Karya Seni Menerapi Kita
Ada ketegangan yang berhasil dikendurkan, ketika dorongan artistik diberi pemantik dan saluran untuk menjadi sebuah karya seni. Ternyata ini hal kecil yang bisa menyadarkan bahwa seni itu mampu menerapi kita.
Ruang kuliah umum ketika itu mulai penuh. Beberapa peserta bahkan kebingungan karena kehabisan tempat duduk. Jumlah peserta kuliah terbuka itu sedikitnya 300 orang.
Cadangan kursi lipat akhirnya digelar untuk mengisi salah satu bagian kosong di Ruang Seminar Gedung Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung, Rabu (2/10/2019). Kuliah terbuka tentang Terapi Seni dan Perkembangannya di Asia Tenggara segera dimulai.
Kuliah dipaparkan Ronald PMH Lay, seorang terapis seni asal Kanada yang kini menjadi Ketua Program Master of Arts Seni Terapi Lasalle College di Singapura. Ronald membuka dengan perbincangan singkat.
Selebihnya, dia mengajak para peserta kuliah itu untuk menciptakan karya seni rupa. Karya itu berupa kolase atau seni tempel dengan potongan-potongan gambar dari sejumlah majalah.
Ronald kemudian menunjukkan semua peralatan untuk membuat seni kolase yang sudah disiapkan di meja. Setelah itu, peserta segera berhamburan ke meja itu untuk mengambil selembar kertas dan potongan-potongan gambar majalah serta lem kertas.
Dalam beberapa menit, mereka disibukkan dengan menyusun potongan majalah untuk ditempelkan menjadi karya kolase. Ronald lalu memantik apa dirasakan peserta setelah membuat karya seni itu.
Di situlah muncul tanggapan setelah peserta mampu menciptakan karya seni. Bagi mereka terasa suasana hati lebih rileks, lebih santai dan muncul rasa bahagia. Ronald menandaskan, ini menunjukkan seni rupa bisa sebagai terapi. ”Begitu pula, metode seni terapi itu dapat diajarkan,” ujarnya.
Ronald kemudian memberi kuliah mengenai prinsip-prinsip terapi seni dan metodologinya. Ia pun menunjukkan contoh karya seni rupa dari proses terapi seni yang sebetulnya terikat untuk dirahasiakan, hanya untuk diketahui antara klien dan terapisnya. ”Saya tidak ingin ada yang memotret contoh-contoh gambar dari terapi seni ini,” katanya.
Beberapa gambar hasil proses terapi seni dari beberapa kliennya ditunjukkan. Mereka terutama klien yang mengalami masalah kejiwaan berat yang membutuhkan terapi seni rupa ini.
Pengajar mata kuliah Psikologi Seni FSRD ITB, Irma Damajanti, sempat memberi sedikit pengantar untuk kuliah terbuka Ronald ini. Ia menyampaikan, ada aspek healing atau penyembuhan dari sebuah dorongan ekspresi seni, baik itu seni musik, seni gerak, maupun seni rupa.
Pameran
Berselang dua hari dari kuliah terbuka itu kemudian digelar pameran seni rupa di Galeri Soemardja FSRD ITB.
Pameran bertajuk Exceeding Boundaries-Art as Therapy for Empowered Souls itu berlangsung 4-13 Oktober 2019.
Pameran ini lebih kurang memaparkan hasil dari praktik seni rupa yang dijalankan sebagai terapi. Karya Atik Widyasari, mahasiswi FSRD, digelar atas usaha partisipatorisnya terhadap anak-anak penderita kanker. Ia mendatangi rumah singgah Yayasan Kasih Anak Kanker Bandung (YKAKB).
Atik mengajak anak-anak penderita kanker melukis untuk menimbulkan rasa bahagia. Perasaan bahagia itu membantu proses penyembuhan.
Pada pameran itu dihadirkan instalasi puluhan lukisan di kanvas berukuran kecil dari rumah singgah YKAKB. Ada aura rasa bahagia ketika ditilik dari warna dominan yang cerah, terutama dari warna dasar oranye. Akan tetapi goresan warna hitam untuk membentuk berbagai obyek lukis atau nuansa abstrak geometrisnya masih menampakkan sisi sebaliknya rasa bahagia itu.
Lukisan karya penyandang spektrum autisme dihadirkan pula, di antaranya karya Angkasa, Akbar Aliyya, dan Karim.
