Sudut Ekstrem Toraja
Dataran tinggi Toraja di Sulawesi Selatan membawa kita melayang menikmati setiap jengkal pesonanya. Kehangatan masyarakat yang kaya tradisi menyambut siapa pun yang menjelajahi alamnya. Dari sudut-sudut ekstrem, pesona itu kian menggoda.
”Oke, sekarang kita siap-siap. Tangan di dayung. Jangan lupa nanti dadah-dadah ke buaya kalau ketemu di jalan, ya,” ujar Denny Kapuy (44), pemandu kami.
Ketegangan saat hendak mulai mengarungi Sungai Maiting pada suatu pagi, beberapa waktu lalu, sedikit mereda karena candaan lelaki bertubuh gempal tersebut. Kami hendak menikmati alam Toraja melalui rafting atau arung jeram. Sungai Maiting, yang membelah Kabupaten Toraja Utara dan Tana Toraja, menjadi wahana olahraga menantang itu.
Tentu saja tidak ada buaya di sungai jernih dengan rona kehijauan itu. Akan tetapi, banyak iguana. Cantik-cantik pula. Mereka kerap dijumpai sedang berjemur di batu-batu besar di sepanjang sungai.
Banyak juga bebek liar dan belibis yang segera buyar ketika perahu karet berkapasitas enam orang yang kami tumpangi mendekat. ”Satwa liar di sini masih banyak karena lokasinya terpencil, jauh dari perkampungan. Jadi, tidak ada yang mengganggu,” kata Denny.
Selama dua jam menempuh sekitar 11 kilometer liku-liku sungai itu, jalur yang kami lewati hampir seluruhnya membelah bentangan hutan belantara. Nuansa hijau, hijau, dan hijau memagari tepian sungai.
Hawanya sejuk dalam suasana yang begitu damai. Rumah penduduk baru terlihat saat kami sudah mendekati akhir perjalanan.
Namun, semua pemandangan itu hanya bonus belaka. Namanya juga arung jeram, sajian utamanya tentu saja beraneka rupa jeram yang menggedorgedor adrenalin. Perahu diguncang, diputar, serta diseret ke kanan dan ke kiri oleh derasnya air.
Denny yang duduk di belakang perahu, bersama rekannya, Marten Sajak (23), sigap menuntun kami menunggangi gelombang demi gelombang. Dia memberi komando kapan harus mendayung ke depan, ke belakang, atau tak mendayung sama sekali untuk menikmati buaian arus.
Beberapa kali perahu juga tersangkut di batu-batu besar, tetapi kemudian meluncur lagi menuruni punggung jeram yang curam setelah dibebaskan bersama-sama. Wuhuuu!
Setidaknya ada 47 jeram besar yang dilewati, tidak terhitung lagi jeram kecil-kecil. Di sepanjang jalur itu juga terdapat tujuh air terjun yang menjadi tambahan bonus pemandangan tak terlupakan.
Kebun kopi
Puas bermain di air, kami bergeser ke gunung. Ini adalah daya tarik utama alam Toraja. Jelajah gunung ini juga diiringi cerita spesial tentang buah yang paling kesohor dari daerah itu: kopi.
Maka, naiklah kami ke mobil berpenggerak empat roda milik Suleman Miting (70). Mobil itu melumat jalur tanah bergelombang di sebuah jalan desa di Toraja Utara. Sang anak, Ayub Miting (30), terampil memegang kemudi.
Medan off-road mendaki terjal dengan tikungan-tikungan tajam itu dilahapnya, seolah tanpa kesulitan. Satu kali kami juga melewati sungai kecil dengan ”jembatan” berupa dua batang kayu, lebarnya hanya pas-pasan untuk tapak roda mobil.
Segala rintangan itu dilalui demi mengunjungi kebun-kebun kopi yang terletak di ketinggian daerah itu. Suleman adalah pengusaha kopi sekaligus pelaku ekowisata kopi di Toraja.
”Ekowisata ini untuk memberikan pengalaman seutuhnya tentang bagaimana kopi dibudidayakan hingga akhirnya sampai ke cangkir-cangkir yang kita minum,” kata Suleman.
Hari itu kami mengunjungi dua desa penghasil kopi terkenal di Toraja Utara, yakni Sapan dan Pulu’-pulu’ di Kecamatan Buntu Pepasan. Sapan berada pada ketinggian 1.600-1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl), sementara Pulu’-pulu’ terletak pada ketinggian 1.800 mdpl ke atas.
Sepanjang perjalanan melintasi kampung-kampung di kedua wilayah itu, kebun kopi warga terhampar di kanan-kiri jalan. Tanaman itu sebenarnya sudah mulai terlihat pada ketinggian 1.200 mdpl, tepatnya setelah memasuki Kecamatan Sesean. Semakin tinggi kawasannya, sebaran kebun kopi ini pun semakin banyak.
Jalanan aspal berliku yang mulus dari Rantepao, ibu kota Toraja Utara, bersalin jadi jalur off-road saat memasuki Desa Ranteuma, Kecamatan Buntu Pepasan. Di ketinggian 1.700 mdpl itu, aroma kopi yang sedang disangrai sesekali merasuki hidung. Waktu itu sebagian tanaman memang sedang dipanen.
Kami sempat pula melihat aktivitas warga memetik kopi. Mereka hanya mengambil buah yang sudah merah sempurna untuk menjamin kualitas sekaligus harga jual yang tinggi.
”Harga kopi sekarang lumayan, Rp 28.000-Rp 30.000 per liter kering,” ujar Paulus Tampang Sarungu (43), petani kopi di Pulu’-pulu’.
Bentang alam
Perjalanan ekowisata di Toraja bukan melulu soal kopi. Jalur yang dilewati menuju kebun-kebun kopi itu menyajikan bentang alam bak gambar di lukisan. Hamparan padi menguning dengan gunung-gunung menghijau di latar belakang, berpadu langit biru yang berawan putih, menyuguhkan panorama menawan. Salah satunya di Batutumonga.
Di sepanjang jalan, kami juga tak henti-hentinya mengagumi tongkonan, rumah adat Toraja, yang selalu ada di setiap kampung. Nuansa kekayaan budaya yang menjadi ciri khas Toraja terasa kental sepanjang perjalanan itu.
Jalur ekowisata kopi juga melewati Lo’ko Mata, kompleks pemakaman pada tebing batu yang banyak dikunjungi wisatawan. Destinasi lain yang juga sayang dilewatkan saat ke Toraja adalah Gumuk Pasir Sumalu di Kecamatan Rantebua, Toraja Utara.
Gumuk pasir ini berjarak sekitar 25 kilometer arah tenggara Rantepao. Meski
terbilang dekat, untuk mencapainya butuh waktu tempuh sekitar 1,5 jam karena jalanan yang sempit dan berliku.
Namun, segala kepayahan itu terbayar lunas saat menikmati bukit pasir seluas sekitar 6 hektar tersebut. Bukit kecil berlekuk-lekuk itu memiliki gradasi warna yang memukau: abu-abu, coklat, hingga keunguan.
Entah dari mana pasir itu berasal karena tidak ada gunung berapi di dekat wilayah itu. Sangat jauh pula dari pantai.
Daerah sekelilingnya juga dirimbuni rerumputan dan pepohonan sehingga gumuk itu seolah salah tempat. Namun, hal itu justru menjadi keunikan Sumalu yang memperkaya kemolekan alam Toraja.
Jadi, kapan ke Toraja?