Selembar foto menunjukkan seorang pria, mengenakan gamis, duduk di kursi roda. Kepala pria itu terbungkus plastik dengan motif belang-belang hitam putih. Di sekitarnya terekam nuansa kematian dengan kehadiran makam-makam. Si pria berujar dalam teks foto: ”aku teringat kematian dan dosa-dosa”.
Pusara itu makin dramatis karena dihadirkan dalam foto hitam putih dengan teknik fotografi mumpuni karya seniman foto Pandji Vasco Da Gama. Pandji menghadirkan 24 foto hitam putih dengan kepala tokoh terbungkus plastik dalam pameran foto Republik Kresek di Leica Playground, Plaza Senayan, Jakarta, 30 September-24 Oktober 2019.
Wartawan Foto Independen Beawiharta yang jadi kurator pameran menyebut Pandji menangkap realitas sosial yang biasa dikerjakan oleh wartawan foto dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh wartawan foto, yaitu menjadi sutradara melalui imajinasinya. Bea juga menyebut Republik Kresek sebagai teror indah dan kejam.
Imajinasi Pandji berangkat dari realitas lingkungan bahwa Bumi makin dipenuhi plastik. Pelaut wanita Inggris Dame Ellen Patricia MacArthur memprediksi bahwa di lautan jumlah plastik akan lebih banyak dari ikan pada tahun 2050. Akibatnya, semua ikan akan terpenjara dalam plastik.
Setelah memenjarakan tubuh hewan, tak lama lagi plastik itu akan memenjarakan tubuh manusia. Foto pria yang terpenjara plastik di makam pas menggambarkan pesan mencekam tentang kejamnya plastik sekaligus menghadirkan keindahan teknik fotografi.
Suasana mencekam didukung pilihan pengambilan foto di lokasi makam yang hanya muncul pada musim kemarau karena letaknya di dasar Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri. Ketika air waduk surut, makam-makam ini kembali terlihat. Di foto karya Pandji tampak sampah plastik pun—tanpa rekaan—turut bermunculan tersangkut di nisan.
Selama enam bulan penggarapan foto, Pandji yang selalu membawa plastik di tas kameranya juga sengaja membawa kursi roda ke lokasi makam. Tokoh pria bergamis yang menjadi sukarelawannya tak sengaja ditemui di dekat lokasi makam. ”Saya membuat fiksi, tapi dalam bentuk visual,” ujar Pandji yang tinggal di Solo saat dihubungi, Rabu (9/10/2019).
Pandji sengaja menggunakan iso tinggi 50.000 agar nuansa di pemakaman tetap tajam meskipun dipotret kala maghrib. Sebagai konsekuensi penggunaan iso kamera sangat tinggi, ada bagian foto yang kemudian tampak grainy,kasar dan timbul bintik-bintik halus seperti pasir.
Efek grainy di foto justru menjadi salah satu nilai seni yang menambah rasa dramatis si foto. Foto hitam putih juga didasari bahwa hitam putih ibarat gambar sketsa. Seperti sketsa, foto hitam putih akan memperlihatkan detail shape dan piktogram dari sebuah gambar. ”Semacam bentuk sederhana yang langsung ketahuan. Foto berwarna kadang secara komposisi biasa tapi secara warna memanjakan mata. Foto hitam putih harus benar-benar sempurna secara komposisi,” ujar Pandji.
Pilihan berani juga diambil dengan teknik dead center,yaitu dengan menempatkan obyek foto di tengah gambar. Dalam seni rupa klasik, komposisi ini dianggap tidak dinamis. Tapi, dead center ini justru dihadirkan dalam gaya post modern sebagai sesuatu yang menakutkan. Komposisi fotonya benar-benar dibuat seimbang dan terpusat di tengah. ”Banyak dead center karena memang di situ saya mau menunjukkan cerita yang kayak kenabian. Sesuatu yang mengerikan,” kata Pandji.
Beawiharta mengatakan, belum banyak fotografer di Indonesia yang menghasilkan karya fotografi kontemporer seperti yang dikerjakan Pandji. Hal ini karena perkembangan daya visualisasi yang belum terlalu banyak berkembang. ”Kalau melihat perkembangan dunia fotografi, foto yang biasa tidak cukup menyengat untuk membuat orang sadar,” ujar Beawiharta.
Itulah kenapa, menurut Beawiharta, media massa pelan-pelan habis karena realitas hingga hoaks yang disuguhkan di media sosial terasa lebih kejam dan lebih menarik bagi khalayak. ”Mau enggak mau, kita harus berjalan sejajar dengan itu. Dengan kenyataan yang kejam itu. Mengimajinasikan sesuatu yang kejam. Masalahnya itu enggak bisa dicapai sebagai wartawan foto,” tambah Beawiharta.
Meskipun karyanya tergolong fiksi, foto-foto ini berangkat dari realitas yang bukan fiksi. Di dunia internasional, foto-foto kontemporer mulai masuk ranah jurnalistik sepanjang berangkat dari realitas. World Press Photo, misalnya, sudah menganjurkan penggunaan staged photography dalam kelas untuk fotografer muda sepanjang dasar pemikirannya berangkat dari realitas pada masa kini.
Melihat deretan foto di Republik Kresek, mau tak mau memang bakal terasa sesak dan meneror. Kengerian tak hanya diwujudkan dalam rupa sosok-sosok yang seluruh kepalanya terbungkus plastik. Kengerian juga hadir lewat komentar-komentar dari setiap sosok yang difoto tersebut yang kemudian menjadi judul atau caption dari foto.
Deretan foto yang dipamerkan sejatinya memiliki rangkaian jalinan cerita. Lewat Republik Kresek, Pandji menyelipkan harapan sederhana agar masyarakat membuang sampah plastik pada tempatnya agar bisa didaur ulang. ”Buat saya, fotografi tidak ngomong soal kejelasan gambar, tapi kejelasan gagasan. Itu yang terpenting bagi saya,” kata Pandji. Kali ini, gagasan itu tentang pesan kenabian dalam sehelai plastik.