Sketsa Peneropong Zaman
”Sketsaforia Urban” yang digelar di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, membuka ruang eksistensi bagi para kreator sketsa di tengah derap pameran seni konvensional. Sketsa-sketsa bangunan historis di banyak kota menjadi benang merah untuk menjelajah masa hingga berabad lampau.
Sepasang lup teronggok di atas boks kayu. Sekejap saja menoleh ke dinding, pengunjung bakal mafhum. Kaca pembesar diperlukan untuk mengamati 43 lukisan yang tak lazim. Ukuran karya Harry Suryo yang bertutur soal gedung-gedung bersejarah itu berukuran 6 sentimeter persegi saja.
Malah tiga gambar hanya berukuran 2 cm persegi. Secara kiasan ataupun harfiah, ia menyilakan pengunjung meneropong bangunan-bangunan cagar budaya di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Menelusuri sketsa-sketsa mini Harry yang bergaya impresif seakan menyusun kepingan zaman melewati lorong lup.
Sketsa Borobudur, Sam Poo Kong, Lawang Sewu, Watugong, Plaosan, Stasiun Tawang, Gereja Blenduk, Pelabuhan Tanjung Emas, dan Masjid Kauman menjadi entitas cat air pada kertas. Pigura setiap sketsa normal. Panjang sekitar 20 cm dan lebar 15 cm, tetapi gambarnya teramat mungil.
Harry juga membuat sketsa mini Kota Lama Semarang. Sketsa-sketsa gedung tua ia tempatkan di atas peta seluas 2,5 meter persegi dengan posisi sesuai lokasi sebenarnya. Pegawai negeri sipil Pemerintah Kota Semarang itu menjungkirbalikkan rutinitas menikmati seni yang konservatif.
Harry jahil. Ia ingin pemerhati karyanya berupaya lebih keras sebelum mencecap keindahan seni. Walakin, sketsa Harry tetap termasuk yang paling banyak diamati pengunjung, Jumat (27/9/2019). Susah tetapi juga indah, demikian kesan yang terjejak dalam benak saat kembali mengayunkan langkah ke situ.
Di dinding lain, gambar-gambar Henk Ngantung menggiring batin menuju zaman pasca-kemerdekaan. Sketsa ”A.B. Voos”, ”Di Dapur Penginapan Perdana Menteri”, dan ”Di Linggarjati” dibuat tahun 1946. Henk menorehkan tinta hitam di atas kertas coklat. Mirip kertas sampul.
Gambar-gambar Henk yang juga mantan Gubernur DKI Jakarta itu melukiskan keseharian masa revolusi seperti warga menunggu kedatangan Presiden Soekarno di pinggir jalan, ibu-ibu menyiapkan makanan, dan tamu-tamu yang bercengkerama di Linggarjati.
Sementara Siti Ruliati menuangkan kreativitasnya dengan kertas dan pensil. Noktah-noktah hitam pada kertas dengan sisi yang digunting tak rapi justru memperkuat kesan keprihatinan tahun 1967.
Ia menggunakan kertas bergaris-garis yang sudah lusuh dan buram. Media yang mengingatkan tentang buku tulis pelajar bermutu rendah tahun 1980-an atau sebelumnya. Koleksi Siti bertajuk ”Woman Working At Rice Field” yang terdiri atas 14 sketsa menggambarkan spontanitas, terlepas dari pensil usang atau kertas yang begitu kumal.
Harijadi Sumadidjaja dan S Sudjojono turut mengajak pengunjung meneropong tahun 1945 hingga 1974. Mereka menghadirkan alun-alun, kantor, dan monumen di Yogyakarta, Kediri, Jakarta, hingga Amsterdam dan Paris dengan sketsa bertinta hitam.
Sketsaforia Urban berlangsung sebulan hingga 12 Oktober. Festival itu memamerkan 12 arsip serta 616 sketsa dari 122 individu, lembaga, dan komunitas yang disebar di empat ruang. Mereka dipilih melalui seleksi aplikasi terbuka dan undangan.
