Jejak Asal Songket Sumsel
Kain tenun tabak atau songket khas Bumiayu berusia 88 tahun itu boleh jadi adalah mata rantai yang sempat hilang dari jejak sejarah asal-mula songket Sumatera Selatan.
Benang emas berlatar merah tampak mencolok dari satu set kain tenun berupa sarung, baju jubah, dan selendang. Kain tenun tabak atau songket khas Bumiayu berusia 88 tahun itu boleh jadi adalah mata rantai yang sempat hilang dari jejak sejarah asal-mula songket Sumatera Selatan.
Satu set busana tenun tersebut dipajang di stan Desa Bumiayu, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan, di Pekan Kebudayaan Nasional 2019, Jakarta, pekan lalu.
Bumiayu mempunyai cerita penting. Menurut penelitian Balai Arkeologi Sumsel, songket Sumsel diduga berasal dari desa itu. Hal ini dibuktikan dengan adanya corak/ motif songket pada relief candi dan pada pakaian beberapa arca/patung di Kompleks Candi Bumiayu, kompleks candi Hindu dari masa antara abad ke-8 dan ke-9 itu yang terletak di tengah Desa Bumiayu.
”Songket ini dibuat oleh Hajah Sanibah, puyang (ibu dari nenek) aku tahun 1931. Puyang buat songket ini untuk pesta pernikahannyo. Dio cuma makenyo sekali dan habis itu songket ini diwariske ke nenek aku, Hajah Sukmawaty Solihin (68),” ujar Hurriyah Nada Savitri (22), cucu pertama dari Sukmawaty.
Nada mengisahkan, ibu dari neneknya dulu mengumpulkan kapas dari sekitar desa untuk membuat bahan baku benang songket tersebut. Dia sendiri yang memintal kapas untuk menjadi benang. Kemudian, dia mencari pewarna alami dari sekitar desa, terutama untuk warna merah.
Sisanya, dia mungkin membeli benang emas dari Palembang, Sumsel. Puyang diduga belajar membuat songket dari warga sekitar ataupun dari Palembang. ”Semasa muda, nenek puyang nih memang sering main-main ke Palembang,” katanya.
Inspirasi motif songket itu, menurut Nada, kemungkinan didapatkan dari alam sekitar desa. Songket itu dominan bercorak bunga, seperti bentuk mawar dan teratai. Lalu, ada juga bentuk geometris lepus bintang dan pucuk rebung.
Dominasi corak bunga, seperti mawar dan teratai, menjadi pembeda songket itu dengan songket yang umum ada di Palembang. Selebihnya, corak songket tersebut terlihat mirip dengan songket Palembang, terutama dari garis-garis geometris lepus bintang dan pucuk rebung.
”Belakangan ini, kami baru tau kalu motif pucuk rebung dinilai peneliti terinspirasi dari bentuk puncak stupa di Kompleks Candi Bumiayu,” ujarnya.
Bahkan, alat pembuat songket itu sudah dijual sejak 1990-an. Songket itu sendiri diincar banyak kolektor kain antik.
Sayangnya, kata Nada, bakat membuat songket itu tidak ditularkan nenek puyang kepada anak ataupun cucunya. Akibatnya, bakat itu pun terputus. Bahkan, alat pembuat songket itu sudah dijual sejak 1990-an. Songket itu sendiri diincar banyak kolektor kain antik.
”Untungnyo, nenek aku nih anak pertamo. Jadi, dio ado raso tanggung jawab untuk jago peninggalan wongtuonyo. Oleh dio, songket ini disimpen, dak boleh dijual,” ujarnya.
Karena gejolak
Kepala Desa Bumiayu Saprin menceritakan, dahulu, banyak warga Desa Bumiayu yang membuat songket sendiri. Biasanya, songket itu dipakai untuk kegiatan budaya hingga hajatan. Di antaranya, menjadi pakaian penari penyambut tamu agung (raja/sultan atau bupati/ gubernur) hingga pakaian untuk pesta pernikahan.
Namun, gejolak sosial, politik, dan ekonomi pada 1960-an mengubah segalanya. Saat itu, terjadi krisis ekonomi yang puncaknya adalah kemarau asap atau kekeringan panjang yang menyebabkan banyak lahan terbakar.
Musibah itu memukul sektor perkebunan kapas, karet, persawahan, dan perikanan tangkap dari anak-anak Sungai Lematang. Warga yang mayoritas petani dan nelayan sungai pun tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi.
