustus lalu.
Penonton tetap rejo (ramai) dan tak beranjak pergi meski sinar matahari sedang terik. Banyak yang datang berombongan dengan menyewa kendaraan. Di luar panggung gelaran, para pedagang sibuk menjajakan beragam makanan. Mereka membuka lapak sejak sebelum reyog dipentaskan.
Reyog Ki Onggo Pati merupakan milik Desa Plunturan, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Reyog yang ada sejak masa kolonial ini tampil serempak. Ada Ki Onggo Pati yang pemainnya dewasa, Ki Onggo Pati Buyut yang dimainkan oleh para lansia, Ki Onggo Pati Cucu yang dimainkan anak-anak, dan Ki Onggo Pati Putri yang seluruh pemainnya perempuan.
Tak ada diskriminasi karena laki-laki dan perempuan mendapat peran dan panggung yang setara. Mereka juga tak kenal pragmatisme pergelaran karena tak menghadirkan pemain borongan atau ngebond. Semua pemain adalah penduduk desa, mulai dari anak-anak hingga lansia.
Ada penari jatil dengan instrumen kuda-kudaan, penari barongan yang membawa topeng kepala harimau, pujangganong, dan Klono Sewandono. Selain itu, ditampilkan pula peran Patra Jaya dan Patra Tolo, dua abdi setia raja, yang tak ditemukan dalam festival reyog.
Oktavian Rizki Ardian, siswa kelas IV SDN 2 Plunturan, bangga membawakan tarian warok. Agar bisa menari, dia meluangkan sebagian waktu bermainnya untuk berlatih bersama Mbah Gani. Menurut dia, Mbah Gani tidak hanya piawai bermain kendang, tetapi juga pandai menari.
”Latihannya gak mbayar, malah dikasih jajan gorengan sama minuman,” ujar Oktavian disambung tawa.
Lain lagi cerita Ririn Handayani, ibu rumah tangga yang menari barongan. Dia sempat kerepotan membawa topeng harimau seberat lebih dari 35 kg. Namun, berkat latihan rutin di sela waktunya mengurus keluarga, Ririn akhirnya bisa menari.
”Saya ajak anak saya latihan menari dan syukurlah dia tertarik. Bapaknya kerja cari uang. Kalau tidak masyarakat sendiri yang lestarikan, siapa lagi,” kata Ririn bangga.
Selain mengisi tarian, warga desa juga memainkan musik karawitan, menjadi pengurus reyog, hingga berswadaya menyandang dana. Banyak juga yang jadi penonton setia, senantiasa haus hiburan. Merekalah penyuntik semangat para seniman.
”Seni itu senang, jadi tidak diukur dengan uang. Seni itu ekspresi diri, siapa pun boleh menari tanpa dibatasi. Yang penting tidak melanggar pakem (semacam aturan),” ujar Bikan Gondowiyono, tokoh seniman reyog Desa Plunturan.
Iuran sukarela
Kepala Desa Plunturan Dwi Bintoro menambahkan, reyog desa tetap tidak bisa didanai dengan dana desa yang bersumber dari pemerintah pusat karena penggunaan dana desa sudah diatur dalam perundangan. Masyarakatlah yang bergotong royong menghidupinya karena reyog belum bisa diandalkan sebagai sumber penghidupan.
Untuk memotivasi masyarakat berlatih reyog, diadakan arisan rutin setiap bulan. Dalam pertemuan itu, warga iuran sukarela mengisi kas kelompok. Dana yang terkumpul dipakai membeli peralatan pergelaran, seperti barongan, pakaian penari, dan perangkat gamelan.
”Satu barongan seberat 35 kg hingga 60 kg, harganya mulai dari Rp 35 juta hingga ratusan juta rupiah. Setiap dua tahun, bulu merak harus diganti baru karena rusak,” ujar Sukiyat, warga Plunturan.
Bintoro menambahkan, hal tersulit adalah ngopeni alias merawat. Makna ngopeni tidak sebatas hal-hal yang bersifat administratif, melainkan juga mengasuh fisik dan mental. Pekerjaan itu menjadi tidak mudah ketika melibatkan banyak orang dengan beragam latar belakang, mulai dari pelajar, ibu rumah tangga, pedagang, hingga petani tadah hujan.
”Pernah melatih penari barong hingga menghabiskan satu barongan. Penarinya tak mau meneruskan karena berbagai alasan. Risiko pembarong itu giginya cepat tanggal karena harus menggigit topengnya,” ucap Bintoro.
