Terpikat Mantra
Desainer Sebastian Gunawan yang akrab disapa Seba percaya bahwa setiap perempuan memiliki mantra dalam dirinya. ”Daya sihir” perempuan ini makin menjadi-jadi ketika didukung penampilan berkarakter. Karakter penampilan yang menyihir itulah yang hadir dalam pergelaran ”incantesimo”.
Sebuah mantra, atau dalam bahasa Italia disebut incantesimo, mewujud dalam 82 tampilan dalam koleksi adibusana yang disuguhkan pada pergelaran karya tahunan Sebastian Gunawan, Selasa (1/10/2019), di Hotel Mulia, Jakarta. Setiap koleksi dirancang oleh Seba—panggilan akrabnya—bersama sang istri sekaligus partner kreatifnya, Cristina Panarese.
Kata incantesimo juga dapat didefinisikan sebagai rasa terkesan yang tersirat. Mantra yang ditebar Seba lewat koleksinya memang mampu memikat tamu-tamunya. Seba menjamu tamu-tamunya dengan keindahan adibusana yang menyuguhkan cita rasa, mulai dari sangat klasik, playful, hingga easy.
Easy yang dimaknai mudah dalam pemakaian ini tidak lantas berarti dibuat asal-asalan. Ada rok panjang dengan atasan serupa blus. Namun, blus ini menjadi terkesan istimewa dengan lengan balon. Koleksi lain misalnya berupa terusan celana bersiluet sederhana dihiasi permainan selendang yang mampu memperkuat karakter.
Volume, sebagai ciri khas Seba, hadir secara beragam dengan peletakan yang sangat bervariasi di seluruh koleksi ”incantesimo”. Hal ini berbeda dengan pandangan umum yang biasanya membayangkan volume hanya dalam rupa rok lebar gaun pesta. Volume bisa berupa ruffles hingga bulu-bulu yang ditemukan di tempat yang tak biasa seperti di lengan atau pada jaket.
Koleksi Seba semakin unik karena kerumitan dalam permainan teknik penyusunan lapis demi lapis material bahannya. Rok dengan bahan terluar bening transparan juga terdiri dari lapisan rok sepan di bagian dalamnya dan ada lagi rok bervolume di lapisan terdalamnya.
Ada pula permainan kecil di antara rok yang transparan dan rok berbentuk bunga. Bunga juga punya tempat istimewa sebagai simbol semangat feminitas. Motif floral ini hadir melalui aplikasi bordir hingga bulu-bulu.
Satu rasa
Seba juga menghadirkan permainan warna yang tak biasa. Sejak awal peragaan busana, warna yang diusung adalah warna-warna ceria yang terang, tetapi lembut. Ia memadukan warna tak biasa seperti hijau pupus berpadu dengan biru muda atau hijau daun dengan warna salem. Ada pula warna putih yang bertemu dengan bahan payet dan kulit.
Tak hanya warna, ada permainan kombinasi bahan dalam satu rasa. Beragam bahan dipadupadankan bersama-sama dalam satu koleksi. Manik-manik juga bisa dikombinasikan dengan material kulit atau bahan beludru dengan tule dan bordiran. Kerumitan dari detail percampuran aneka bahan ini menjadikan setiap helai koleksi begitu istimewa.
Sama seperti definisi adibusana di Eropa, koleksi karya Seba pun lahir dengan teknik dan sistem yang perlu pengerjaan tersendiri. Karena itu, koleksi-koleksi ini membutuhkan waktu pengerjaan berbulan-bulan. ”Pengerjaannya enggak segampang kain yang dibikin pola potong lalu jahit. Ada special treatment,” kata Seba.
Daya tarik koleksi ini semakin diperkuat dengan hadirnya beragam aksesori. Sebagian koleksi memakai aksesori tambahan seperti ban pinggang untuk menegaskan garis pinggang. Ban pinggang ini antara lain digunakan pada koleksi dengan atasan jaket atau mantel.
Aksesori lainnya berupa hiasan dekoratif di bagian kepala serupa kacamata. ”Enggak mau terlalu berat, tapi berkarakter. Saya enggak mau orang selalu membayangkan adibusana pasti berat. Enggak harus seperti itu. Simpel, tapi ada yang bisa selalu kita bahas. Ada yang bisa dipecah,” kata Seba.
Era 1900-an
Senapas dengan sihir dari setiap koleksi baju, lintasan peraga ”incantesimo” juga dibuat spesial. Atmosfer lintasan peraga dipenuhi suara kicau burung dan dihiasi dengan dekorasi kubah rumah kaca. Kubah ini dipenuhi aneka tanaman hijau yang menjadi cerminan keindahan arsitektural era tahun 1900-an.
Konsep arsitektural juga mewarnai potongan gaun-gaun yang bernapas art deco. Bahan tule dibuat bervolume atau dilipat sehingga tercipta efek konstruktif pada gaun berpotongan selutut atau gaun panjang.
Serial karya ini antara lain terpengaruh desain gedung pencakar langit di New York, Empire State Building. Motif geometris tersebut juga dipengaruhi karya Leon Bakst, seniman yang juga desainer kostum.
Seba mengaku banyak terinspirasi dari budaya di era tahun 1900-an. Ditemui sebelum pergelaran busana, Seba menunjukkan foto hitam putih seorang perempuan dengan busana lengan ruffles bergelombang yang bakal menyihir siapa pun. Foto itu pula yang menjadi salah satu referensinya ketika menciptakan koleksi ”incantesimo”.
”Ketika awal mendesain ini, berfilosofi ke era 1900-an, bukan detail atau penampilan wanita zaman itu yang kita ambil. Bukan garis pakaiannya juga yang diambil, tapi mengambil mantranya. Melihat zaman itu, seakan masuk ke sebuah mantra cerita. Di mana wanita berpenampilan detail dan cantik, dan wow!” ujar Seba.
Beberapa dari koleksi ”incantesimo” ini menurut rencana akan diperagakan pula di Singapura pada 10 Oktober mendatang. Sebagian lagi juga akan dibawa untuk diperagakan di China pada November mendatang.
Pada pergelaran kali ini, Seba dan Cristina juga menerima penghargaan Ordine Della Stella D’Ítalia atau Order of the Star of Italy dari Presiden Italia. Penghargaan tersebut diserahkan oleh Duta Besar Italia untuk Indonesia Vittorio Sandalli. Ini merupakan bentuk penghargaan yang diberikan atas jasa mempromosikan persahabatan dan kerja sama Italia dengan negara lain.