Tenunan Cinta
Denny Wirawan kembali menggali khazanah budaya Nusantara dengan meluncurkan koleksi bertajuk ”Pringgasela”. Terpesona motif dan warna tenun Sumba, desainer itu seketika jatuh hati. Kain dengan pola garis-garis lurus digarap menjadi busana yang anggun.
Denny sebelumnya dikenal lewat pergelaran koleksi bertajuk ”Pasar Malam” tahun 2015 dengan batik Kudus sebagai materi utama. Ia lanjutkan kiprahnya dengan wastra yang sama untuk merilis ”Wedari” tahun 2017. Denny juga pernah menggunakan tenun Sulawesi Tenggara dan songket Palembang.
Tenun Sumba menjadi inspirasi Denny kali ini. Ia mengungkapkan kekaguman terhadap kain dari Nusa Tenggara Barat tersebut. ”Istimewa sekali. Baru pertama kali mengolah tenun Sumba, tapi saya langsung jatuh cinta. Masih dibuat dengan tangan atau ATBM (alat tenun bukan mesin),” ujarnya.
Ketertarikan Denny berawal saat tak sengaja bersua dengan sejumlah perajin tenun Sumba yang berpameran di Jakarta tahun 2018. ”Saya sampai datang ke desa mereka, Pringgasela, untuk mengobservasi. Penasaran bagaimana cara membuat tenun Sumba,” ujarnya.
Ia datang ke Pringgasela di Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, April 2019. Denny lantas terpikir merancang koleksi dengan tenun Sumba yang kemudian ia wujudkan di Jakarta, Rabu (25/9/2019). Di tengah restoran Kembang Goela yang dipadati pengunjung, peragaan itu digelar.
Peluncuran Pringgasela diselenggarakan di atas landas peraga di antara deretan kursi. Busana dengan dominasi krem yang teduh itu mengingatkan akan hamparan sabana khas Lombok Timur.
Warna-warna tenun yang klasik umumnya gelap, tetapi Denny menyulapnya menjadi lebih cerah. Tak pelak, pakaian-pakaian yang ditampilkan terkesan berseri dan menenangkan. Desainer itu mengolah kain yang kental nuansa etnik dengan modernitas.
Karya unik yang mewujud dengan atasan panjang berbahan transparan dan berenda terlihat berbeda karena pakaian sejenis biasanya digarap polos. Jaket panjang dengan lengan lonceng menjadi luaran. Padu padan yang diperagakan tampak halus dan elegan.
Denny juga menyajikan jaket pendek dengan detail lipit pada bagian bawah. Selain desain-desain untuk perempuan tersebut, ia menghasilkan kemeja putih dengan lengan dilipat sebagai dalaman pria yang digabung rompi dan celana krem tujuh perdelapan.
Sementara, jaket bergaya blazer dengan kalung bertumpuk dan celana tujuh perdelapan untuk kaum hawa mengantarkan aura romantis. Jubah yang dipadukan atasan putih dengan leher V turut diajukan sebagai rupa kreativitas untuk dikenakan laki-laki.
Rok lipit dengan bahan tule semakin cantik dengan aksen embellishment. Penggunaan sutra Thailand ikut memperindah sejumlah busana dengan refleksinya yang mengilat. Rok, jaket pendek, dan mantel yang bernuansa krem juga menjadi koleksi musim semi/panas 2020 tersebut.
Ragam busana homogen dibuat lebih meriah dengan warna-warni muda. Denny menyulap benang dan tekstur tenun Sumba asli yang tebal menjadi pakaian bertekstur halus. Padu padan kemeja dengan luaran atau rompi membuatnya tampak serasi dengan jatuhnya kain yang diperagakan sekitar 20 model.
Perpaduan bahan bermotif dan polos tetap tergolong aman untuk mengesankan busana yang trendi dengan warna natural. Renda-renda turut memperelok atasan berbahan organza melalui pengerjaan yang cermat. Denny juga mengaplikasikan motif sedemikian rupa sehingga menyatu dengan tenun.
Tenun cinta
Desainer yang telah meramaikan industri mode Indonesia selama 20 tahun itu memakai jenis tenun Sundawa. Ia mengubah tenun yang ditetapkan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai warisan budaya tak benda pada tahun 2018 itu menjadi baju siap pakai.
”Tema peluncuran busana kali ini terdiri dari dua kata, yaitu pringga dan sela. Pringga, kata Sanskerta, berarti pribadi. Sementara, sela artinya ruang,” ujarnya. Kecintaan Denny terhadap tenun Sumba dan menjadikannya produk premium selaras dengan budaya lokal.
Seorang gadis, terlebih pada masa silam, harus membuat tenun untuk calon suaminya. Kain itu juga bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup. ”Saya ingin koleksi ini bermakna dan bermanfaat bagi setiap ruang pribadi, baik pemakai maupun masyarakat Lombok Timur, khususnya Desa Pringgasela,” ujarnya.
Budayawan Sumba, Frans W Hebi, mengatakan, tak hanya saat pernikahan, tenun Sumba juga lazim diberikan kepada tamu, sahabat, dan keluarga. ”Bisa dikatakan, itu adalah tenun cinta. Banyak motif tenun Sumba yang menggambarkan sejarah. Tenun Sumba juga digunakan untuk pemakaman,” ucapnya.
Berdasarkan buku Sidik Jari Allah dalam Budaya yang ditulis Eben Nuban Timo dan diluncurkan Penerbit Ledalero tahun 2005, tenun memiliki banyak fungsi, salah satunya penghargaan dan pemberian saat perkawinan dan kematian.
Motif garis-garis Pringgasela juga menggambarkan sungai yang banyak terdapat di Lombok Timur. Koleksi itu mencuatkan gaya tabrak corak khas Denny dengan pakaian bertumpuk yang dapat dipadupadankan.
Denny memamerkan 48 busana yang dirancang tanpa desain komputer. Jika diamati dengan teliti, sebagian kecil motif yang dicantumkan secara manual sedikit miring, tetapi mampu menguatkan aspek seni pada ”Pringgasela”. Bahan warna-warni tenun itu antara lain berasal dari dedaunan dan kayu-kayuan.
Para perajin menggunakan daun nila yang menghasilkan pasta indigo untuk memperoleh esens biru muda. Kayu sejaraman dimanfaatkan untuk mendapat warna coklat muda. Daun dan bunga putri malu digunakan untuk menambah sapuan hijau.
Pembuatan tenun Sundawa dengan panjang 3 meter dan lebar 90 sentimeter itu butuh proses panjang. Diawali pemintalan kapas, benang, lalu diurai menjadi bola yang siap ditenun. Benang selanjutnya dicelup dengan menggunakan warna alam dan diikat, barulah ditenun secara tradisional dengan gedogan.
”Pringgasela menjadi langkah awal mengenalkan tenun Sundawa kepada pencinta mode tanpa meninggalkan motif tradisional yang menjadi identitasnya,” ujar Denny.
Tampilan koleksi Pringgasela ini juga dipercantik aksesori yang dirancang Eliana Putri Antonio. Peluncuran koleksi ini didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation dan BCA.