Merekatkan Indonesia di Flores
Di bawah taram temaram rembulan malam di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pengorbanan mati Tonu Wujo dikisahkan. Kisah Tonu Wujo alias Dewi Padi itu mengembalikan esensi kekerabatan dengan inti semangat rela berkorban. Sesuatu yang mungkin kini kita rasakan kian memudar.
Naratornya berkisah di tengah ladang beralas batu ceper serupa mazbah. Tonu duduk anggun dan tenang. ”Sekarang, bunuhlah aku dan sebarkanlah potongan-potongan tubuhku ke seluruh ladang,” ucap Tonu.
Pentas teater dengan lakon Tonu Wujo ini ditampilkan pada malam pembukaan Festival Lamaholot di Lapangan Bola Kaki Desa Bentala, Rabu (11/9/2019). Festival ini tumbuh dari landasan atau platform Indonesiana yang diinisiasi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Indonesiana merupakan perwujudan Nawacita untuk membangun Indonesia dari pinggiran melalui kebudayaan. Indonesiana memiliki arah gerak menyatu dan memperluas ruang kebinekaan dengan asas gotong royong antara pemerintah pusat dan daerah.
Tokoh sentral
Menurut Silvester Petara Hurit, sutradara dan penulis naskah Tonu Wujo yang juga kurator Festival Lamaholot, hingga sekarang warisan kisah tutur Tonu Wujo masih berkembang. Ia adalah tokoh sentral di balik kultur ladang, aktivitas tenun, menyadap lontar, dan segala ritus masyarakat Lamaholot di Flores Timur.
”Lamaholot sendiri memiliki makna sebagai kampung yang sambung-menyambung,” ujar Silvester.
Di dalam pentas, Tonu Wujo diperankan Nita Doko dan Rini Atamuan. Tonu ini satu-satunya anak perempuan dari tujuh bersaudara yang meminta untuk dibunuh saudaranya sendiri demi menyuburkan tanah tandus yang sudah tak mampu memberi hasil pangan.
Tubuh Tonu disebarkan di tanah ladang. Alkisah, tanah itu menjadi subur dan mampu menghidupi saudara-saudaranya dan keturunan mereka sampai sekarang.
Kematian fisik Tonu bukanlah kematian jiwanya. Tonu diyakini sampai kini tetap hidup dan terus mengembara untuk menyuburkan sekujur tanah di Lamaholot. ”Ada yang harus mati supaya kehidupan bisa berlanjut. Darah yang tertumpah membawa kehidupan dan kesejahteraan,” ucap Tonu di pentas.
Dikisahkan, seorang pemuda Boki Wato berjumpa Tonu Wujo dalam pengembaraannya itu. Tonu dijumpai Boki dengan penampakan dadanya yang bersinar, berkain tenun, dan mengukir keningnya dengan tato indah. Boki pun terpana dan jatuh hati.
Akhirnya, mereka menyatu. Setelah memasuki perkawinan purba, kosmis, dan gaib, Boki tersadar dan mendapati hanya seorang diri. Tonu pun meninggalkannya. Tetapi, dari kain sarung Boki ditemukan tujuh butir benih padi.
Inilah asal-usul padi di Lamaholot yang masih diyakini sebagai perwujudan Tonu Wujo sampai sekarang. Kain yang dikenakan Tonu dan motif tato di keningnya tersebut pun menginspirasi budaya tenun di sana.
Kerap muncul pertanyaan, di mana ada tanaman padi di Flores? Penelusuran Kompas, memang tidak mudah menemukan tanaman padi di sana, apalagi ketika itu masa puncak musim kemarau.
Meski begitu, sekitar 30 kilometer dari pusat kota Larantuka berhasil dijumpai beberapa petak tanah ditumbuhi padi yang hampir dipanen. Lokasinya di Desa Ebak, Kecamatan Tanjung Bunga. Pengairannya dari mata air di sebuah bukit.
