Joker yang Mengganggu
Film Joker sudah menuai kontroversi bahkan sejak sebelum pemutarannya diluncurkan. Selain gelap dan depresif, film Joker membawa pada realitas absurd dari wajah zaman saat ini. Ucapan terkenal Joker ”why so serious?” mau tak mau direspons, ya, ini sangat serius.
Realitas film memang hanyalah fiksi. Namun, film bagaimanapun adalah gagasan, yang mampu merembes keluar dari layar bioskop, menghinggapi siapa pun di kehidupan nyata. Inilah yang dikhawatirkan publik luas, terutama di Amerika Serikat saat ini, menjelang dan setelah film Joker diputar. Media The Washington Post, misalnya, menyebut Joker adalah film yang paling memecah belah (publik) tahun ini. Sebagian memuja, sebagian menggugat.
Publik AS dihantui kecemasan film Joker dapat melecut aksi serangan copycat, seperti penembakan massal yang kerap terjadi di AS. Film tersebut dikritik keras oleh berbagai kalangan karena membuka ruang glorifikasi tokoh Joker sehingga bisa menginspirasi orang (dengan gangguan jiwa) untuk melancarkan aksi gila kejahatan di dunia nyata.
Novel grafis terbitan DC Comics, Batman: The Killing Joke (1988), semula menjadi basis premis film Joker walaupun sutradara Todd Phillips dan penulis naskah Scott Silver tidak semata merujuk pada komik spesifik sebagai inspirasi. Batman: The Killing Joke sendiri ditulis oleh Alan Moore dengan ilustrasi garapan Brian Bolland dan menjadi kisah yang membeber awal mula kelahiran sosok Joker. Cerita yang mengungkap latar belakang psikologis dan kondisi ”satu hari buruk” yang menggiring terbentuknya sosok Joker.
Phillips mendapuk Joaquin Phoenix untuk memerankan tokoh Arthur Fleck, komedian gagal yang memiliki gangguan kejiwaan. Ia tinggal bersama ibunya yang lemah fisik, Penny Fleck (diperankan Frances Conroy), di flat kumuh di kota Gotham, awal 1980-an. Di tengah kehidupannya yang pahit, Arthur mengurus ibunya yang memanggilnya dengan ”Happy”.
Film ini menyuguhkan transformasi Arthur menjadi Joker, sosok penjahat keji yang kelak berhadapan dengan tokoh pahlawan super, Batman. Transformasi tersebut menyiratkan, siapa pun bisa menjadi seperti Joker. Baik dan buruk bisa bertukar tempat kapan saja. Joker melipatgandakan benih-benih kekejian dalam setiap manusia.
Plot-plot dalam film menggiring penonton untuk memahami dan menafsir latar belakang yang membuat Arthur memilih jalan kejahatan. Ruang tafsir inilah yang membuka peluang terbentuknya legitimasi audiens terhadap kekerasan dan kejahatan.
Sekalipun mungkin masih banyak film bermuatan kekerasan lain yang lebih brutal, keseluruhan film Joker meniupkan ambience yang amat depresif dan menekan. Tak hanya itu, secara paradoksal, sosok Joker dalam film justru mampu mewujud dengan karisma pesona yang kuat. Di situlah celakanya karena pesonanya adalah pesona kekejian.
Ancaman serangan
Oleh karena itu, keresahan publik di AS terkait film tersebut menjadi beralasan. Apalagi mengingat akses kepemilikan senjata api oleh warga sipil di AS begitu longgar. Seperti diketahui, tepatnya 20 Juli 2012, penembakan massal terjadi saat pemutaran perdana film Batman garapan sutradara Christopher Nolan, The Dark Knight Rises, di sebuah bioskop di Aurora, Colorado, AS. Sebanyak 12 orang tewas dan 70 korban terluka.
Seperti ditulis Vanity Fair (2 Oktober 2019), publik luas masih meyakini, pelaku James Holmes terinspirasi sosok Joker meskipun dugaan itu belakangan dibantah aparat. Sementara Komisaris Polisi New York Police Department (NYPD) Raymond Kelly dalam konferensi pers menyebut, Holmes mengaku dirinya sebagai Joker saat diinterogasi aparat.
Terlebih lagi perwujudan fisiknya, dengan rambut dicat, mudah mengingatkan pada sosok Joker. Holmes bahkan memasang booby trap di apartemennya. Buku kumpulan tulisan berjudul Joker: A Serious Study of The Clown Prince of Crime (2015) terbitan The University Press of Mississippi juga menyinggung dugaan yang sama.
Berbagai rentetan peristiwa penembakan massal di AS bagaimanapun menyisakan teror mendalam, terutama bagi keluarga para korban. Beberapa keluarga dari korban peristiwa penembakan Aurora mengirim surat keberatan kepada Warner Bros terkait pemutaran film Joker. Akhirnya film Joker tidak diputar di bioskop di Aurora di lokasi peristiwa penembakan massal tujuh tahun silam.
Warner Bros juga lebih membatasi akses wartawan ke karpet merah saat premiere di AS, 28 September. Berbagai bioskop di New York juga melarang penonton datang dengan mengenakan kostum Joker. Tak cukup itu, seperti diberitakan CNN (4 Oktober 2019), melalui buletin intelijen internal, FBI dan Department of Homeland Security juga mengeluarkan peringatan kewaspadaan kepada para penegak hukum menyusul munculnya berbagai ancaman akan penembakan massal yang diunggah di internet dalam minggu pertama pemutaran film Joker. Pengamanan polisi sejak pemutaran perdana film Joker juga diberlakukan, baik secara demonstratif maupun penyamaran.
”Kondisi di sini orang-orang makin dihantui kejadian mass shooting (penembakan massal). Film kayak gitu (Joker) bisa menginspirasi orang. Terlalu banyak orang sakit mental di sini dan mereka punya akses ke senjata. Senjata lebih gampang didapat ketimbang beli bir. Menyekolahkan anak di sini adalah sesuatu yang bikin kita sangat stres. Itu (mass shooting) salah satu alasan anak saya masuk private school,” ungkap Dian Becket, orang Indonesia yang tinggal di Michigan, AS, sejak 2008.
Di tengah segala keresahan luas itu, Warner Bros dan berbagai pihak yang terlibat dalam film ini menyanggah gugatan publik. Mereka memastikan, film Joker bukanlah dirancang untuk mengglorifikasi sosok Joker yang keji. Di luar riuhnya polemik, film ini diprediksi mereguk pendapatan signifikan. Di AS dan Kanada saja, film Joker diprediksi menembus pendapatan 80 juta dollar AS per hari Minggu ini.
Sebagai film, bagaimanapun Joker memenuhi berbagai kualitas yang diharapkan dari sebuah film. Permainan akting Phoenix layak diperbandingkan dengan Heath Ledger yang memerankan Joker dalam The Dark Night (2008). Ledger sendiri tewas overdosis sebelum film itu rilis dan diduga mengalami gangguan psikologis dan insomnia.
Perlu diingat betul, film ini sangat tidak disarankan untuk ditonton anak-anak. Bahkan, sebenarnya termasuk remaja dan dewasa dalam kondisi psikologis yang terganggu.
Joker, si nihilis kejam, pada akhirnya tidak hanya memicu chaos dalam cerita film. Keresahan yang ditiupkannya merembes menembus layar bioskop, menghantui dunia nyata. Dunia masa kini yang tanpa sekat, merapuh seiring leburnya kebenaran dan hoaks. Joker memang bukan pelawak. Dia penggedor ambang kewarasan kita. Gedoran yang serius.
(Nawa Tunggal/Sarie Febriane)