Untuk menyambung hidup, mereka terpaksa menjual harta berharga. Saat itu, songket adalah benda mewah ibarat perhiasan emas saat ini. Maka, songket yang menjadi simpanan pun dijual. Bahkan, alat tenunnya pun ikut dijual.
”Habis itu, songket asli dari Desa Bumiayu ini nyaris idak katek (tidak ada) lagi. Belakangan, baru kami tau ternyato ado sikok (ada satu) lagi songket asli daerah ini yang masih disimpen. Nah, songket itu iyolah punyo wongtuo Ibu Hajah Sukmawaty Solihin ini,” tuturnya.
Tak sengaja
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten PALI Filomina Emawati mengatakan, songket dari Desa Bumiayu tersebut mempunyai nama lokal tenun tabak. Sejauh ini, kain tenun tabak milik Hajah Sukmawaty Solihin memang menjadi satu-satunya yang tersisa dari desa tersebut.
Tari dundang merupakan tari penyambutan tamu asli Desa Bumiayu yang sebelumnya diduga sudah punah.
Penemuan kain tabak itu baru sekitar enam bulan terakhir. Kain tersebut ditemukan ketika tim gabungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata PALI serta Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan rekontruksi tari dundang. Tari dundang merupakan tari penyambutan tamu asli Desa Bumiayu yang sebelumnya diduga sudah punah.
Pada proses rekonstruksi tari dundang, tim mendapatkan informasi bahwa dahulu penari dundang selalu menggunakan kain tabak. Sekarang, di Desa Bumiayu, songket Palembang justru menjadi pakaian adat utama.
Akhirnya, tim pun melakukan penelusuran dan menemukan kain tabak yang dimiliki Hajah Sukmawaty Solihin itu. ”Setelah kain tabak tak dibuat lagi pada 1960-an, belakangan ketika ekonomi membaik, orang-orang Desa Bumiayu membeli kain songket dari Palembang. Akhirnya, songket- songket Palembang yang sering dipakai dalam acara-acara budaya di sana,” ujarnya.
Dengan ditemukan kembali kain tabak itu, Pemerintah Kabupaten PALI kini berupaya membina/melatih warga untuk membuat lagi kain tabak tersebut. Kain tabak milik Hajah Sukmawaty Solihin pun menjadi contoh untuk menghidupkan lagi budaya menenun kain di desa tersebut.
”Desa Bumiayu ini desa tua. Buktinya, ada Kompleks Candi Bumiayu yang berasal dari abad ke-8/ke-9 di sana. Tapi, karena gejolak sosial, politik, dan ekonomi, satu per satu kebudayaan asli itu hilang. Sekarang, kami berupaya menghidupkannya lagi sebagai jati diri. Juga (sebagai) media menumbuhkan geliat ekonomi warga, terutama lewat kegiatan budaya dan pariwisata,” kata Filomina.
Sejarah songket
Berdasarkan hasil penelitian Arkeolog Balai Arkeologi Sumsel Retno Purwanti dan Sondang M Siregar tentang Sejarah Songket Berdasarkan Data Arkeologi pada 2016, songket Sumsel boleh jadi berasal dari kawasan Desa Bumiayu. Pada relief candi dan corak pakaian arca dari Kompleks Candi Bumiayu tampak relief dan corak pakaian itu mirip dengan motif songket yang ada di Palembang ataupun Sumsel saat ini.
Pada situs kompleks percandian, corak geometris, seperti belah ketupat dan stilirisasi belah ketupat dengan motif dedaunan, digunakan sebagai hiasan dekoratif bangunan candi dalam bentuk hiasan atap candi (simbar).
Pada tiga arca yang digambarkan mengenakan kain, yaitu siwa mahadewa, tokoh satu, dan tokoh dua, corak geometris belah ketupat, stilirisasi belah ketupat dengan motif dedaunan, dan pucuk rebung (tumpal) menjadi motif utama kain yang dikenakan patung-patung itu.
Jejak budaya dari suatu daerah memang sepatutnya dijaga. Tentu, identitas budaya ini memperkaya khazanah budaya Nusantara.
Corak-corak tersebut masih bisa ditemui dalam motif songket Palembang ataupun songket Sumsel saat ini. Dengan segala perkembangannya, kini, corak geometris itu dikenal dengan istilah motif lepus. Adapun corak pucuk rebung selalu menjadi motif hias di bagian tepian songket.
Jejak budaya dari suatu daerah memang sepatutnya dijaga. Tentu, identitas budaya ini memperkaya khazanah budaya Nusantara.