Jejak Jawa di Kamboja
Begitu keluar dari Bandara Internasional Phnom Penh, seorang lelaki paruh baya menyambut ramah. ”Selamat sore, selamat datang di Phnom Penh, ibu kota Kamboja,” ujarnya. Namun, saat diajak bicara bahasa Indonesia lebih jauh, dia menggeleng dan berucap dalam bahasa Inggris.
”Hanya bisa bahasa Indonesia sedikit saja. Tahun 1980-an pernah jadi pengungsi di Pulau Galang,” kata Bunna Nat (46), warga Phnom Penh, yang bertugas menjemput peserta Asian Students Environment Platform 2019 dari Indonesia, awal Agustus 2019.
Pada tahun 1979-1996, Pulau Galang yang berada sekitar 7 kilometer di selatan Pulau Batam, Kepulauan Riau, menjadi lokasi pengungsian manusia perahu dari Kamboja, selain Vietnam, yang kala itu dilanda perang saudara.
Sepanjang perjalanan yang macet menuju hotel, Nat berkisah tentang perang panjang di negerinya. Tak lama setelah merdeka dari Perancis pada 1953, Partai Komunis Kampuchea atau Khmer Merah berperang melawan Kerajaan Kamboja yang didukung Amerika Serikat. Ketika kemudian Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot berkuasa sejak 1975, terjadi pembantaian besar-besaran. Investigasi Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut korban jiwa dalam kurun 1975-1979 berkisar 2-3 juta orang. Konflik sipil terus berlanjut hingga akhir 1990-an.
”Sekarang kami sudah damai. Biarlah itu menjadi pelajaran pahit bagi kami,” kata Nat.
Kamboja kini berupaya melepas bayang-bayang gelap perang. Di negeri dengan penduduk 16,2 juta pada 2018 ini Anda akan menemukan bangunan-bangunan baru yang bertumbuh, pasar dipenuhi orang-orang yang ramah, sejarah yang kaya, dan makanan lezat yang ramah dengan lidah orang Indonesia. Seperti Indonesia, kuliner Kamboja banyak dipengaruhi India, China, selain Eropa. Nasi dan ikan air tawar menjadi makanan utama. Salah satu kuliner tradisional favorit adalah ho mok, yaitu kari ikan atau daging bersantan yang dibungkus daun pisang dan dikukus.
Kamboja juga terkenal dengan pasar malamnya, salah satunya Noon Night Market di Siem Reap, yang banyak menjajakan pernak-pernik tradisional, penganan, hingga durian. Jika Anda penyuka kain tradisional, pasar malam inilah tempatnya. Kebanyakan kain yang dijajakan memang ditenun dengan mesin, tetapi harganya tergolong sangat murah jika Anda mahir menawar.
Selembar kain tenun berbahan katun dengan ukuran 60 sentimeter x 160 sentimeter dengan motif kotak-kotak yang khas dari harga jual 4 dollar AS (kira-kira Rp 56.000) bisa ditawar hingga separuhnya. Kain dengan ukuran sama, tetapi bahan sutra, harganya mencapai tiga kali lipat. Orang Kamboja lebih suka menerima uang dalam bentuk dollar AS sekalipun mereka juga punya mata uang lokal sendiri, yaitu riel.
Namun, jika Anda ingin berjalan-jalan di pasar malam di Kamboja, harus ekstra hati-hati karena copet dan jambret kerap menyasar dompet hingga telepon genggam para turis. ”Bagaimana dengan Indonesia? Saya ingin jalan-jalan ke Indonesia, tentu tidak ke Pulau Galang,” ujar Nat.
Sekalipun hanya dua tahun di Indonesia dan itu pun sebagai pengungsi, Nat merasakan kedekatan dengan Indonesia. ”Kita punya banyak persamaan. Lihat, kulit dan muka kita tak jauh berbeda,” katanya.
Ada kemiripan
Sepintas orang-orang Khmer, yang merupakan etnis mayoritas di Kamboja, memang memiliki kesamaan fisik dengan orang Indonesia, khususnya Jawa. Rambut Nat sedikit berombak, kulit kecoklatan, dengan wajah dan perawakan yang bisa dengan mudah ditemukan di desa-desa Jawa.
