Ketiadaan yang Menguatkan
Sekitar 25 tahun lalu, lima pemuda asal Bakersfield, California, Amerika Serikat, berkomitmen mengikat pertemanan masa remaja mereka dalam sebuah band yang diberi nama Korn. Sebagai grup band, mereka melintasi pasang surut kehidupan. Kini, ikatan itu terbukti masih sangat erat dan memberi kekuatan.
Jonathan ”JD” Davis (vokal), James ”Munky” Shaffer (gitar), Reginald ”Fieldy” Arvizu (bas), Brian ”Head” Welch, dan David Silveria (drum, keluar dari Korn pada 2006 dan posisinya digantikan oleh Ray Luzier sejak 2009). Mereka lima sekawan yang merintis karier musik dari nol saat membentuk Korn.
Mereka memainkan genre yang disebut ”nu metal”, yaitu musik heavy metal yang disajikan lebih kreatif, sedikit melenceng dari pakem, menghalalkan unsur bunyi-bunyian yang jarang dipakai, dan menyerempet ke genre musik lain. Dengan kata lain, "nu metal" adalah heavy metal gaya bebas.
Karier musik Korn menjulang ke angkasa. Selama seperempat abad, Korn telah merilis 13 album. Kerja kreatif mereka sangat dihormati musisi dan penggemar musik metal. Korn dinobatkan sebagai satu grup musik yang memberi pengaruh besar pada transisi gaya musik heavy metal dari yang konvensional menuju modern.
Korn juga wujud persaudaraan hakiki. Pada 2005, mereka merelakan Head pamit dari grup. Gitaris yang memberi corak pada musik Korn ini memutuskan meninggalkan musik dan fokus mengatasi kecanduannya pada alkohol dan obat-obatan psikotropika serta memperbaiki sisi rohaninya.
Salah satu alasan terbesar Head meninggalkan Korn adalah dia merasa bersalah setelah mendengar anaknya yang masih di bawah usia menyanyikan lirik yang ada di lagu Korn, ”A.DI.D.A.S”. Sejumlah album Korn memang dilabeli memerlukan ”nasihat orangtua” karena banyak liriknya yang vulgar.
Pada 2012, Head diterima kembali di keluarga Korn dan membantu pembuatan album Korn, The Paradigm Shift (2013). Ini menjadi album yang menandai kebangkitan kedua Korn. Sangat terasa rasa kekeluargaan di antara mereka yang memberi energi kreatif melimpah bagi Korn.
Kali ini, sang vokalis yang mendapatkan ujian. JD, sebagai nakhoda Korn, mengalami masa sulit pada 2018 setelah ibunya meninggal. Beberapa bulan berselang, istrinya pun tewas saat mengonsumsi kombinasi obat-obatan psikotropika. JD bertahun-tahun mendampingi istrinya, Deven (meninggal pada usia 39 tahun), untuk mengatasi kecanduan dan masalah kejiwaan.
Kepergian orang-orang yang dikasihi ini menghancurkan JD. Kepedihan itu meninggalkan ruang kosong dalam kehidupan JD. Setelah melewati masa-masa sulit, ia berjuang untuk bangkit dan akhirnya berhasil. JD bersama Korn melanjutkan hidup mereka dan membuat sebuah album yang bakal dikenang, The Nothing.
Album ke-13 Korn yang dirilis 13 September 2019 ini sangat jelas didedikasikan untuk JD. Dalam wawancara dengan Billboard, JD mengatakan bahwa The Nothing menggambarkan dia yang sedang berduka. Album tersebut sangat emosional.
”The Nothing adalah sebuah album yang gelap. Di album ini, kematian menjadi tema yang melingkupi keseluruhannya. Wujud dan kekuatannya membuat saya harus menghadapi depresi, rasa sakit, serta kepedihan dan kemudian mencoba untuk mengatasinya,” ujar JD.