Ketiganya, meskipun sama-sama memiliki karunia autisme, tetap menunjukkan karya yang berangkat dari sudut pandang beda. Karya Angkasa bercorak komposisi warna yang ekspresif disertai garis tegas sebagai wujud dunia di dalam dirinya. Akbar mengungkapkan hasil observasi lingkungan di luar dirinya, misalnya gedung atau panorama pantai. Karim mengungkapkan bentuk visual sebagai rekaman peristiwa yang ditemuinya.
Ada cerita panjang dari salah satu pendamping penyandang autisme ini. Indira Damayanti sebagai ibu kandung Akbar bercerita riwayat keunikan Akbar sejak masih bayi. Pada awalnya, Akbar yang kini berusia 23 tahun itu terlahir normal sebagaimana bayi-bayi lainnya. Setelah menginjak usia sekitar satu tahun ada perubahan drastis padanya.
”Di usia satu tahun itu Akbar mulai kehilangan suara, seperti tak mau bicara. Kontak mata juga tidak ada, tetapi selalu aktif ingin bergerak,” ujar Indira.
Anehnya, di masa emas pertumbuhan bayi Akbar itu mempunyai ketertarikan terhadap tulisan dan gambar. Indira menyebutkan, salah satu kegembiraan Akbar ketika bisa meraba dan melihat koran Kompas. Mereka kebetulan berlangganan.
”Di usia empat tahun, suatu ketika saya berikan semacam kalkulator yang bisa diketikkan huruf, Akbar mampu mengetikkan tulisan Kompas meskipun masih saja tidak bisa bicara sampai sekarang,” ujar Indira.
Akbar juga mampu menuliskan beberapa kata lainnya. Pada waktu hampir bersamaan, Akbar mampu menulis huruf alfabet A sampai Z dengan spidol 24 warna. Hurufnya ditulis dengan warna berganti-ganti. Tipe huruf kapital atau huruf kecil dibuatnya secara berulang-ulang di kertas yang jumlahnya berlembar-lembar.
Akbar menunjukkan keistimewaannya. Di usia empat tahun, Akbar mampu mencari cara tersendiri untuk memahami huruf kemudian menyusun menjadi kata tanpa bicara. Saat ini Akbar menjadi salah satu mahasiswa untuk Art Therapy Center Widyatama di Bandung.
Sementara itu, terapi seni bagi seorang psikiater muda Nova Riyanti Yusuf, tidak melulu dari media seni konvensional atau arus utama. Terapi seni bisa diperoleh dari apa saja di sekitar kita, termasuk dengan kucing kesayangan Nova.
”Kucing yang menemani sepanjang malam ketika saya harus menulis atau menyelesaikan pekerjaan yang lainnya, itu terapi seni bagi saya,” ujar Nova, Jumat (11/10/2019), yang kini tengah berusaha merampungkan tulisan ilmiah populer tentang bunuh diri.
Nova merasa sangat menghibur ketika melihat kucing menemaninya. ”Di situ tidak perlu lagi kata-kata. Ini terapi seni bagi saya,” kata Nova.
Tantangan tersendiri
Bertitik tolak dari kemampuan kognitif dan spektrum autisme seperti dialami Akbar, ini menunjukkan dunia pendidikan yang mengampu terapi seni memiliki tantangan tersendiri. Ardhana Riswarie, anggota staf pengajar seni rupa FSRD ITB, menyebutkan, sekolah terapi seni bagi Akbar mempunyai tantangan khusus untuk mendapatkan akses sebagai saluran ekspresinya.
Seniman grafis yang juga pengajar seni rupa di FSRD ITB, Setiawan Sabana, mengatakan hal serupa. Setiawan yang juga penasihat Art Therapy Center Widyatama itu menyebutkan, tolok ukur keberhasilan terapi seni bagi murid seperti Akbar tentu berbeda dengan yang lainnya.
”Tolok ukur keberhasilan terapi seni bagi Akbar, ketika karya-karyanya mampu diterima industri kreatif,” kata Setiawan.
Riswarie menunjukkan betapa dunia pendidikan terapi seni dihadapkan pada keberagaman kliennya. Bahkan hal ini menuntut pendampingan satu guru untuk satu murid.
”Praktik terapi seni di Indonesia sekarang ini masih dalam tahap awal. Pemahaman masyarakat awam terhadap dunia terapi seni juga masih beragam,” kata Riswarie.
Pada akhirnya, bersyukur kala setiap individu bisa secara mandiri melakukan proses untuk mencipta seni, sekaligus menerapi diri. Menerapi dalam arti selalu menuju kebaruan, menuju kebaikan.