Bukan hanya tampilan fisik, Kamboja dan Jawa sebenarnya punya kemiripan budaya, termasuk bahasa. Mayoritas suku di Indonesia memang memiliki bahasa ibu Austronesia, yang juga dituturkan populasi lokal Taiwan, Filipina, Malaysia, Kepulauan Pasifik, hingga Madagaskar. Adapun Khmer, Kamboja, menuturkan Austroasiatik, bahasa yang biasa dipakai populasi di daratan Asia Tenggara (Mainland Southeast Asia/MSEA).
Peneliti genetik populasi dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Pradiptajati Kusuma, mengatakan, populasi di Indonesia bagian barat seperti di Sumatera, Jawa, Sunda, dan Dayak Bidayuh memiliki komponen genetik Austroasiatik lebih dominan dibandingkan dengan motif Austronesia. Komponen genetik Austronesia dan Papua lebih dominan di Indonesia bagian timur.
Jejak genetik ini menjadi bukti penting adanya bauran MSEA, termasuk Kamboja, dengan populasi di Nusantara. Migrasi Austroasiatik ke bagian barat Nusantara ini kemungkinan terjadi sebelum 10.000 tahun lalu. Ketika itu, daratan Asia masih menyatu dengan Sumatera, Jawa, dan Kalimantan atau kala itu dikenal sebagai Paparan Sunda.
Dari Jawa
Pertautan Jawa dan Khmer itu semakin terlihat di Siem Reap. Di wilayah perbatasan dengan Thailand ini dibangun kompleks candi Hindu Angkor Wat. Dengan luasan 162 hektar, candi ini merupakan monumen keagamaan terbesar di dunia.
Sebelum memasuki kompleks candi ini, kita akan disambut patung naga dengan tujuh kepala dan garuda. ”Ini merupakan tiga elemen sangat penting dan bisa ditemukan dalam banyak relief di Angkor Wat, terutama di bagian gerbang karena dipercaya sebagai penjaga surga,” kata Nhim Sothheavin, arkeolog yang memandu perjalanan.
”Naga” dan ”garuda”, selain ”kala” yang juga banyak ditemui pada candi di Jawa, jelas diadopsi dari budaya Sanskerta, India. Namun, menyusuri Angkor Wat yang dibangun di abad ke-12 ini terasa seperti memasuki Candi Borobudur dan gabungan sejumlah candi lain di Jawa dibandingkan dengan candi di India.
Struktur ruang Angkor Wat, yang menyimbolkan Gunung Meru, kemungkinan juga dipengaruhi pemujaan terhadap Dewa Gunung dan Raja Gunung di Jawa. Gunung Meru merupakan konsep gunung suci pusat jagat raya dicangkok dari India ke Jawa. Namun, pemujaan terhadap gunung di Jawa telah berlangsung jauh sebelum itu.
”Banyak unsur dari candi-candi di Jawa yang dibawa ke Angkor Wat,” kata Sothheavin. Budaya Khmer, menurut dia, banyak memperoleh pengaruh India, yang sebagian telah mengalami jawanisasi.
Hal ini dikuatkan dengan banyak inskripsi kuno, di antaranya yang dikutip Bernard P Groslier dalam bukunya, Indocina (2007), bahwa pendiri Kerajaan Khmer dan peletak dasar budaya di Angkor, Raja Jayavarman II, sebelumnya tinggal di Jawa, yang saat itu di bawah Dinasti Sailendra.
”Jayavarman II pulang ke Kamboja menjelang tahun 790 M, dipengaruhi budaya Jawa dan mungkin pula dengan keinginan menirunya”, tulis Groslier.
Data sejarah ini menunjukkan, migrasi masa lalu tidak terjadi searah dari daratan Asia ke Indonesia, tetapi ada fase juga migrasi balik. Analisis lebih lanjut oleh Pradiptajati menunjukkan adanya aliran DNA dari Jawa, dalam hal ini
Dieng, Jawa Tengah, ke Kamboja dan tidak sebaliknya. ”DNA populasi Kamboja tidak mewarnai genom di Dieng, tapi genom Dieng mewarnai genom Kamboja,” katanya.
Dengan sejarah panjang pertautan peradaban dua negara, bisa dilihat bahwa relasi Indonesia dan Kamboja saat ini justru menyurut. Sekalipun Indonesia dan Kamboja disatukan oleh keanggotaan dalam ASEAN, secara ekonomi dan sosial budaya, Kamboja lebih dekat dengan China dan Jepang, selain
dengan negara tetangga mereka seperti Thailand dan
Vietnam.