”Minggu depan padi akan kami panen. Ini padi hitam dan putih,” ujar Jepo Liwen (20), petani padi itu.
Jepo dan masyarakat di desa itu juga masih mengenal kisah Tonu Wujo. Demi penghormatan kepada Tonu Wujo, ternyata bagi mereka menjadi pantangan untuk menjual padi panenan sendiri.
Kapitalisasi nilai tradisi
Festival Lamaholot sebagai bagian dari program Indonesiana itu juga menampilkan beragam ritus sosial dan nilai-nilai tradisi lain. Restu Gunawan, Direktur Kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyebutkan, Indonesiana merupakan upaya kapitalisasi nilai tradisi.
”Selain diharapkan mampu melestarikan beragam nilai tradisi, juga penting untuk meningkatkan sistem perekonomian masyarakat setempat,” kata Restu.
Bupati Flores Timur Anton H Gege Hadjon mengatakan, Festival Lamaholot tahun ini sebagai lanjutan Festival Nubun Tawa 2018. Di situ ada esensi dengan istilah lokal pai ta’an to’u. Artinya, mari menjadi satu!
”Pai ta’an to’u itu sejatinya kita, Lamaholot,” ujar Anton.
Ini serupa esensi kekerabatan dan visi Indonesiana yang ingin menggapai kerekatan keberagaman dalam kebersamaan dan persatuan. Indonesiana dirumuskan untuk mencapai kesatuan dalam keberagaman menuju Indonesia baru. Pedoman yang dijadikan acuan adalah Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan, UU Nomor 5 Tahun 2017.
Festival Lamaholot berlangsung pada 11-15 September 2019. Selain dilangsungkan di Desa Bentala, festival ini juga digelar di Adonara, suatu pulau terpisah di Flores Timur.
Di Desa Bentala, pentas beragam seni tradisi dan ritus sosial diadakan. Pada hari pembukaan, sebut saja jenis tarian tradisi yang ditampilkan, seperti tari Gokeng, Soka, Gong Bitong, dan tarian massal Sasong. Masyarakat memainkan pula musik tempurung.
Setelah Bupati Flores Timur menyampaikan sambutan pembukaan, ada ritus sosial yang dilangsungkan. Ritus penyalaan api secara tradisional, yaitu dengan cara menggosokkan batang bambu kering, yang disatukan ke dalam ritus seni lado dan belo baja.
Seni lado dan belo baja mengangkat perjanjian damai pihak-pihak yang terlibat dalam penyalaan api dengan menggosokkan batang bambu kering itu. Api pun bisa terlihat dengan cepat menyala. Ada empat orang yang terlibat dalam
ritus itu. Mereka mewakili empat marga dalam komunitas Lamaholot.
Tak berselang lama digelar tarian Namanigi yang berkisah tentang kultur agraris. Ini segera disusul atraksi sadok nonga, sebuah atraksi rasa kebahagiaan atas panen hasil bumi, terutama padi.
Sadok nonga ini unik. Masyarakat berkumpul dan beramai-ramai meninju keranjang yang dianyam dengan daun lontar. Keranjang itu disebut kara nee. Satu orang memegang keranjang itu dan yang lain meninju dari mulut keranjang hingga mengenai dasarnya sampai tersobek, dan kebahagiaan pun pecah.
Beragam perayaan ditampilkan kemudian, seperti permainan kote atau gasing tradisional, nyanyian adat ”Labagolek”, atraksi menumbuk padi, dan atraksi menenun.
Di balik beragam seni tradisi itu ada narasi kebajikan-kebajikan klasik yang perlu dirawat demi narasi besar bernama Indonesia.
Tanah air tercinta yang membutuhkan kerelaan berkorban untuk kepentingan umat manusia yang dicontohkan Tonu Wujo. Bukan seperti pengkhianat rakyat yang malah ngotot membela egoisme pribadi dan kelompoknya.