Bintoro pun hanya bisa pasrah dan berusaha lagi mencetak pemain baru. Menari memang harus dari hati, tidak bisa diiming-imingi, apalagi ditakuti. Sebab, tarian bukan soal gerak tubuh semata, melainkan ekspresi jiwa yang menjadikannya bernyawa.
Reyog Plunturan juga kerap disebut reyog obyog. Obyog berasal dari kata obyogan yang artinya ’mengerjakan pekerjaan bersama-sama’. Namun, reyog obyog kerap dipandang sebelah mata oleh seniman festival reyog karena tidak terikat oleh aturan pementasan dan tidak mengenal kreasi dramaturgi, koreografi, ataupun musik pengiring.
Reyog obyog adalah seni rakyat yang mengutamakan nilai kebersamaan dan hiburan, baik bagi pemain maupun penonton. Namun, masyarakat Plunturan justru menolak sebutan reyog obyog karena identik dengan reyog ngamen yang terkesan berorientasi materi semata.
Meski mengutamakan kebersamaan, reyog Plunturan memiliki pakem sendiri yang diwarisi dari para leluhur. Bikan dan Bintoro berencana menyusun buku tentang pakem reyog Plunturan agar mudah diwariskan kepada generasi masa kini dan tidak luntur digilas roda zaman.
Pemerintah desa juga berniat membuat peraturan desa (perdes) sebagai payung hukum untuk menjaga kelestarian reyog Plunturan. Di dalam perdes itu juga akan diatur alokasi anggaran desa untuk membiayai pelestarian reyog meskipun sifatnya stimulan, bukan sumber pendanaan utama.
Jadi model
Kepala Bidang Budaya Dinas Pariwisata Ponorogo Bambang Wibisono mengatakan, reyog Plunturan menjadi model pengembangan reyog di desa-desa lain. Ponorogo memiliki 357 kelompok reyog yang terdaftar di dinas. Kelompok ini tersebar di 307 desa dan kelurahan. Namun, dari 357 kelompok, yang benar-benar produktif sekitar 60 persen.
”Ada kelompok yang pemainnya sudah tidak ada atau alat musiknya tidak lengkap. Kendalanya beragam, seperti sulit menyatukan warga karena latar belakang mereka berbeda, status ekonominya juga tidak sama. Untuk bertemu dan latihan susah,” kata Bambang.
Selain Plunturan, beberapa desa mulai berupaya melestarikan reyog. Salah satunya di Desa Tatung, Kecamatan Balong. Desa ini dulu memiliki kelompok reyog. Namun, seiring waktu, kelompok itu mati karena tidak ada yang menghidupi.
Kepala Desa Tatung Rudi Sugiharto mengatakan, upaya menghidupkan reyog dilakukan sejak 2015. Namun, senimannya benar-benar sudah tidak ada yang tersisa karena regenerasinya terputus total. Dia pun harus mendatangkan pelatih tari dan karawitan dari luar desa untuk membina generasi muda agar mengenal reyog dan tertarik memainkan.
Kesulitan mencari penari juga dirasakan kelompok reyog pelajar. Salah satunya disampaikan guru seni dan budaya SMPN 2 Ponorogo, Sigit Sapto Margono. Dalam upaya mengenalkan budaya kepada generasi masa kini, sekolah memilih ambil bagian dalam panggung Festival Reyog Mini XVII.
”Dari lima penari barong yang diperlukan, hanya satu yang asli murid SMPN 2 Ponorogo. Sisanya empat penari barong menyewa dari luar sekolah,” ujar Sigit.
Bambang menambahkan, dalam upaya melestarikan reyog Ponorogo, pemerintah daerah rutin menggelar Festival Reyog Nasional yang berubah nama menjadi Festival Nasional Reyog Ponorogo sejak 1995. Selain itu, digelar pula Festival Reyog Mini dengan peserta pelajar yang diadakan sejak 2002.
Untuk menggairahkan kembali reyog di desa-desa, Bupati Ponorogo Ipong Muchlisoni mewajibkan setiap desa menggelar pentas setiap tanggal 11 setiap bulan secara rutin mulai Juli 2019. Kebijakan ini didasari penilaian bahwa pengembangan reyog masih stagnan. Seniman yang memainkan reyog dinilai tidak bertambah.
Ini tentu menjadi ironi mengingat Ponorogo adalah ”kampungnya” reyog. Namun, harapan agar reyog terlahir kembali sebagai tuan rumah itulah yang kini dipupuk.