The Nothing diawali sangat indah dengan lagu ”The End Begins”. Sebuah penghormatan tulus bagi JD atas daya juangnya mengatasi keterpurukan. JD memainkan bagpipe, alat musik tiup tradisional yang populer di Skotlandia dan kerap diasosiasikan sebagai musik untuk para pejuang highlander.
Suara bagpipe JD mengantarkan memori pada lagu
”Dead” yang menjadi pembuka di album Issues (1999). Musik yang menggema dan terasa mistis seolah mengantarkan perjalanan orang tersayang menuju tidur panjang. JD kemudian lirih bernyanyi…
”Why did you leave me?
Why did you leave me?
Now they are free
And they are coming
after me”
Lirik itu diucapkan berulang-ulang dan diakhiri dengan emosi JD yang memuncak. Ia menangis tersedu-sedu seraya menumpahkan isi hati. Di titik ini, penggemar Korn akan merasakan pedihnya beban yang ditanggung oleh JD.
Setelah memberikan penghormatan yang layak untuk segala kesedihan, Korn langsung tancap gas memainkan 12 lagu lainnya. Album The Nothing meneruskan apa yang dilakukan Korn di The Serenity of Suffering (2016), di mana pada album tersebut Korn kembali memainkan karakter asli musik mereka.
Sebelumnya, Korn bereksperimen saat membuat album dengan konsep yang dinilai nyeleneh. Sebagian album gagal, sebagian lagi, meski terasa aneh, justru menjadi warisan sejarah bagi musik "nu metal", seperti The Path of Totality (2011), sebuah album di mana Korn berkolaborasi dengan musisi dubstep.
Tidak ada yang menyangka Korn bisa nyetel dengan DJ Skrillex dan menciptakan lagu epik seperti ”Narcissistic Cannibal” dan ”Get Up”.
Energi luar biasa
The Nothing adalah album yang membuktikan Korn masih memiliki energi luar biasa. Nyaris semua lagu menggempur telinga dengan musik kencang, progresif, dan cerdas. Ini bukan Korn di era akhir tahun 90-an yang menye-menye dan lemah. Jika merujuk frase musik cadas, The Nothing adalah musik cadas secadas-cadasnya.
JD, Munky, Friedly, Head, dan Ray Luzier tampil prima di setiap lagu. The Nothing bukan album untuk yang berjiwa lemah. Tidak ada unsur pemanis yang bisa membuat The Nothing dinikmati sambil minum teh dan makan camilan pada sore hari. Ini adalah album yang mengandung ”kafein” dosis tinggi, dijamin akan membuat tegak sepanjang hari.
JD merangkum cerita hidupnya dalam lagu-lagu di album ini. Lagu ”Finally Free” dipersembahkan untuk mendiang istri JD. ”This Loss” ditulis untuk mengungkapkan isi hati JD. Jangan berharap lagu-lagu itu dinyanyikan dengan melodi yang menyentuh. Keduanya tetap dimainkan dengan cara Korn: kencang dan berapi-api.
Album The Nothing memang tidak mudah dinikmati karena hampir tidak ada alur berliku. Ini seperti naik kendaraan di jalan lurus berpuluh-puluh kilometer, gas pol!
Sepanjang perjalanan itu, kita menikmati suara khas JD yang kadang-kadang rancu saat mengucapkan kata-kata tidak jelas, dan kadang seperti sedang melafalkan mantra. Ada betotan bas Fiedly yang terkadang muncul dominan di lagu, seperti betotan Steve Harris-nya Iron Maiden.
Kemudian, rif-rif aneh Head yang selalu sukses mewarnai lagu. Hanya saja, sejak David Silveria meninggalkan Korn, sentuhan funk di musik Korn tidak pernah terdengar lagi.
Bagi Korn, ketenaran hanyalah bonus dari kerja keras dan pertemanan yang solid. Melalui The Nothing, Korn menunjukkan bahwa selama ada keluarga, keterpurukan bisa diubah dengan kebersamaan yang memberikan kekuatan.