Merawat Muruah Musik Klasik
Konsisten, mungkin itulah kata yang cocok mendeskripsikan dedikasi Henrik Hochschild (51) untuk musik klasik. Selama lebih dari 25 tahun ia mengabdikan hidup untuk mengajar musik ini, tidak hanya di Eropa, tetapi juga di Asia. Bagi dia, musik klasik telah menjadi bahasa yang menghilangkan sekat pembatas antarnegara.
Henrik mengawali segala kecintaan terhadap musik sejak umur belia. Di usia delapan tahun, ia telah mempelajari biola secara serius di bawah bimbingan instruktur Gabriele Schwarz. Kecintaan itu pun berlanjut dengan pendidikan yang ditempuh secara akademis di Hochschule für Musik Felix Mendelssohn-Bartholdy pada 1984.
”Sejak menempuh jalur akademis, saya kemudian menekuni bidang komposisi dan mengajar musik orkestra, setidaknya selama 15 tahun terakhir,” kata Henrik yang bergelar profesor sejak 2011.
Selain mengajar, ia juga mendirikan kelompok ensambel Gewandhaus Oktett pada 1993, yang banyak memainkan paduan musik dawai dan tiup. Di samping itu, ia juga aktif berpartisipasi pada orkestra anak muda, seperti di Schelswig-Holstein Music Festival Orchestra, dan mengadakan sejumlah lokakarya di Affinis Music Festival Jepang.
Seringnya berkunjung ke sejumlah negara di Asia akhirnya mengantar Henrik ke Indonesia untuk pertama kali pada awal Agustus lalu. Tepatnya Kamis (8/8/2019), ia berkolaborasi dengan tim dari Amadeus Symphony Orchestra untuk memainkan repertoar khas Leipzig di Jakarta.
Repertoar itu terdiri atas tiga karya komposisi, yakni ”Herman and Dorothea Overture” karya Robert Schumann, ”Concerto for Two Violins in D Minor, BMV 1043” karya Johann Sebastian Bach, serta ”Symphony No. 6 in C Major D. 589” karya Franz Schubert.
”Saya ingin mengenalkan kota asal saya lewat karya komposisi. Dua yang pertama dimainkan adalah dari Robert Schumann dan Johann Sebastian Bach. Mereka adalah pendatang yang meniti karier di Leipzig. Namun, karya mereka cukup besar dan menggambarkan Leipzig sebagai music capital pada masanya,” ungkapnya.
Tak lagi Eropa
Tujuan Henrik ke sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia, beberapa tahun belakangan adalah untuk mengenalkan muruah musik klasik dari Eropa, terutama yang berasal dari Leipzig. Ia tak memungkiri, Eropa yang dulu menjadi kiblat bagi musik klasik kini tidak lagi relevan. Musik klasik telah membaur dengan kearifan banyak negara.
”Leipzig dulu di abad ke-19 mungkin sempat menjadi kiblat kota musik bagi dunia. Itu karena musik klasik dulu berpusat di Eropa. Sekarang, bahkan semua (musik klasik) ini bisa kau temukan di berbagai belahan dunia dan masing-masing memiliki ciri khas sendiri. Kenyataan ini telah membuat musik klasik berfungsi sebagai bahasa universal,” ucap Henrik.
Henrik mengibaratkan padanan bahasa universal tersebut layaknya bahasa Inggris yang digunakan banyak negara saat ini. ”Melalui bahasa musik klasik, kita sebagai manusia punya kesempatan berkomunikasi. Ada semacam upaya untuk membagi emosi yang kadang sulit diucapkan dengan kata-kata, dan saya pikir inilah kenapa musik memiliki peran penting bagi umat manusia,” tuturnya.
Mengenalkan Leipzig
Kedatangan Henrik ke sejumlah negara kini adalah untuk menegaskan bahwa tradisi musik dari Eropa tidak lagi berkesan ”menjajah” seperti di era kolonialisme. Sebagai seorang yang berasal dari Leipzig, ia hanya ingin mempresentasikan aksen musik asal Leipzig yang ia ketahui ke banyak negara.
Selain itu, kedatangannya ke Jakarta juga merupakan ungkapan salutnya terhadap Indonesia. Sebab, kehadiran Indonesia juga berperan terhadap dinamika perjalanan musik saat ini. Ia bercerita tentang komponis asal Perancis yang terpengaruh alat musik gamelan ratusan tahun lalu hingga mengubah secara drastis gaya musik di Barat. Komponis yang ia maksud itu adalah Claude Debussy.
”Bersamaan dengan era globalisasi, musik klasik pun kini tidak lagi menjadi representasi musik yang menjajah karena berkaitan dengan sejarah kolonialisme. Saya hanya ingin menyebarkan aksen musik dari kota saya dan dinikmati pendengar,” ujar Henrik.
Seperti pada konser Leipzig Meets Jakarta, 8 Agustus lalu, ia membawakan ”Herman and Dorothea Overture” dalam repertoar malam itu. Apabila ditelisik, komposisi karya Schumann tersebut berlatar cerita dari penulis Johann Wolfgang von Goethe, yang cukup menggambarkan kehidupan perang di Eropa pada abad ke-17.
Keberlanjutan generasi
Selain sebagai misi budaya, Henrik juga menaruh perhatian kepada generasi muda. Menurut dia, dewasa ini cukup sulit untuk meyakinkan generasi muda bahwa musisi merupakan suatu bentuk profesi. Maka itu, ia berupaya untuk menjaga keberlanjutan generasi muda dalam dunia musik klasik.
Masalah yang sering terjadi adalah biaya pendidikan musik yang mahal bagi generasi muda. Ia menyarankan agar masyarakat Indonesia dapat berjuang menempuh pendidikan formal jika ingin berkarier di dunia musik. ”Perjuangan itu memang sulit, namun segala pendidikan itu merupakan investasi yang sepadan,” ujarnya.
”Saya harap masyarakat dan pemerintah di Indonesia dapat menjaga agar dunia akademis musik dan industrinya tetap berjalan. Tanpa disadari, kehadiran musik yang berharmoni, seperti dalam orkestrasi, dibutuhkan oleh masyarakat agar hidup lebih beradab,” kata Henrik menambahkan.
Kolaborasi dalam konser Leipzig Meets Jakarta, menurut dia, adalah contoh yang bagus bagi pendidikan musik klasik. Para guru musik dari Sekolah Musik Amadeus menyertakan murid untuk bermain bersama dalam satu tim. Hal ini jarang terjadi dalam pertunjukan musik yang dilaksanakan sekolah musik di Eropa.
”Ke depan, anak muda perlu lebih dilibatkan dalam konser musik orkestra. Dengan cara ini, motivasi pun tumbuh dan mereka jadi terus belajar. Saya mungkin akan menerapkan hal ini juga ketika kembali ke Leipzig,” tuturnya.
Henrik Hochschild
Lahir: Leipzig, Jerman, 26 Oktober 1967
Pendidikan: Studi musik untuk biola, "chamber music", komposisi, dan sebagai pengaba (konduktor) di Hochshule für Musik Felix Mendelssohn Bartholdy, Leipzig
Karier:
- Asisstant Concertmaster di Gewandhaus Orchestra, Leipzig (1990)
- Pendiri Gewandhaus Oktett, sebagai pemimpin ensambel (1993-2003)
- Pengajar di Hochschule für Musik und Theater di Leipzig (2002-2011)
- Pengajar lokakarya musik di Affinis Music Festival di Jepang
- Konduktor dan pelatih di sejumlah kelompok orkestra kalangan muda, nasional, dan internasional