”Banyak sketsa bangunan bersejarah yang dipajang karena sebagian sketchers (pembuat sketsa) berprofesi arsitek,” kata kurator Sketsaforia Urban, Beng Rahadian. Mereka bergabung dengan komunitas pembuat sketsa. Minat yang sama lantas tumbuh dalam komunitas itu.
”Mereka memperhatikan gedung bersejarah. Sketsa yang dibuat dilihat banyak orang. Secara tak langsung, bangunan-bangunan historis dilestarikan,” ujarnya. Kesadaran sosial juga meningkat karena rumah di bantaran, bangunan di pinggir rel, dan permukiman padat dituangkan pula dalam sketsa.
Eksperimen respons
Harry Suryo tertawa saat ditanya motivasinya memasang karya yang membuat pengunjung memicingkan mata. Ia justru ingin bereksperimen dengan respons publik. ”Apakah mereka tertarik atau sebaliknya. Format sketsa saya dianggap asing. Ternyata malah banyak yang penasaran,” ujarnya.
Anggota Semarang Sketchwalk itu memang gemar mengamati gedung bersejarah. Harry mengakui ada kesulitan tinggi untuk membuat sketsanya.
”Tantangan karena menguras energi. Kuas yang digunakan paling kecil. Penerangan harus cukup. Sketsa terkecil bisa saya selesaikan sampai dua hari,” ucapnya.
Srihadi Soedarsono yang ikut berpameran memilih Borobudur sebagai obyek sketsanya. Ketertarikan pelukis itu terhadap Borobudur karena merupakan situs warisan dunia yang mewakili zamannya. Ia membuat sketsa itu dengan tinta hitam.
Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto berharap Sketsaforia Urban dapat meneruskan keberlangsungan sketsa sebagai media berkarya serta mencatat peristiwa, termasuk penggambaran kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Sketsa-sketsa yang dipamerkan juga memuat representasi penanda zaman.
”Semoga Sketsaforia Urban memberikan pengalaman estetik yang menyenangkan, memberikan inspirasi dan motivasi berkarya, serta mendorong kemajuan sketsa,” katanya. Festival itu juga mencuatkan asa untuk menjalin komunikasi Galeri Nasional Indonesia dengan lembaga lain serta komunitas pembuat sketsa.
Festival itu didukung antara lain Museum Seni Rupa dan Keramik, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, KamiSketsa GalNas, Indonesia’s Sketchers, Urban Sketchers Indonesia, Roedi Art Space, Dewan Kesenian Bekasi, dan Asosiasi Olah Raga Sketsa Indonesia.
Selain pameran, Sketsaforia Urban diramaikan lokakarya, diskusi, sarasehan, membuat sketsa sambil berjalan-jalan, dan pertunjukan. Festival itu dimeriahkan rangkaian acara yang diselenggarakan di 11 kota seperti Medan, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Pontianak, Makassar, Samarinda, dan Manado.
Perspektif lain
Tentu saja selain lanskap kota, sejumlah artis membidik perspektif lain. Dzikra Affifah mengetengahkan goresan yang menggambarkan tubuh-tubuh terkulai secara samar. Ia memajang tiga karya minim warna. Guratan hitam dan putih hanya dihiasi sapuan merah, kuning, serta coklat yang tipis.
Indiria Maharsi menaruh proyeksi pada layar berukuran 20 inci. Sketsa digital bertajuk ”The Unseen” itu menampilkan sosok-sosok tak tampak dan sesekali bersinggungan dengan kehidupan manusia.
Nyata atau tidak, ia mengasosiasikannya dengan kebenaran dan kejahatan yang nisbi. Terserah interpretasi pengamatnya terhadap sketsa kasar dari pensil itu. Jin, genderuwo, banaspati, tuyul, buto ijo, bahkan hantu badarawuhi—yang sedang viral karena cerita misteri KKN di Desa Penari—pun sah-sah saja menjadi tafsiran.